Senin, 16 Mei 2011

PERAN KEPEMILIKAN MEDIA


PERAN KEPEMILIKAN MEDIA 
(Kasus Indonesia dan lmplikasi Sosial, Budaya Politik berkaitan dengan Power and Social Relation)
OLEH : IB. SADUARSA
Bab I
Pendahuluan
Kepemilikan media sebagai bentuk tanggung jawabnya yang terdapat dalam sebuah buku Teori Komunikasi, Sejarah, Metode  dan Terapan didalam Media Massa edisi kelima, Werner J. Severin dan  Jame W.Tankard,Jr 2008:379 disebutkan: Teori tanggung jawab social mengatakan bahwa setiap orang yang memiliki sesuatu yang penting untuk dikemukakan harus diberikan hak dalam forum, dan jika media dianggap tidak memenuhi kewajibannya, maka ada pihak yang harus memaksakannya. Dibawah teori ini, media dikontrol oleh pendapat masyarakat, tindakan konsumen, kode etik professional, dan, dalam hal penyiaran, dikontrol oleh badan pengatur mengingat keterbatasan teknis pada jumlah saluran referensi yang tersedia (Siebet, Peterson dan Schramm, 1956).
Dalam hal ini dijelaskan pula, teori tanggung jawab memunculkan banyak perbedaan pendapat mengenai siapa yang memastikan kalau media bertanggung jawab terhadap masyarakat dan bagaimana memutuskan apakah suatu pendapat cukup penting untuk diberi ruang dan waktu dalam media. Dulu komisi Hutchins melihat bahwa media jarang mengaitkan berita beritanya dengan masalah yang betul-betul mengaruhi pemirsa/pembacanya. Saat ini kita melihat beberapa pengecualian . misalnya, pada awal tahun 1999, New York Times menerbitkan “Global Contagion” sepanjang 26.000 kata dan dibuat dalam empat seri untuk membahas krisis keuangan dunia (15-18 Februari).
Untuk di Indonesia adanya klasifikasi budaya politik tentu perlu diketengahkan terlebih dahulu agar hal itu dapat mengantarkan untuk memahami dinamika komunikasi yang terjadi di panggung politik. Artinya, mengapa kemudian sebuah fenomena kekerasan terjadi? Mengapa politisi ini yang melakukan bukan politisi itu? Mengapa mereka yang melakukan itu justru kelihatannya tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan rakyat yang diperjuangkan? Fenomena-fenomena ini adalah rangkaian panjang yang perlu didekati dengan memahami bagaimana mereka, siapa mereka dan apa yang dipikirkan oleh mereka? (Komunikasi Politik, politisi dan pencitraan, Lely Arrianie, 2010: 49)
Dengan demikian, budaya politik ini perlu diperbincangkan untuk paling tidak agar dapat menentukan apakah Indonesia cukup mempunyai civic cultur yang tinggi. Sama seperti yang telah ditemukan oleh Almond dan Meksiko dan menghasilkan temuan bahwa:”Negara-negara yang mempunyai civic culture yang tinggi, akan menopang demokrasi yang stabil. Sebaiknya Negara-negara yang memiliki derajat civic culture yang rendah tidak mendukung terwujudnya sebuah demokrasi yang stabil.
Model kekuasaan (power) memandang pembuatan keputusan sebagai sesuatu yang dibentuk dan ditentukan oleh struktur kekuasaan: kelas, orang kaya, tatanan birokrasis dan tatanan politik, kelompok penekanan, dan kalangan professional atau ahli pengetahuan teknis.(Publick Policy, Pengantar Analisis Kebijakan, Wayne Parsons, 2008, hal:250)
Peranan yang sangat peting dalam kepemilikan Media di Indonesia saat ini adalah capital, karena tanpa modal yang kuat maka akan membuat kepemilikan media kesulitan dalam persaingan bisnisnya,yang menarik, konglomerasi kepemilikan media di Indonesia lebih didorong oleh persaingan dalam perebutan iklan serta efisiensi produksi. Sedangkan konglomerasi global lebih dimotifi oleh kapitalisasi informasi, sehingga penekanan pada “bisnis informasi” menjadi sangat dominan. Maka Media tidak hanya sebagai penayang, tetapi juga sebagai pemasok informasi atau yang isi tayangannya berdampak pula ke media-media lain. Dengan demikian, iklan tidak menjadi “panglima” bisnis, tetapi informasi-lah seharusnya sebagai kontennya yang menjadi panglimanya. Mereka menjual hak siar di mana-mana dan menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda. Barulah pemuatan tentang Iklan akan menyusul.
Disebutkan dalam buku Publick Policy, Pengantar Analisis Kebijakan, Wayne Parsons, 2008, hal:108 yaitu: Adanya “kondisi” atau praktik tertentu bukan berarti ada problem yang memerlukan tindakan dan kebijakan public. Konserfatif (dengan huruf “k” besar dan kecil) telah lama tidak suka dengan gagasan untuk menggunakan bahasa “problem social” untuk mendiskusikan kondisi-kondisi social, sebab pengakuan adanya problem akan membawa konskuensi pada cara kita memandang kondisi dari sudut kebutuhan akan “solusi”.

1.1 Latar Belakang

Pada era 1960-an ekonomi informasi mulai berkembang hal ini ditandai dengan ledakan informasi dimana mengakibatkan tumbuh suburnya bisnis media yang tidak dapat di hindari, dengan masuknya kapitalisme yang mulai menguasai bisnis permediaan. Dengan demikian sebagai idiologi informasi yang memiliki spectrum tanggung jawab social dan partisipasi politis dalam mengritisi kebijakan-kebijakan penguasa, akan tetapi mediapun dapat diperuntukan sebagai mesin pencetak uang dan modal, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga bisnis lainnya. Saat Ideologi bisnis bergerak koheren dengan ideologi politik, sosial-budaya, agama dan ideologi kepentingan lainnya. Bahkan, dalam berbagai kasus dan juga berbagai kepentingan bisnis menjadi yang terdepan, terlebih dengan makin ketatnya persaingan bisnis antarmedia.
Dengan demikian dapat dilihat perkembangan bisnis dari jumlah perusahaan industri berbagai jenis melesat dari 140.000 unit di tahun 1860 menjadi lebih dari 500.000 unit di tahun 1900. Dalam waktu 60 tahun antara 1850 hingga 1910, rata-rata perusahaan manufactur meningkatkan modalnya hingga 39 kali lipat. Pada periode itu, tingkat upah pekerja naik 7 kali lipat. Produksi berbagai barang juga meningkat. Batu bara, misalnya mengalami kenaikan produksi hingga 4 kali lipat antara 1865 hingga 1900. Pada periode ini, kekayaan nasional AS melonjak 4 kali lipat.(Media Massa dan Masyarakat Modern edisi ke dua, William L. Rivers-Jay W.Jensen, Theodore Peterson, 2008:47)
Dalam buku Komunikasi Politik, politisi dan pencitraan, Lely Arrianie, 2010: 49) disebutkan : Dengan sikap yang berbeda kemudian terbentuk pula budaya politik yang berbeda. “Jika sikap dan orientasi politiknya didominasi oleh karakteristik yang bersifat kognitif, akan terbentuk budaya politik parochial, jika orientasi politiknya diwarnai oleh karakteristik yang bersifat afektif, akan terbentuk budaya politik yang bersifat subjektif. Jika orientasi politik memiliki kompetensi yang tinggi, mampu memberikan evaluasi terhadap proses politik yang berjalan, akan terbentuk sebuah budaya politik yang bersifat partisipatif. Ini tentu akan melahirkan budaya politik yang demokratik. Gaffar (2002 : 101) menyatakan bahwa : “Keyakinan akan kemampuan seseorang merupakan kunci bagi sebuah sikap politik.
Jadi untuk menilai dan mengkaji sebuah sikap politik yang kemudian mengarahkan perilaku politik politisi di DPR dan atau DPRD, nampaknya mau tidak mau harus dapat dikaji dan menganalisis budaya politik seperti apa yang dianut oleh sang politisi dalam memainkan peran politiknya. Parochial, subjektif ataukah partisipatif. Tetapi yang perlu diingat bahwa kajiaan ini bersifat fenomenologi dan interpretif maka subjektifitas politisi haruslah menjadi rujukan untuk mengetahui apa dan bagaimana mereka menurut kacamata mereka sendiri atas dasar frame mereka sendiri pula.
Persaingan ini pula yang menjadikan kepemilikan media tidak lagi dalam satu warna, sehingga menarik untuk ditelaah. Yang awalnya pesaing, dengan logika bisnis dapat berubah seketika menjadi mitra bahkan saudara seatap. Demikian pula sebaliknya, yang tadinya saudara atau mitra strategis, dapat serta-merta berubah menjadi pesaing utama. Sukses-gagal, mati-tumbuh ataupun sakit-segar menjadi dinamika tersendiri dalam fenomena perkembangan bisnis dan kepemilikan media.
Dalam buku Media Massa dan Masyarakat Modern edisi ke dua, William L. Rivers-Jay W.Jensen, Theodore Peterson, 2008:49 disebutkan : Industrialisasi juga mendorong pemusatan kekuatan ekomi diberbagai sector. Dengan laba yang menggunung, para tokoh industry mereinvestasikan uang mereka dengan memperoleh laba yang lebih banyak lagi contohnya adalah Andrew Carnegie, yang sudah kaya raya berkat industry besi, lalu melebarkan sayap ke perusahaan kereta api, pelayaran diseputar Great Lakes, pertambangan dan pabrik baja. Disini tampak adanya paradox, karena kompetisi justru mendorong pemusatan kekuatan yang selanjutnya menekan kompetisi itu sendiri. Untuk menghemat biaya, para industriawan sering kali mencaplok berbagai perusahaan lain yang kemudian mendorongnya mendominasi pasar.
Di Indonesia pun kurang lebih terjadi hal serupa, ini ketika keran bisnis media mulai dibuka yang sekaligus dapat memecah kebekuan yaitu ‘monopoli siaran’ TVRI yang merupakan milik pemerintah pada awal 1990-an, dimana kepemilikan media masih berupa kepemilikan tunggal. Dan pada era 2000-an, menunjukan peta kepemilikan media di Indonesia bergerak ke arah konglomerasi. Trans TV dengan Trans Corp-nya mengakuisisi TV7 dan mengubahnya menjadi Trans7. Demikian pula konglomerasi MNC yang dikomandani RCTI, berhasil ‘menyatukan’ TPI dan Global TV dalam satu atap. Terakhir adalah akuisisi La Tivi sebelum berubah menjadi TVOne oleh sebuah kolaborasi bisnis yang salah satu pemegang sahamnya adalah kelompok Bakrie yang juga pemilik AnTeve. Sementara AnTeve pun telah menjalin kemitraan bisnis dengan kelompok StarTV milik raja media Rupert Murdoch di bawah payung News Corp.
Implikasi social pada perilaku disebutkan dalam buku Komunikasi Antarbudaya, Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, 2009:13 yaitu: dengan konsep mengenai hubungan-hubungan perilaku sadar-tak sadar dan sengaja-tak disengaja ini, sekarang kita siap merumuskan suatu defiisi komunikasi. Disini, komunikasi didefinisikan sebagai apa yang terjadi bila makna diberikan kepada suatu perilaku. Bila seseorang memperhatikan perilaku kita dan memberinya makna, komunikasi telah terjadi terlepas dari apakah kita menyadari perilaku kita atau tidak dan menyengajanya atau tidak. Bila kita memikirkan hal ini, kita harus menyadari bahwa tidak mungkin bagi kita untuk tidak berperilaku. Setiap perilaku memiliki potensi komunikasi. Maka tidaklah mungkin bagi kita untuk tidak berkomunikasi; dengan kata lain, kita tak dapat tidak berkomunikasi.
 Konsep perilaku yang disinggung dalam definisi di atas juga meliputi segala sesuatu sebagai rekaman atau akibat dari tindakan-tindakan kita. Misalnya, tulisan ini adalah suatu akibat perilaku dari perilaku-perilaku tertentu. Sebagai penulis tulisan ini kami harus berpikir, menulis, dan mengetik. Contoh akibat perilaku adalah bau asap rokok yang tercium di sebuah tangga setelah perokoknya meninggalkan tempat itu. Merokok adalah suatu perilaku; bau asap rokok adalah akibat dari perilaku tersebut. Makna yang anda berikan kepada bau tersebut merupakan refleksi pengalaman-pengalaman lalu anda dan sikap anda terhadap rokok, merokok, merokok ditempat umum, dan mungkin orang-orang yang merokok.
Walaupun saat ini bisnis media di Indonesia belum mencapai taraf menjadikan informasi sebagai core business. Karena Indonesia masih lebih banyak mengandalkan “kue” iklan yang pada tahun 2008 bernilai sekitar Rp 60 triliun. Uniknya, meskipun salah satu alasan konglomerasi media yang ditandai dengan aksi akuisisi dan merger adalah perebutan iklan, namun pengiklan tidak serta-merta menjadikan kepemilikan tersebut sebagai dasar dalam penentuan strategi pemasangan iklan. Faktor rating acara masih tetap menjadi pertimbangan utama. Sehingga, kepemilikan media yang didasarkan atas perebutan iklan patut dipertanyakan.
Dengan demikian adapun judul makalah ini yaitu : Kepemilikan Media : (Kasus Indonesia dan implikasi sosial, budaya politik berkaitan dengan power and social relation). Pemberitaan-pemberitaan yang sangat baik dan relevan untuk pengkajian dan pembahasan hal  ini adalah masalah-masalah berkaitan dengan pemberitaan teroris di Indonesia yang dimuat oleh surat kabar harian yaitu Kompas pada tanggal 04 Mei 2011 dan tanggal 05 Mei 2011.

1.2  Rumusan masalah

Adanya pendapat menurut Giddens, sebagaimana dikutip Werner A. Meier, para pemilik media merupakan pihak yang kuat yang belum dapat “ditundukkan” dalam demokrasi. Golding dan Murdock melihat adanya hubungan erat antara pemilik media dengan kontrol media sebagai sebuah hubungan tidak langsung. Bahkan pemilik media, menurut Meier, dapat memainkan peranan yang signifikan dalam melakukan legitimasi terhadap ketidaksetaraan pendapatan (wealth), kekuasaan (power) dan privilege. Dengan demikian kepemilikan media pun akan mempengaruhi berita-berita yang akan dimuat atau diberitakan ke halayak. Dalam arti kepemilikan media menjadi dominan pula terhadap idependen pemberitaan.
Dalam Undang-Undang Penyiaran misalnya dikatakan bahwa kepemilikan media harus berjaringan atau bisa menggunakan sistem kepemilikan silang (cross ownership). Undang-Undang Penyiaran Pasal 16 ayat 2 mengatakan;
“Kepemilikan silang antara lembaga penyiaran swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio, dan lembaga penyiaran swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi; antara lembaga penyiaran swasta dengan perusahaan media cetak; dan antara lembaga penyiaran swasta dengan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya; baik langsung maupun tidak langsung, dilarang.”
Setelah adanya Undang-Undang yang mengatur cross ownership ini tentang yang  mendapat penolakan keras dari pemilik media dan praktisi. Bahkan mereka melakukan penggabung diri dalam berbagai organisasi, seperti: menyebutkan diri sebagai Asosiasi Televisi Seluruh Indonesia (ATVSI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), serta Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI). Ini merupakan dasar dari penolakan terhadap larangan cross ownership ini semuanya dilakukan karena mengatasnamakan perwujudan kebebasan pers, sebagai revolusi teknologi informasi dan wacana demokrasi yang sedang dibangun di Indonesia.
Dimana nampaknya alasan penolakan dari pemilik media dan praktisi di atas sangat tampak rasional dan yang sulit untuk terbantahkan, terutama untuk sebuah alasan kebebasan pers. Konsekuensi yang tampak dari penolakan itu bukanlah semata-mata keinginan untuk mendapatkan kebebasan berusaha yang diringi oleh makna kebebasan per situ sendiri. dan juga ada alasan lain, yaitu bagaimana pemilik media dengan kekuatan modalnya melalui free trade memperoleh keuntungan yang sebesar-besar dari bisnis ini yang akan bisa menguntungkan pemilik media itu sendiri.
Tentulah denagan masuknya kapitalisme dan derasnya arus informasi persaingan yang semakin ketat dengan bisnis media akan menjadikan budaya baru berdampak pula pada pengaruh social ekonomi politik, dan berdasarkan latar belakang dan judul makalah ini, yang akan  mengungkakap fenomena yang berkaitan dengan kepemilikan media dalam di Indonesia dan implikasinya terhadap kasus social, seperti juga halnya dengan budaya politik, berkaitan dengan power social relation.
Degnan demikian maka penulis dengan menggunakan rumusan masalah pada penulisan makalah ini adalah: Bagaimana kepemilikan media di Indonesia dan implikasi social, budaya politik berkaitan dengan power social relation, dengan kasus penyajian pemberitaan tentang kelanjutan teroris yaitu organisasi yang dissebut dengan Al Qaeda pada pemberitaan kompas tanggal 04 Mei 2011 dan berlanjut dengan tanggal 05 Mei 201. Dimana tertadapat topic-topik pada halaman utamanya seperti Pakistan Dipermalukan (04/05/2011) Idiologi Kekerasan Tak Diterima dimanapun. Sedangkan Kompas (05/05/2011) Ketua Al Qaeda Baru Jadi Target.

Bab II
1.2  Kerangka Teori
        Dalam buku Teori Komunikasi, Sejarah, Metode  dan Terapan didalam Media Massa edisi kelima, Werner J. Severin dan Jame W. Tankard, Jr 2008:276-277, disebutkan : Banyak penelitian telah dilaksanakan berkenaan dengan agenda media dan kemungkinan dampaknya pada agenda public, tetapi para peneliti kadang-kadang mengambil sebuah pertanyaan penting siapa yang menentukan agenda media? Atau, seperti yang ditayangkan Bruce Wetley berkenaan dengan agenda media, “siapa yang embuat berubah?” (westly, 1976).
Sebagaian dari jawabannya terletak pada peristiwa yang terjadi dalam realitas. Hingga tingkat tertentu, media hanya meneruskan isu dan peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Fungsi ini hanya merupakan kulit saja sebab penelitian Funkhourser (1973a) dan Zucker (1978) menunjukan bahwa liputan media sering kali begitu tidak sesuai dengan kejadian-kejadian dalam realitas. Banyak penelilitian menyatakan kesimpulan yang sama.
Jika demikian, apakah yang menentukan agenda media? Westley (1976) sendiri telah memberikan sebagian dari jawaban itu. Dia menyatakan bahwa dalam beberapa hal tekanan kelompok atau kelompok kepentingan khusus bias menaikan sebuah isu ke agenda media. Contoh-contoh dari hal ini adalah Student Nonviolent Cordinating Committee (SNCC) yang mengambil bagian dalam kesempatan diskriminasi rasial pada agenda public tahun 1960-an dan National Organization for Women (NOW) dan kelompok-kelompok perempuan lain yang menempatka isu-isu perempuan pada agenda public pada tatuh 1970-an.
Funkhouser (1973b) memberikan sebuah daftar lima mekanisme sebagai tambahan untuk arus peristiwa nyata yang bekerja mempengaruhi besarnya perhatian media yang mungkin diterima sebuah isu.
1.      Adaptasi media terhadap arus peristiwa. Ketika pola yang sama terus ada, maka hal itu dianggap sebagai “kurang lebih sama” dan tak lagi dianggap sebagai berita.
2.      Pelaporan yang berlebihan tentang peristiwa penting yang tidak biasa. Beberapa kejadian, seperti tumpahnya minyak Santa Barbara, penting tetapi menerima liputan yang berlebihan karena keunikannya atau sifatnya yang menimbulkan sensasi.
3.      Pelaporan selektif aspek-aspek, yang patut diberikan dari situasi yang tidak layak diberikan. Misalnya, sebuah penelitian terkenal menunjukkan bahwa dengan menyeleksi detil-detil tertentu, liputan televisi tentang sebuah parade yang menghormati Jenderal Douglas. MacArthur, tampak lebih menarik daripada kejadiaan sebenarnya (K.Lang dan G.E.Lang. 1972).
4.      Pseudoevent, atau pembuatan peristiwa yang patut dijadika berita. Gerakan protes, demonstrasi, protes public dengan menduduki tempat, dan trik publisitas. Adalah contoh-contoh pseudoevent yang bias membantu memindahkan isu ke agenda pers.
5.      Rangkuman kejadian, atau situasi yang melukiskan kejadian biasa dengan cara yang patut dijadikan berita. Contohnya adalah perilisan laporan umum ahli bedah pada tahun 1964 yang menunjukkan hubungan antara merokok dengan kangker paru-paru.
Pertanyaan siapa yang menentukan agenda benar-benar menjadi pertanyaan yang lebih luas yaitu: apa yang mempengaruhi isi media? Dan jelas sekali banyak hal yang memengaruhinya, pertanyaan lebih luas ini mencakup pendekatan yang terkadang dikenal dengan sosiologi media, yang telah menjadi subjek dari banyak riset dan pengembangan teori akhir akhir ini (shoemaker dan Reese, 1991).
Dengan demikian dapat dijelaskan teori agenda setting berangkat dari asumsi “menciptakan apa yang menurut publik dianggap penting.” Media menata (men-setting) sebuah agenda terhadap isu tertentu sehingga isu itu dianggap penting oleh publik yang salah satunya karena isu tersebut berhubungan dengan kepentingan publik, baik secara langsung atau tidak. Caranya, media dapat menampilkan isu-isu itu secara terus menerus dengan memberikan ruang dan waktu bagi publik untuk mengkonsumsinya, sehingga publik sadar atau tahu akan isu-isu tersebut, kemudian publik menganggapnya penting dan meyakininya. Sebetulnya, dengan kata lain, isu yang dianggap publik penting pada dasarnya adalah karena media menganggapnya penting.
Ada dua asumsi dasar agenda setting adalah; (1) Media dan pers tidak merefleksikan realitas; media memfilter dan mempertajam realitas itu. (2) Media berkonsentrasi pada beberapa isu atau subjek yang membawa publik untuk memperhatikan hanya pada isu-isu tersebut sebagai isu yang lebih penting dari isu-isu lain. Salah satu yang paling penting dari konsep agenda setting di dalam komunikasi massa adalah “time frame” untuk fenomena ini.
Teori agenda setting berhubungan dengan tiga model agenda, yakni agenda media, agenda publik dan agenda politik. Agenda media adalah seperangkat topik atau isu yang dibahas oleh media (televisi, radio, koran, dan lain-lain). Agenda publik adalah seperangkat topik atau isu yang dianggap penting oleh publik. Sementara agenda politik merupakan topik atau isu-isu yang diyakini penting oleh para pembuat keputusan (DPR atau mereka yang berpengaruh dalam proses legislasi).
Masing-masing dari tiga agenda dalam definisi luas agenda setting merupakan variabel yang terpisah dan dependen, namun saling memiliki hubungan. Meski ada yang mengatakan bahwa agenda media yang mempengaruhi munculnya agenda publik atau sebaliknya, tapi kesimpulan yang muncul setelah penelitian McCombs dan Shaw’s menggarisbawahi bahwa agenda media dan agenda publik memiliki hubungan yang lebih bersifat resiprokal atau timbal balik. Kemudian kedua variabel agenda tersebut akan diikuti oleh variabel agenda kebijakan.

2.2. Kasus aktual
           
Sebagai contoh kasus yang aktual penulis ungkap adalah: salah satu pemuatan berita yang melalui surat kabar Kompas tanggal 4 Mei 2011 yaitu Judul : Pakistan Dipermalukan dengan tema Ideologi Kekerasa Tak Diterima di Mana Pun, dengan pemberitaan sbb: Washington Dc, selasa-Pakistan dipermalukan dan berada di bawah tekanan setelah operasi militer Amerika Serikat menewaskan pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden dinegara itu. AS dan beberapa Negara lain meragukan komitmen Pakistan dalam memberantas Terorisme.
Dimana berlanjut pemberitaan Kompas tgl 5 Mei 2011 yang mengangkat isu: Judul Ketua Al Qaeda Baru Jadi Target, dengan tema Putri Osama Menyaksikan Ayahnya Tertembak. Washington DC, selasa-Siapa pun yang akan menggantikan posisi Osama bin Laden sebagai pemimpin Al Qaeda akan menjadi target baru Amerika Serikat.
Di lain pihak, para pengikut Al Qaeda mengatakan, jaringan itu tak akan pudar. bahkan, mereka akan membalas dendam.  Ini adalah merupakan kelanjutan pemberitaan masalah teroris yang dimuat di beberapa media di Indonesia, sebagaimana di beberapa negara lain, Indonesia juga tidak kebal dari term terorisme.
Seperti contoh yang telah terjadi belum lama seperti penangkapan, atau lebih tepatnya penyergapan dan sampai dilakukan tembak mati, peristiwa atau kejadian ini adalah teroris yang diduga dipimpin oleh Dulmatin, di daerah Pamulang, Tangerang Selatan. Sehari setelah penyergapan itu, Presiden SBY pun mengumumkannya di hadapan parlemen Australia sebagai pembukaan pidato kenegaraannya, dan mendapat simpati dan apresiasi yang besar dari pemerintah Australia. Pemerintah Australia menyatakannya sebagai “tindakan yang berhasil” yang dilakukan oleh Polri.
Dari penjelasan tersebut di atas terlihat bahwa “agenda media” dalam Teori Agenda Setting lebih dominan perannya dibanding agenda publik maupun agenda politik. Dalam pengertian, agenda media mempengaruhi agenda publik untuk menganggap isu apa yang penting. Media menata sebuah agenda terhadap isu terorisme sedemikian rupa dan secara berulang-ulang sehingga isu itu dianggap penting oleh publik karena isu tersebut berhubungan dengan keamanan publik, baik secara langsung atau tidak.


Bab III
3.1. Analisis Kasus
Menurut: Edward Burnett Culture or civilization, take in its wide technografhic sense, is that complex whole which includes knowledge, bilief, art, morals, law, custom and any other capabilities and habits acquired by men as a member of society.(Budaya mempunyai pengertian teknografis yang luas meliputi ilmu pengetahuan, keyakinan/percaya, seni, moral, hukum, adapt istiadat, dan berbagai kemampuan dan kebiasaan lainnya yang didapat sebagai anggoa masyarakat). Dan Vijay Sathedan Culture is the set of important assumption (opten unstated) that members of a community share in common. (Budaya adalah seperangkat asumsi penting yang dimiliki bersama anggota masyarakat).
Sedangkan menurut Edgar H. Schein : Budaya adalah suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai pembelajaran untuk mengatasi masalah adaptasi ekstrenal dan integrasi internal yang resmi dan terlaksana dengan baik dan oleh karena itu diajarkan/diwariskan kepada angota-anggota baru sebagai cara yang tepat memahami, memikirkan dan merasakan terkait degan masalah-masalah tersebut.
Perspektif Perilaku (Behavioral Perspective) Pendekatan ini awalnya diperkenalkan oleh John B. Watson (1941, 1919). Pendekatan ini cukup banyak mendapat perhatian dalam psikologi di antara tahun 1920-an s/d 1960-an. Ketika Watson memulai penelitiannya, dia menyarankan agar pendekatannya ini tidak sekedar satu alternatif bagi pendekatan instinktif dalam memahami perilaku sosial, tetapi juga merupakan alternatif lain yang memfokuskan pada pikiran, kesadaran, atau pun imajinasi.
Watson menolak informasi instinktif semacam itu, yang menurutnya bersifat“mistik”, “mentalistik”, dan “subyektif”. Dalam psikologi obyektif maka fokusnya harus pada sesuatu yang “dapat diamati” (observable), yaitu pada “apa yang dikatakan (sayings) dan apa yang dilakukan (doings)”. Dalam hal ini pandangan Watson berbeda dengan James dan Dewey, karena keduanya percaya bahwa proses mental dan juga perilaku yang teramati berperan dalam menjelaskan perilaku sosial.
3.2. Kritik atas Analisis kasus

Ada sebuah keunikan dalam pandangan penulis. Istilah terorisme di dunia dan juga di Indonesia selalu diidentikan dengan gerakan Islam, atau yang biasa disebut Islam Garis Keras. mumnya gerakan teroris di Indonesia selalu dihubungkan dengan Jamaah Islamiyah yang ditenggarai memiliki hubungan dengan Al-Qaeda. Seperti :
Pemberitaan Kompas tanggal 04/05/2011: Kongres AS mendesak pemerintahan Presiden Barack Obama meninjau kembali bantuan AS kepada Pakistan sebesar 20 miliar dollar AS (Rp 170,9 triliun) yang diberikan agar Pakistan turut membantu perang melawan terorisme. Para wakil rakyat AS mempertanyakan, bagaimana mungkin Osama bisa tinggal di kawasan permukiman padat didekat Akademi Militer di Pakistan tanpa satupun pejabat negara tahu.”Pemerintahan kami saat ini sedang dalam kondisi bahaya fiscal. Menyumbang sebuah Negara yang tidak benar-benar mendukung kami akan menjadi masalah bagi banyak orang, “ ujar Ketua Komite Intelijen Senat AS Dianne Feinstein, senin (2/5).
Pihak eksekutif di AS sendiri juga meragukan Pakistan dalam kaitan dengan Al Qaeda ini. Penasehat bidang kontraterorisme Gedung Putih, John Brennan, mengatakan, tak terbayangkan Osama bisa hidup bertahun-tahun di Abbottabad, Pakistan, tanpa ada system pendukung dinegara itu.”Tentunya lokasi (Osama) di dekat ibu kota (Pakistan) memunculkan berbagai pertanyaan. Kami sedang membicarakan ini dengan pihak Pakistan,” . tutur Brennan dalam jumpa pers di Gedung Putih, senin.
Dengan alasan itu pula, AS memutuskan melakukan operasi militer di wilayah Pakistan tanpa izin dan sepengetahuan pihak berwenang negara itu. Brennan mengatakan,  pihak Pakistan baru dikabari tentang operasi itu setelah helicopter-helikopter AS yang mengangkut pasukan Navy SEALs dan jasad Osama keluar dari wilayah udara Pakistan.
Analisis kasus pada berita ini adalah merupakan suatu kegiatan Operasi Intelejen Penangkapan Osama bin Laden yang sudah terancang dari sejak th 2007 intelejen AS engungkap nama utusan kepercayaan Osama, tetapi belum mengetahui lokasinya, th 2009 intelejen AS mengetahui lokasi dipakistan tempat utusan sekaligus saudar Osama biasa beroperasi.
Agustus 2010, intel AS mengetahui komplek di Abbottabad tempat dua saudara laki-laki Osama dan keluarganya tinggal. September 2010 CIA menjelaskan Presiden Obama bahwa kemungkinan besar Osama tinggal di komplek bangunan itu, Februari 2011 pemerintah AS memutuskan telah terdapat bukti-bukti kuatuntuk merencanakan aksi penangkapan. 14 Maret 2011, Obama mulai rapat pertama dari lima rapat dengan Badan Keamanan Nasional untuk memilih membunuh atau menangkap Osama. Kamis 28 April 2011 presiden Obama mengelar rapat penting dengan penasehatnya.
Debat untuk memilih antara tiga pilihan: 1.serbuan terbatas hanya mengirim kelompok kecil pasukan elite AS. 2. Menggelar serangan dan 3. Menunggu kepastian Informasi. Jumat tgl 29 April Presiden Obama memutuskan serangan gerak cepat. Minggu 01 Mei serangan malam pasukan AS menggunakan helicopter Osama dan empat orang pengiringnya tewas.
Sedangkan pada tgl 05/05/2011 pemberitaannya adalah Direktur Badan Pusat Intelijen AS (CIA) Leon Panetta, selasa (3/5) di Washington DC, mengatakan, belum jelas siapa yang akan menggantikan Osama sebagai pemimpin Al Qaeda. Namun, ia menegaskan, siapapun dia akan menjadi musuh public nomor satu Amerika Serikat.
Ayman al-Zawahiri, salah seorang wakil Osama, diperkirakan akan menggantikan posisi Osama bin Laden. “urutannya naik cepat ke jajaran dalam daftar, “ kata Panetta kepada televisi CBS. Ia merujuk kepada Zawahiri.
Panetta mengatakan, AS sedang bersikap menunggu hingga muncul figure pemimpin baru secara lebih jelas. “saya kira hal ini sekaligus member kita waktu untuk melanjutkan serangan pada saat Al Qaeda sedang dalam keadaan bingung. Saya member anda jaminan, siapapun yang menggantikan posisinya, dia akan menjadi target utama dalam sasaran kami.”
Dengan demikian analisis dari pemberitaan tgl 05/05/2011 adalah dengan Opini Arab terbelah, dunia Arab saat ini terbelah antara membisu, kurang member perhatian, dan menangisi atas tewas tertembaknya pemimpin Tanzim Al Qaeda Osama bin Laden. Opini public dikalangan masyarakat arab pun kurang memberi respons atas berita tewasnya osama itu.
Adapun reaksi dunia atas kematian Osama bin Laden, seperti : AS “selama apapun itu, keadilan pasti akan ditegakkan oleh mantan presiden George W Bush, Inggris “sebuah sukses besar..ia tidak mungkin lagi menebarkan terror di seluruh dunia”. PM David Cameron. Patikan, harapan kami, “hal ini tidak meninbulkan lebih banyak kebencian, melainkan kedamaian” Jubir Patikan, Hamas di Gaza “kami mengutuk aksi pembunuhan atas seorang mujahid arab“. Ismael Haniyeh. Prancis “kekalahan bersejarah bagi kejahatan terorisme” presiden Sarkozy Israel “sebuah perbuatan terpuji untuk perdamaian dunia”. B Netanyahu arab Saudi berharap aksi ini ”menyingkirkan pemikiran yang salah dibalik terorisme” Yaman berharap aksi ini “akan memusnahkan akar terorisme di seluruh dunia” Australia “Al Qaeda belum musnah perang melawan terorisme harus dilanjutka”.PM Julia Gillard.

  
3.3. Kesimpulan

A. Kepemilikan media

Media dalam pembahasan ini, sebagai konsep tulisan  tentu adalah media massa. Eoin Devereux secara kronologis, mengikuti perkembangan media, yang mendefinisikan media massa sebagai berikut:
1.      Media merupakan “wadah” berkomunikasi antara sender dengan receiver.
2.      Media merupakan sebuah industri atau organisasi.
3.      Media merupakan institusi yang memproduksi teks sebagai komoditas.
4.      Media merupakan agen perubahan sosial dan global.
5.      Media merupakan agen sosialisasi dan menjadi sumber yang sangat kuat dalam  mengkonstruk kebermaknaan sosial (social meaning).
Media akan merekonstruk realitas sesuai “kepentingan” media atau pemilik media. Jika kita menggunakan pendekatan “framing”, kita akan sangat bertanya-tanya mengapa yang disebut sebagai “teroris” hanya dari kelompok Islam? Sementara dibeberapa tempat jika adanya sekelompok orang yang secara kejam melakukan pembunuhan massal tidak disebut teroris? Atau seperti yang dilakukan dalam gerakan-gerakan perjuangan kemerdekaan di Aceh dan Papua; yang mengalami hal serupa yaitu adanya pembunuhan-pembunuhan, tapi hal tersebut mereka juga tidak disebut sebagai teroris, melainkan disebut sebagai separatis. Padahal mereka kalau dicermati  sama bersenjata dan memiliki agenda yang sistematis dan terencana juga.
Dengan demikian Kepemilikan Media untuk kasus di Indonesia dan implikasi sosial, budaya politik berkaitan dengan power and social relation nampak jelas adanya campur tangan dari pihak-piahak lain yang memiliki kepentingan-kepentingan secara politik.


B. Pengaruh Kapitalisme
Dengan demikian isi pemberitaan tanggal 04 Mei 2011 dan tgl 05 Mei 2011 secara jelas apapun pemberitaan akan mengacu kepada orientasi pada kesimpulan yaitu: media sangat sulit melepaskan diri dari sentuhan tangan kapitalisme global yang kini sebagai induknya yaitu Amerika. Dalam kasus pemberitaan terorisme di Indonesia pun asa kepentingan-kepentingan negaranya sebagai dukungan-dukungan politiknya, sehingga terjadi makna terorisme “yang sejati” adalah makna yang telah diberikan oleh Amerika. Ada dua hal yang perlu diperhatikan :
1.          Sebagai institusi ekonomi media tunduk pada sistem kapitalisme dimana tujuan utama media adalah untuk mencari profit.
2.           Dalam kasus terorisme, media tunduk pada kebijakan Amerika atau katakanlah mainstream global mengenai terorisme.
Konten media jelas dipengaruhi pemilik media. Karena itu sangat sulit untuk tidak mengatakan bahwa para pekerja di media (wartawan, dll) memiliki kreativitas dan independensi mutlak, yang berakibat kepemilik media berorientasi profit untuk kelangsungan bisnis dan usahanya. Maka demikian pula juga dengan keberadaan medianya.
Jika analisis ini lebih diperdalam lagi, maka kita akan sampai pada sebuah pendekatan dengan menggunakan teori terorisme Chomsky. Menurut Chomsky, dimana “pemaknaan realitas” oleh media telah tenggelam di dalam sistem ideologi kapitalisme sangat member pengaruh, atau lebih tepatnya di bawah sistem ideologi Amerika, dimana meninbulkan akses kepada kepemilikan media seperti untuk kasus pemberitaan teroris di Indonesia secara implikasi social agar mendapatkan dukungan, dimana budaya politiknya sangat erat dengan kekuasaan yang berkaitan dengan power and social relation dalam hal ini adalah negara Amerika yang memiliki akses informasi lebih luas dan modern.

Lampiran :
Daftar pustaka
Burhan Bungin, 2009 Sosiologi Komunikasi Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat,  Kencana Prenada Goup, Jakarta.
Eoin Devereux, Understanding The Media (London: Sage Publication, 2005)
Lelu Arrianie, 2010, Komunikasi Politik, Politisi dan Pencitraan di Panggung Politik, Widya Padjadjaran.
Manahan P. Tampubolon, 2008,  Perilaku Keorganisasian Perspektif Organisasi Bisnis, Ghalia Indonesia,Bogor.
McQuail, 1987, Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar,Erlangga, Jakarta
Mulyana, D dan Rahmat, J. 2000. Komunikasi Antar Budaya. PT. Remaja Rosdakarya.  Bandung
Miftah, Thoha. 2008. Perilaku Organisasi; konsep dasar dan aplikasinya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Werner J. Severin & James W. Tankard, 2001, Communication Theories: Origins, Methods, & Uses in the Mass Media, ed. 5th, penerj. Sugeng Hariyanto, Addison Wesley Longman Inc.
 Widjaya H.A.W, 2008, Komunikasi & Hubungan Masyarakat,   PT Bumi Angkasa, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar