Senin, 16 Mei 2011

Konflik Sosial dalam Beragama


KONFLIK SOSIAL DAlAM BERAGAMA
Oleh : IB Saduarsa

                                                                     PENDAHULUAN

A.    Latar belakang

     Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu demikian bunyi pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebabkan setiap warga Negara Indonesia dijamin keabsyahannya untuk memeluk agama yang dianut dan diyakini. Dalam kehidupan umat Hindu, kesadaran dari umatnya untuk meningkatkan cara-cara beragama dengan mendalami ajaran-ajaran agama melalui pendekatan rasional dan filosofis untuk menembus tabir dogmatisme.

           Agama Hindu mengajarkan bahwa semua yang ada ini berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, berada dalam Tuhan Yang Maha Esa dan kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dinyatakan dalam sastra-sastra agama Hindu, baik yang berbahasa Sansekerta, maupun yang berbahasa Jawa Kuna atau Bahasa Bali.

  Agama adalah : Satya, Rta, Diksa, Tapa, Brahma dan yajna (semoga semua ini) ia akan dapat memberikan tempat dan mengatur tempat hidup kita, dulu, sekarang dan yang akan datang di dunia ini. Veda adalah sumber dari segala dharma, kemudian barulah sruti, disamping sila acara dan atmanastuti, seharusnya semuanya ini merupakan sumber dari seseorang untuk dapat berpikir, berkata dan berbuat dalam hidup ini, yangmana akan mengakibatkan karma yang akan diterima nanti sekarang maupun yang akan datang tanpa dapat dihindari. Walaupun sesungguhnya orang-orang didunia ini sama menghendaki kebahagiaan yang tiada taranya, akan tetapi oleh sebab mereka hanya dapat melaksanakan dharma sesuai dengan kemampuannya, maka karmaphala yang diperoleh olehnya tidak bisa lain tentu sesuai dengan dharmanya.
     Jalan dharma, salah satunya adalah tidak melaksanakan kepada orang lain, segala perbuatan, perkataan dan pikiran yang tidak menyenangkan dirimu sendiri, yang menimbulkan kesusahan dan sakit hati; bagai membuat baju, tentu harus diukur ke badan sendiri, prilaku demikian itu dapat disebut dharma, penyimpangan dari itu janganlah dilakukan. Apabila ada orang bijaksana, jujur, selalu berkata-kata benar, mampu mengalahkan hawa nafsu, tulus ikhlas lahir bathin, serta setiap perbuatannya berlandaskan  dharma, itulah orang yang harus diikuti, jika mengikutnya disebut dharma prawrtti.
     Yang namanya dharma itu, pergi kemana-mana keseluruh yang ada, tidak ada yang mengakui, tidak ada juga yang diakuinya, sangat sukar untuk dapat mengetahui asalnya dharma itu. Adalah suatu keharusan, untuk mengerahkan segala daya upaya, untuk mencari makna yang dianggap sebagai dharma, setelah mendapatkannya, camkan baik-baik di hati, dan sebagaimana yang telah dikatakan sebelumnya, segala sesuatu yang tidak berkenan di hati, yang itu janganlah dilakukan kepada orang lain. Manusia yang tidak melaksanakan dharma, bagaikan padi yang hampa atau telur yang busuk, tampak ada namun tiada berguna, karena keangkuhan, dia merendahkan perbuatan dharma, serta tetap melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Dharma, percayalah, orang seperti itu dan juga yang mengikutinya, niscaya akan mendapatkan penderitaan.
     Apapun tantangannya, dharma patut dilakukan, karena dia adalah harta kekayaan yang tidak dapat dirampas, tak dapat dicuri, yang mengikuti sampai mati, bukankah harta kekayaan seperti itu, yang patut kita usahakan untuk memperolehnya ? Rejeki harta benda terkadang jauh, bahkan kehidupan diliput kemiskinan, namun jika tetap teguh dalam menjalankan dharma, orang dapat menganggap dirinya kaya, sebab perbuatan dharma itulah merupakan harta kekayaan yang harus terus diusahakan oleh orang yang memiliki sradha dan bhakti. Tak dapat dicuri, dirampas harta kekayaan berupa dharma itu, dan jika tekun melaksanakannya, tidak akan tidak memperoleh penghidupan, karena segala macam makanan, sayur-sayuran, air, dan segala kebutuhan lainnya, mendekat seakan-akan menawarkan dirinya. Harta kekayaan duniawi, tak layak dikejar mati-matian, itu akan membuang-buang waktu saja, namun yang patut diupayakan adalah, walau sibuk bahkan terengah-engah dalam melaksanakan dharma, usahakan sebagai sambilan mencari harta dalam kegiatan itu, laksana lembu yang menyandang bajak, mengelilingi sawah, disambilkannya juga mecabut rumput yang dekat padanya, maka ia senang. Ajaran dharma sangat mulia juga amat rahasia, tak beda seperti jejaknya ikan dalam air, pelaksanaannya menuntut ketenangan, kesabaran, keteguhan iman dan usaha terus menerus.
      Agama Hindu mengajarkan nilai - nilai kebenaran yang luhur itu dengan tujuan yang sama pula, walaupun cara pengamalan atau prakteknya berbeda - beda. Namun demikian ajaran yang bersifat absolut ( theologis ) yang berkaitan dengan keimanan ( Sraddha ) tak pernah ditinggalkan, sedangkan cara dalam pencarian Yang Absolut itu tidak selalu sama ( relatif ) bergantung dari bakat sifat kelahiran manusia itu sendiri. Oleh karena itu Agama Hindu mengajarkan empat jalan menuju Tuhan ( Brahman, Sanghyang Widhi Wasa ) yaitu :
1.      Bhakti Margha ialah jalan mencapai kebenaran sejati melalui penyerahan diri yang dilandasi cinta-kasih yang murni kepada Tuhan dan memancar kepada sesama ciptaan-Nya.
2.      Karma Margha ialah jalan mencapai kebenaran sejati melalui amal perbuatan tanpa pamrih dan segala akibat/hasilnya terserah kepada Sang Penakdir.
3.      Jnana Margha ialah jalan mencapai kebenaran sejati melalui olah - pikir atau jalan filsafat sampai terwujud suatu kesadaran bahwa Sang Pencipta itu absolut ( ens a se ), sedangkan eksistensi ciptaan-Nya bersifat maya, ilusi, relatif ( ens ab alio ). Namun demikian disadari bahwa inti kehidupan bukanlah relatif, melainkan absolute.
4.      Raja Yoga Margha ialah jalan mencapai kebenaran sejati melalui disiplin spiritual dengan cara bertapa dan selalu menghubungkan sang Diri dengan sang Pencipta, antara Atman ( Jiwa Sejati ) dengan BrahmanYang Esa.
     Keempat jalan tersebut barangkali secara implisit terdapat juga dalam Agama yang lain walaupun istilahnya berbeda. Dengan adanya empat jalan tersebut diharapkan agar keanekaragaman atau kebhinekaan tidak akan mengarah menjadi pertentangan atau konflik, namun dapat menumbuhkan simpati dan kerjasama dalam membangun kehidupan sosial yang harmonis, rukun dan damai ( Jagadhita ), sedangkan secara individual dapat membebaskan jiwanya dari belenggu duniawi yang bersifat maya serta mencapai kebahagiaan sejati ( Moksa ).
B.     Perumusan Masalah

     Berdasarkan latar belakang tersebut diatas dapat dirumuskan masalahnya adalah karena sebuah ajaran yang berkaitan dengan keyakinan sangat dapat merubah prilaku yang akan dipengaruhi oleh loyalitas, integritas, intelektualitas, toleransi dan norma-norma yang dianggap benar maka masalah yang sering timbul yaitu :

1. Apa sebab Pertentangan / konflik sosial maupun internal akibat adanya perbedaan-perbedaan pandangan, pendapat tetap terjadi, dan juga kekerasan,  pemaksaan kehendak selalu saja mewarnai kehidupan didunia ini, sehingga sering sekali berakhir dengan pertumpahan darah bahkan sampai meninbulkan korban jiwa?

2. Kenapa perbedaan agama yang seakan menjadi musuh agama satu dengan yang lainnya bukankah semua mengakui agamanya dari Tuhan, dan kenapa tidak  kebodohan dan kemiskinanlah yang menjadi musuh utama manusia hidup didunia ini?

C.    Kerangka Berfikir
     Untuk mendapatkan gambaran yang sistimatis tentang lingkup pembahasan yang akan dibahas dalam pengkajian ini, maka diperlukan penjelasan mengenai pokok pengertian dan pemahaman yang akan menjadi landasan setiap pembahasan seperti dalam judul tulisan ini. Agama-agama merupakan berbagai jalan yang bertemu pada satu titik yang sama. Apa yang menjadi masalah bila kita mengambil jalan yang berbeda sepanjang kita mencapai tujuan yang sama? Dalam kenyataan jumlah agama adalah sebanyak jumlah manusia yang ada di dunia ini. Demikian Mahatma Gandhi dalam Hind Swaraj menyatakan di tahun 1946 (Prabhu: 1996: 33). Pandangan Mahatma Gandhi sejalan dengan pandangan seorang Sufi kontemporer Frithjof Schuon (2003:11) dalam bukunya Transcendent Unity of Religions, dengan kata pengantar oleh Huston Smith dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Mencari Titik Temu Agama-Agama menggambarkan semua agama menuju Tuhan Yang Maha Esa baik dalam tataran esoteric maupun exoteric, seperti berbagai jalan menuju ke satu puncak gunung.
     Lebih jauh tentang agama sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa dan tafsir terhadap agama tersebut dilakukan oleh manusia dengan berbagai keterbatasannya, dinyatakan oleh Mahatma Gandhi (Prabhu, 1996:35) sebagai berikut:
     “Semua agama adalah anugrah Tuhan Yang Maha Esa tetapi bercampur dengan sifat manusia yang tidak sempurna karena agama itu memakai sarana manusia. Agama sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa di luar jangkauan bahasa manusia. Manusia yang tidak sempurna menyampaikan agama itu menurut kemampuan bahasa mereka, dan kata-kata mereka ditafsirkan lagi oleh manusia yang tidak sempurna juga. Tafsiran siapa yang harus dipegang sebagai tafsiran yang tepat. Setiap orang adalah benar dari sudut pandangannya sendiri, namun bukanlah mustahil juga bahwa setiap orang adalah salah. Maka dari itu dibutuhkan toleransi yang bukan berarti acuh terhadap kepercayaannya sendiri, melainkan dibutuhkan toleransi yang lebih mengandalkan akal sehat dan kasih sayang yang lebih murni. Toleransi akan memberikan kita pandangan rohani yang jauh dari sikap fanatisme seperti jauhnya jarak antar Kutub Utara dengan Kutub Selatan. Pengetahuan yang benar tentang agama meruntuhkan dinding-dinding pemisah antar agama yang satu dengan agama yang lain dan sekaligus memupuk toleransi. Pemupukan toleransi terhadap agama lain akan memberikan kepada kita pemahaman yang lebih mendalam tentang agama kita sendiri”
     Dalam kenyataannya, tidak semua memiliki kemampuan untuk memahami agama lain, yang mengakibatkan sikap tidak toleran terhadap agama lain. Demikian pula halnya dengan fanatisme buta yang hanya didasarkan kepada solidaritas dari suatu komunitas atas sesuatu yang sangat diyakini tanpa pembuktian yang memadai, baik melalui bidang fisika maupun metafisika, apalagi ditunjang oleh dogma-dogma kaku yang sengaja diciptakan untuk kepentingan golongan tertentu sehingga akhirnya akan membatasi  setiap gerak dan penalaran yang cenderung mudah sekali memicu terjadinya gesekan dan benturan kepentingan kecil di satu pihak dengan kepentingan universal di pihak lainnya.              Dalam kejamakan kepentingan dalam satu dunia yang sedang dilanda kebingungan, mudah sekali setiap pribadi yang tidak memiliki cukup pertahanan diri untuk terseret dalam arus provokasi yang justru tidak akan pernah memberikan keuntungan bagi siapapun, hanya kehancuran yang akan menimpanya.
     Seperti telah disebutkan di atas, dalam hal-hal yang berhubungan dengan kemanusiaan, nilai-nilai manusia (human values) atau dalam rangka mewujudkan kemakmuran bersama, banyak hal yang merupakan titik temu dari agama-agama. Titik temu tersebut antara lain: untuk hidup  harmonis dengan sesama umat manusia, untuk menghormati ciptaan-Nya, saling tolong menolong, mewujudkan kerukunan hidup, toleransi dan sebagainya. Dalam usaha meningkatkan kerukunan intra, antar, dan antara umat beragama ini, dikutipkan pernyataan Svami Vivekananda pada penutupan sidang  Parlemen Agama-Agama sedunia, seratus dua belas tahun yang lalu tepatnya tanggal 27 September 1893 di Chicago, karena pernyataan  yang disampaikan oleh pemikir Hindu terkenal akhir abad yang lalu itu senantiasa relevan dengan situasi saat ini. Pidato yang mengemparkan dunia, dan memperoleh penghargaan yang tinggi seperti ditulis oleh surat kabar Amerika sebagai berikut: “An orator by divine right and undoubted greatest in the Parliament of Religion” (Walker,1983:580). Kutipan yang amat berharga itu diulas pula oleh Jai Singh Yadav (1993), dan diungkapkan kembali oleh I Gusti Ngurah Bagus (1993), sebagai berikut :
     “Telah banyak dibicarakan tentang dasar-dasar umum kerukunan agama. Kini saya tidak sekedar mempertaruhkan teori saya. Namun, jika ada orang yang berharap bahwa kerukunan ini akan tercapai melalui kemenangan dari suatu ajaran agama terhadap penghancuran agama lainnya, maka kepadanya saya akan katakan: “Saudara harapan anda itu hanyalah impian yang mustahil”.
     “Jika seseorang secara eksklusif memimpikan kelangsungan agamanya dan kehancuran agama lainnya, saya menaruh kasihan padanya dari lubuk hati yang paling dalam, dan menunjukkan bahwa melalui spanduk setiap agama akan ditulis, walaupun sedikit ditentang, “Saling menolong dan tidak bermusuhan, berbaur tidak akan menghancurkan, harmonis dan damai serta tidak saling berselisih” (Mumukshananda, 1992:24).
     Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pernyataan Mahatma Gandhi pada bagian awal dari tulisan ini kiranya dapat diterima dan bila terjadi distorsi, bahkan pembantaian serta terorisme, bukanlah kesalahan ajaran agama itu melainkan adalah pemahaman yang keliru terhadap agama yang dianutnya. Lebih jauh tentang pengembangan agama (misionaris) (Radhakrishnan, 2002:36) menyatakan bahwa Hinduisme dapat disebut sebagai contoh pertama di dunia dari agama misionaris. Hanya saja sifat misionaris-nya berbeda dengan yang diasosiasikan dengan kepercayaan-kepercayaan yang menarik orang-orang untuk masuk dan menjadi pemeluk. Hinduisme tidak menganggap sebagai panggilan untuk membawa manusia kepada suatu kepercayaan. Sebab yang diperhitungkan adalah perbuatan dan bukan kepercayaan.
     Tentang misionaris yang mengarahkan seseorang untuk konversi agama, Mahatma Gandhi seperti dinyatakan oleh  Robert Ellsberg (2004:168) berikut. Pandangan   Gandhi terhadap konversi dan perubahan agama harus dipahami dalam konteks politisasi yang berkaitan dengan perubahan-perubahan agama di India “Tidak mungkin bagiku untuk berdamai dengan diriku sendiri terhadap gagasan perubahan keyakinan apa pun bentuknya yang terjadi di India dan di mana pun saat ini,” tulisnya. Misi-misi Kristen di India datang bersamaan dengan kekuasaan  eksploitatif dari kerajaan. Sebelum orang-orang Inggris, serangkaian kerajaan Muslim India membawa misi-misi Islamnya. Di tahun 1920-an ada usaha-usaha Hindu, dipelopori oleh Pendeta Arya Samaj untuk mengubah kembali agama, atau dengan kata lain memurnikan (suddhi) yang sebelumnya telah berubah agamanya menjadi Islam, bahkan pada beberapa abad sebelumnya. Maka diskusi-diskusi Gandhi tentang konversi ditujukan untuk menentang semua bentuk perubahanan agama.  “Aku menentang pengubahan agama, sekali pun dikenal sebagai suddhi oleh umat Hindu, Tabligh oleh umat Islam atau Konversi oleh umat Kristen. Perubahan keyakinan adalah proses hati yang hanya diketahui oleh Tuhan”.  Bagi Gandhi, perubahan agama juga dilandasi pada apa yang disebutnya sebagai pandangan yang rapuh tentang superioritas satu agama terhadap agama lain. “Tidaklah masuk di akal, bahwa seseorang akan menjadi baik atau memperoleh keselamatan cukup hanya dengan memeluk suatu agama  Hindu, Kristen, atau Islam. Kemurnian karakter dan keselamatan tergantung pada kemurnian hati”. Dan katanya lagi, “Akan menjadi puncak intoleransi, dan intoleransi adalah sejenis kekerasan, jika Anda percaya bahwa agama Anda superior terhadap agama lain dan bahwa Anda akan dibenarkan ketika Anda menginginkan orang lain berpindah mengikuti keyakinan Anda”.
     Berdasarkan uraian tersebut di atas, agama Hindu sangat menekankan kemurnian atau kesucian hati sebagai wujud transformasi diri, karena sesungguhnya akhir dari pendidikan agama adalah perubahan karakter, dari karakter manusia biasa menuju karakter manusia devata, yakni manusia berkeperibadian mulia (dari manava menuju madhava). Usaha untuk menyucikan diri merupakan langkah menuju kesatuan dengan-Nya, yang berarti juga menumbuhkan kesadaran persaudaraan sejati terhadap semua makhluk ciptaan-Nya, karena dalam pandangan kesatuan ini (advaita) semua makhluk adalah bersaudara (vasudhaivakutumbhakam).

D.    Tujuan Penelitian

     Dalam suatu penelitian ilmiah tentunya memiliki tujuan  yang nantinya dengan tujuan tersebut  dapat memberi arah dan sasaran yang jelas terhadap langkah-langkah yang perlu digunakan dalam penelitian, sehubungan dengan hal tersebut ada dua tujuan yaitu :

a. Tujuan  umum :

1. Penelitian ini bertujuan untuk  memberikan informasi dan pemahaman bahkan menjadi acuan  terhadap Umat, tentang perbedaan jalan menuju Tuhan  tidaklah menjadi suatu pertentangan.   
2. Penelitian ini bertujuan untuk  Umat, dalam rangka mengelememinasi segala permasalahan mengenai perbedaan yang timbul dalam kehidupan sehari-hari, agar segala yang mengarah kepada disharmonisasi dan disintegrasi, dapat diselesaikan tanpa merugikan orang lain.
3. Untuk pengembangan revitalisasi terhadap tafsir ajaran Agama agar tetap eksis dan bermakna di tengah - tengah kehidupan global dewasa ini, selanjutnya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan nyata sehari - hari secara proporsional, paling tidak menyangkut  hal sebagai berikut :
a. Keimanan kepada yang Absolut dengan segala sifat keabsolutan-Nya ( terkait  dengan nilai - nilai spiritual yang harus dan wajib diamalkan ).
b. Pengamalan nilai - nilai yang bersifat " munden ", keduniawian untuk mengatur kehidupan bersama, menyangkut masalah moral dan etik
 4. Sebagai Investasi perpustakaan Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta dan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian-penelitian selanjutnya.
 b. Tujuan  khusus
1. Tujuan ini dimaksudkan untuk memberikan suatu gambaran bagi masyarakat khususnya umat Hindu tentang adanya bentuk-bentuk perbedaan jalan menuju Tuhan, yang ditinjau dari Susastra Hindu.
2.  Dapat digunakan sebagai acuan perubahan sikap dan prilaku kearah yang positif dalam  sehari-hari untuk umat hindu dimanapun berada.
3.  Sebagai sumbangan pemikiran bagi lembaga pendidikan dalam meningkatkan hasil belajar siswanya.
E. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian yang dilaksanakan diharapkan dapat memiliki manfaat bagi mereka yang memerlukannya, manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat secara teoritis maupun secara praktis.
a.                               Manfaat Teoritis
Melalui hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menambah teori-teori yang sudah ada dan juga dapat menambah khasanah perpustakaan Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta.
b.      Manfaat praktis
Melalui hasil penelitian yang diperoleh nantinya diharapkan dapat menjadikan  pedoman dan motivasi dalam sikap prilaku dan mental sehari-hari didalam individu, keluarga dan masyarakat.
E.     Hipothesis dan Anggapan Dasar

         Hipothesis berasal dari bahasa Yunai, yaitu dari kata “hypo” ( dibawah) dan “Thihenai” (meletakkan). Jadi perkataan hypothesis artinya suatu dugaan untuk memberikan keterangan ilmiah terhadap suatu gejala. Sedangkan  menurut kata hypothesis adalah pendapat atau kesimpulan sementara yang kita gunakan untuk menangkap kenyataan kebenaran yang belum terbukti, baru merupakan penjelasan percobaan  tetapi ada alasannya sehingga merupakan kesimpulan yang agak pasti.
     
       Berpedoman dari tinjauan pustaka, kerangka berfikir dan tujuan penelitian diatas maka dapat merumuskan  hypothesis sebagai berikut :

  1. Adanya berbagai keyakinan pada setiap manusia akan mempengaruhi sikap dan prilaku manusia itu sendiri akan tetapi sering pula menyerah terhadap ketidak berdayaan untuk meraih keinginanya itu. Semakin besar keyakinan dan keingin tahuan tentang Tuhan maka semakin besar pula rasa senang mencari jalan untuk dapat berjumpa dengan Tuhan sesuai besar keinginan dan pemahamannya tentang jalan untuk mencapai Tuhan.
  2. Dengan kondisi perekonomian seseorang merasa dapat untuk menempuh atau menemui Tuhan, sehingga faktor inipun menjadi sangat penting akan tetapi kenyataannya  tidak satupun yang menemui  pencapaian jalan berjumpa dengan Tuhan sehingga yang didapat selalu dikaitkan dengan pemberian Tuhan.
  3. Dalam social masyarakat semakin tinggi status social seseorang didalam masyarakat ini pula yang menjadi kejaran manusia untuk hanya mendapatkan predikat agar diakui oleh yanglain bahwa ia telah menemui jalan Tuhan, maka semakin gengsi bahwa dia adalah yang paling benar dan dapat selalu mengatas namakan jalan Tuhan.
  4. Bidang penguasaan sesuatu kondisi atau lingkungan untuk kepentingan dan untuk menjaga kenyamanan sebuah kedudukan seperti inipun dengan argumentasinya adalah merupakan dari anugrah Tuhan walaupun dengan cara yang tidak terpuji untuk mendapatkannya maka manusia memjadikan seolah-olah pemberian Tuhan.

F.     Metode Penelitian

     Dalam rangka penulisan proposal ini penulis menggunakan metode kwalitatif. Metode kwalitatif adalah suatu metode yang digunakan dalam mengolah data dengan jalan menulis dan menggunakan data-data yang berbobot dan masuk akal, sehingga dalam penyimpulannya tidak kabur (Koentjaraningrat,1977:310)
     Penulis secara langsung/menganalisa dalam perbedaan jalan menuju Tuhan dengan :
  1. Metode Pengumpulan Data
  1. Observasi
Obsevasi adalah tehnik yang digunakan dengan cara melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistimatis terdapat gejala atau fenomena yang diselidiki tanpa mengajukan pertanyaan meskipun obyeknya adalah orang (Marzuki, 2001:58)
  1. Kepustakaan
Kepustakaan digunakan untuk melengkapi penulisan penulis studi kepustakaan memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai konsep-konsep ajaran agama (Sayuti Ali, 2002:64)

  1. Wawancara
Wawancara merupakan metode pengalian data yang paling banyak dilakukan baik untuk tujuan praktis maupun ilmiah dengan cara melakukan percakapan langsung dan tatap muka dengan orang yang dijadikan informan (Imam Suprayogo:Tobroni,2001:72)


  1. Metode Pengumpulan Data
Setelah kegiatan mencari data dan mengumpulkan data sesuai, maka dilanjutkan dengan pengolahan data. Data sebagai bahan mentah diolah sesuai tujuan penelitian yang dirumuskan. Adapun metode pengolahan data terdiri dari :
    1. Deskriptif
Metode deskriptif adalah suatu cara pengolahan data yang dilakukan dengan jalan menyusun secara sistimatis sehingga diperoleh suatu kesimpulan (Netra,1976:75)
    1. Metode Komparatif
Metode Komparatif adalah suatu cara pengolahan data yang dilakukan dengan jalan mengadakan perbandingan secara sistimatis serta terus menerus sehingga diperoleh suatu kesimpulan umum (netra,1976:76)

H. Sistimatika Penulisan
     Untuk memudahkan penulis, maka sistimatika yang penulis gunakan sebagai berikut :
Bab I  Pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,anggapan dasar/hypothesis, metode penelitian, sistimatika penulisan.
Bab II   Landasan Teori yang berisikan tentang Pengertian Filsafat, Agama dan Kitabnya, Arti Kebenaran, Nyata dan Maya.
Bab III  Konsep Ketuhanan, Perubahan Sosial, Dampak Perekonomian, Pengaruh Kultur, Modernisasi.
Bab IV Jenis Keyakinan, Berbagai Jalan yang Ditetapkan, Perbedaan-perbedaan Jalan, Sebab dan Akibat, Pembebasan Ikatan.
Bab V Kesimpulan dan Saran  
    






DAFTAR PUSTAKA


1.      Abu Ahnadi, Nur Uhbiyati, 1991, Ilmu Pendidikan, Jakarta,PT Melton Putra
2.      Agastia I.B.G, 2001, Eksistensi Sadhaka Dalam Agama Hindu, Denpasar, PT  Pustaka Manikgeni
3.      Astana, made dan Anomdiputro, 2003, Kautilya (canaka) Arthasastra, Surabaya, Paramita
4.      Abdul Malik Karim Amarulah, 1956, Lembaga Budi, Jakarta, Wijaya
5.      Agung Oka I Gusti, 1993, Slokantara,  Jakarta, Hanuman Sakti
6.      Bambang Q-Anees, Radea Juli A.Hambali, 2003, Filsafat Untuk Umum, Jakarta, Prenada Media
7.      E.Mulyasa, 2006, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung, PT Remaja Rosdakarya
8.      Kamala Subramaniam, 2004,Ramayana, Surabaya, Paramita
9.      Maswinara, I Wayan, 1999, Rg Veda Samhita, Surabaya, Paramita
10.  Maswinara, I Wayan, 1999, Sistem Filsafat Hindu, Surabaya, Paramita
11.  Nasution, 2006, Asas-Asas Kurikulum, Jakarta, PT Bumi Aksara
12.  Nala Ngurah, I Gusti, Kosmonologi Hindu, Surabaya, Paramita
13.  Ngurah, dkk I Gusti Made,1999, Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi, Surabaya,   Paramita  
14.  Om Visnupada A.C.Bhaktivedanta Swami Prabhupada,1986, Bagawad-Gita, (Pendiri-Acarya International Cociety for Krisna Consciouness), Jakarta, P.O. Box 2694.
15.  Pudja, Gede,1991, Weda Parikrama, Jakarta, Hanuman sakti
16. Pudja, Gede, Tjokorda Rai Sudharta, 1977, Weda Smerti  Compendium Hukum Hindu, Jakarta,   Dirjen Bimas Hidhu & Budha Departemen Agama RI
17. Pudja, Gede,1980, Sarasamuscaya, Jakarta, Hanuman Sakti
18. Pudja, Gede, 1984, Pengantar Agama Hindu II SRADDHA, Jakarta, Mayasari
19. Pudja, Gede, Sandhi, Keniten, Made, Ida Pedanda1983, Siwa Sasana, Jakarta,   Departemen Agama RI
20. Surayin Ida Ayu Putu, 1992, Melangkah Kearah Persiapan Upakara-Upacara Yadnya, Denpasar, PT Upada Sastra.
21. Suamba, Ida Bagus Putu dan Yuda Triguna, Ida Bagus Gde,2000, Kontribusi Hindu Terhadap Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, Jakarta, Widya Dharma
22. Titib, I Made, 1997, Pengantar Weda (Untuk Program D III), Jakarta, Hanuman Sakti
23. Titib, I Made, 1996, Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan, Surabaya, Paramita
24. Titib, I  Made, 2003, Purana Sumber Ajaran Hindu Komperhehensip, Jakarta, Pustaka Mitra Jaya
25. ……….….., 2005, Naskah Akademik Rencana Undang-Undang Tentang Pendidikan    Kewarganegaraan, Jakarta, DIRJEN Potensi Pertahanan
26. .……….…..., 2004, UUD 1945 dan Amandemen, Jakarta, Fokusmedia
27……………..., 1987, Kakawin Ramayana I, Denpasa, Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I Bali
28…………….., 2003, Intisari Ajaran Hindu, Surabaya, Paramita
29…….……….., 2004, SIWATATTWA,  Pemerintah Provinsi Bali
30………..,…… 1998,Tuntunan Pelaksanaan Upacara Sudhi Widani, Departemen Agama RI Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha, Jakarta.
31…………….., 2004, Upacara Mewinten,  Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.
32…………….., 1996, Niti Sastra, Jakarta, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha
33......................,  http://pitoyoadhi.wordpress.co/2007/01/02/sekularisasi-dan-gereja-katoliki/, 29/04/2008 
34......................,  http://islamlib.com/id/idex.php?page=article&id=1233, 23/04/2008
35......................, http://id.wikipedia.org/wiki/Sekularisme, 23/04/2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar