Senin, 30 Mei 2011

KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DAN KORUPSI DI INDONESIA


KETERBUKAAN INFORMASI DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
(Studi Kasus Partai Politik di Indonesia)

Bab I
Pendahuluan

Informasi sangat diperlukan di eraglobalisasi seperti sekarang ini dimana dengan kebebasan memperoleh informasi, berarti akan memberi ruang yang cukup bagi public, untuk dapat mengakses berbagai jenis informasi terutama terkait dalam program percepatan pemberantasan korupsi. Seperti di berbagai kesempatan pemerintah selalu berkoar-koar tentang kemajuan pemberantasan korupsi yang telah dicapai. Namun kenyataannya, hal itu seperti jauh panggang dari api. Korupsi tetap menjadi budaya, dan bahkan semakin menggurita, upaya dengan pembuatan undang-undang pun telah dilakukan, yang memberi implikasi bagi para penyelenggra negara untuk bertindak transparan dan memiliki sistem akuntabilitas yang kuat, partisipatif bagi masyarakat dalam mengawal korupsi ini.
Adanya pendidikan sangat memungkinkan terjadinya penyebarluasan teknologi informasi dan transformasi ilmu pengetahuan di sektor-sektor pendidikan yang akan member dampak positif terhadap perkembangan masyarakat di Indonesia. Sementara itu perekonomian yang dapat mendorong usaha kecil dan menengah baik di perkotaan maupun di perdesaan yang dapat mendapatkan nilai lebih dalam masyarakat, karena mampu menggerakan roda perekonomiannya, ini semuanya akan memungkinkan meninbulkan korupsi model baru, jika tidak diiringi dengan perangkat hukum dan sumber daya manusia yang memadai.
Dengan adanya UU Keterbukaan Informasi Public paling tidak konstruksi hukum yang dapat dicermati dalam UU Korupsi mengklasifikasikan sistem pembuktian menjadi tiga hal yaitu pertama, pembalikan beban pembuktian dibebankan kepada terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Kedua, pembalikan beban pembuktian yang bersifat semi terbalik dimana beban pembuktian diletakkan baik terhadap terdakwa maupun jaksa penuntut umum secara berimbang, dan ketiga, sistem pembuktian konvensional layaknya mengacu pada ketentuan KUHAP bahwa jaksa penuntut umum secara mandiri dibebankan membuktikan kesalahan terdakwa.
Namun, Undang-Undang No. 14 tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik adalah salah satu produk hukum Indonesia yang dikeluarkan dalam tahun 2008 dan diundangkan pada tanggal 30 April 2008 dan mulai berlaku dua tahun setelah diundangkan. Undang-undang yang terdiri dari 64 pasal ini pada intinya memberikan kewajiban kepada setiap Badan Publik untuk membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik untuk mendapatkan informasi publik, kecuali beberapa informasi tertentu.yangmemiliki tujuan :
  1. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;
  2. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;
  3. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik;
  4. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;
  5. mengetahui alasan kebijakan publik yang memengaruhi hajat hidup orang banyak;
  6. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau
  7. meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.
            Adapun pengecualiannya dalam seperti yang dinyatakan, Informasi yang dikecualikan dalam Undang-undang ini antara lain adalah
  • Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat menghambat proses penegakan hukum;
  • Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat;
  • Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara;
  • Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia;
  • Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik, dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional;
  • Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik, dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri;
  • Informasi Publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang;
  • Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkap rahasia pribadi;
  • memorandum atau surat-surat antar Badan Publik atau intra Badan Publik, yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan;
  • informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang.
Dalam sejarah undang-undang ini yang sesungguhnya merupakan sebagai proses advokasi, dimana UU ini melalui perjalanan panjang yang cukup melelahkan. Setelah hampir 8 tahun sejak awal 2000, 42 koalisi LSM mendorong UU ini. Adalah Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), sebuah LSM yang bergerak di bidang kebijakan lingkungan, yang mengawali gagasan perlunya mendorong sebuah undang-undang yang mengadopsi prinsip-prinsip freedom of information, seperti diketahui Indonesia menjalankan pemerintahan republik presidensial multipartai yang demokratis. Seperti juga di negara-negara demokrasi lainnya, sistem politik di Indonesia didasarkan pada Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.

1.1  Latar Belakang
Dengan demikian maka mulai 1 Mei 2010, UU Nomor 14 Tahun 2008 mengenai Keterbukaan Informasi Publik akan efektif diberlakukan. UU ini berlaku setelah pemerintah diberikan kesempatan untuk mempersiapkan segala piranti pelaksanaan selama dua tahun ini. sehingga berdampak dari Pemberlakuan UU ini membuat badan-badan publik dan institusi pemerintahan harus terbuka memberikan segala informasi yang dibutuhkan masyarakat. Namun, keterbukaan informasi bukan tanpa ancaman, dimana badan publik yang tak membuka akses informasi terhadap masyarakat, bisa dikenai sanksi pidana maupun denda. Sebaliknya, masyarakat yang menyalahgunakan informasi juga ada sanksinya.
Di luar itu, Anggota Fraksi PKS, Gamari Sutrisno mengatakan, berlakunya UU KIP masih dibayang-bayangi RUU Rahasia Negara, yang mengatur sebaliknya. "UU KIP ini dibayang-bayangi UU Rahasia Negara yang saat ini masih dibahas. Walau terbuka, ancaman terhadap keterbukaan itu masih ada," kata Gamari, pada diskusi "Menakar Kesiapan Badan Publik dalam Keterbukaan Informasi", di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (30/4/2010).
UU KIP dibahas sejak tahun 1999 dan baru dilanjutkan kembali pada tahun 2005. Setelah tiga tahun dibahas, akhirnya ditandatangani Presiden SBY pada April 2008. Dua tahun diberikan waktu persiapan, pemerintah mau tak mau, siap tidak siap, harus melaksanakan ketentuan UU ini. Anggota Komisi I DPR, Tantowi Yahya meyakini, keterbukaan informasi yang dijamin UU ini akan turut berkontribusi pada pemberantasan korupsi. "Korupsi itu kan bermula dari ketidakjelasan informasi. Kalau informasi terang benderang, maka akan mempersempit ruang gerak pelaku korupsi," 
Ketentuan UU KIP juga mengatur pembentukan Komisi Informasi di 33 provinsi di Tanah Air, yang akan membantu untuk pengembangan dan kemajuan daerah. Sebab, informasi di level daerah, walaupun masih sangat terbatas untuk diakses. Tapi yang harus diingat, sosialisasi harus sampai ke seluruh daerah agar masyarakat tahu bahwa mereka dijamin UU untuk mendapatkan informasi.
Mengingat kompleksitas permasalahan Informasi seperti bidang Rehabilitasi Sosial saat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat, baik mengenai permasalahan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH), Orang Dengan Kecacatan, Lanjut Usia, Permasalahan Narkoba maupun Tuna Sosial. Informasi yang akurat merupakan salah satu pendukung yang  menunjang keterbukaan informasi publik berdasarkan Undang – Undang ,Namun masih harus diakui bahwa informasi yang ada belum sepenuhnya dapat diakses mengingat sumber pendukung dari Unit Pelayanan Teknis (UPT) belum semuanya memiliki jaringan internet, semua ini merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara Negara.
Untuk itu penerapan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dinilai tidak akan mengancam otoritas yang dimiliki oleh pejabat publik. Justru UU KIP dapat menjadi katalisator dalam pemisahan antara informasi yang berhak didapatkan oleh masyarakat dengan informasi yang bersifat rahasia. Dengan Pemberlakuan UU ini membuat badan-badan publik dan institusi pemerintahan harus terbuka memberikan segala informasi yang dibutuhkan masyarakat. Namun, keterbukaan informasi bukan tanpa ancaman. Badan publik yang tak membuka akses informasi terhadap masyarakat, bisa dikenai sanksi pidana maupun denda. Sebaliknya, masyarakat yang menyalahgunakan informasi juga ada sanksinya.
Indonesia sendiri patut berbangga. Di antara negara-negara di Asia, baru Indonesia yang menerapkan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik. UU yang penyusunannya memakan waktu hingga tujuh tahun sampai akhirnya disahkan pada April 2008 silam, berisikan tentang ketentuan yang mengatur informasi yang menjadi hak warga negara dan terbukanya akses bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi dari pemerintah.


1.2 Rumusan masalah
Dalam hal keterbukaan informasi dan pemberantasan korupsi yang akan diberlakukan ini seharusnya memberikan dampak pula terhadap keberadaan parpol yang tumbuh di negeri ini, maka menjadi menarik jika kasus parpol di Indonesia yang menggunakan uang Negara sampai saat ini sangat sulit untuk melakukan transparansi, akuntabilitas dan partisipatif pengawasan keuangannya.
Pemberitaan pada salah satu media cetak kompas memuat, Parpol tak mandiri, sedot uang Negara. Kasus actual : Pangkas biaya politik Kompas 18 mei 2011. Jakarta, kompas banyaknya partai politik yang tersandera kasus korupsi dianggap sebagai imbas dari praktik politik transaksional selama 13 tahun pascareformasi. Parpol tidak memiliki kemampuan menghidupi diri sendiri sehingga mengejar kekuasaan agar bisa menyedot uang Negara. Ini (korupsi oleh partai politik) imbas dari pola relasi transaksional yang sudah menjadi karakter politik selama 13 tahun terakhir kata pengajar Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa(17/05).
Menjadi kajian menarik dengan mengangkat rumusan masalahnya berkaitan dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Bagaimana keterbukaan informasi dan pemberantasan korupsi pada partai politik di Indonesia ?
Bab II
Kerangka Teori
2.1 Teori-teori
Menurut aliran filsafat Edmund Husserl (dalam K.Bertens, 1990:100), fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon).dengan demikian, budaya perusahaan adalah aturan main yang ada dalam perusahaan yang akan menjadi pegangan dari Sumber Daya Manusianya dalam menjalankan kewajibannya dan nilai-nilai untuk berprilaku di dalam organisasi tersebut, yang mana perilakunya tampak dengan jelas. Budaya organisasi juga mencakup seluruh simbol yang ada (tindakan, rutinitas, percakapan, dan seterusnya) serta makna yang diberikan anggota organisasi kepada berbagai simbol tersebut Dengan demikian secara teori manfaatnya adalah untuk pengembangannya.
Aliran Empirisme, aliran yang mengartikan dan mendefinisikan objek kajian sosial yang disebut “Realitas Sosial” sebagai realitas-realitas objektif di dalam indrawai. Realitas sosial itu bukanlah kesadaran atau pengetahuan warga masyarakat itu sendiri., melainkan manifestasi-manidestasi yang kasat mata dan dapat diamati dalam duniawai yang objektif. Manifestasi itu tampak dalam wujud perilaku sosial warga dalam masyarakat, berikut pola-polanya yang apabila telah terstruktur akan tampak dalam wujudnya sebagai pranata atau institusi social
Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction  of reality)  menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann melalui bukunya yang berjudul ‘The Sosial construction of Reality. A. Treatise in the Sociological of Knowledge’ (1966). Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif.
Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelasi kesadaran (Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif, Yogyakarta: Jalasutra, 2005, hlm. 151).
Teori Simulations, Jean Baudrillard, dalam buku Hipersemiotika, Yasraf Amir Pliang, (2010 :46), ia menjelaskan kompleksitas relasi antara tanda, citra, dan realitas. Pertama, sebuah citra dikatakan merupakan refleksi dari realitas, yang di dalamnya sebuah tanda yang merepresentasikan realitas (representation). Kedua, citra menopengi dan memutar balik realitas, seperti yang terdapat pada kejahatan (malefice). Ketiga, citra menopengi ketiadaan realitas, seperti terdapat pada ilmu sihir (sorcery). Keempat, citra tidak berkaitan dengan realitas apa pun, disebabkan citra merupakan simulakrum dirinya sendiri (pure simulacrum), yang prosesnya disebut simulasi (simulation).
Durkhiem, dalam buku, Memahami Penelitian Kualitatif, Dr. Basrowi, M.Pd. & Dr. Swandi, M.Si (2008 : 44-45) mengatakan, fakta sosial terdiri dari dua macam, yaitu fakta sosial yang berbentuk material : yaitu hal-hal atau benda yang dapat ditangkap secara indrawi; berupa benda di dalam dunia nyata. Kemudian, fakta sosial yang non-material: yaitu fakta yang tidak tampak namun nyata ada di dunia intersubjektif masyarakat, seperti opini, egoisme, dan alturisme.
Sedangkan Nguyen dan Leblanc mengungkapkan bahwa citra perusahaan sebagai: “Corporate image is described as overall impression made on the minds of the public about organization. It is related to business name, architecture, variety of product/services, tradition, ideology, an to the impression of quality commuicated by each employee interacting with the organization’s clients“ Artiya citra perusahaan merupakan keseluruhan kesan yang terbentuk dibenak masyarakat tentang perusahaan. Dimana citra tersebut berhubungan dengan nama bisnis, arsitektur, variasi dari produk, tradisi, ideologi dan kesan pada kualitas komunikasi yang dilakukan oleh setiap karyawan yang berinteraksi dengan klien organisasi.
Tradisi Fenomenologis, Carl Rogers,  Teori Komunikasi, Stephen W. Littlejohn-Karen A. Foss (2009 : 309). Fenomenologis sebagai sebuah tradisi yang berfokus pada internal dan pengalaman sadar seseorang. Pendekatan Rogers pada hubungan dimulai dengan gagasan tentang bidang fenomenal. Katanya, semua pengalaman Anda sebagai seseorang mendasari bidang fenomenal Anda, yaitu semua yang Anda tahu dan Anda rasakan.
Ini merupakan keseluruhan pengalaman Anda. Walaupun tidak ada orang yang dapat benar-benar mengetahui pengalaman Anda sebaik Anda sendiri, kita dapat dan benar-benar menyimpulkan pengalaman orang lain berdasarkan pada apa yang mereka katakan dan lakukan. Sebenarnya gagasan Anda tentang bagaimana orang lain merasa menjadi bagian dari bidang fenomenal Anda yang membawa Anda pada Empati. Dengan demikian pada keneradaam Parpol di Indonesia yang menggunakan kesempatan baik saat pemilu maupun saat pilkada dan kegiatannya yang menggunakan uang Negara seharusnya dapat sesara akuntabilitas, transparasi dan partisipatif masyarakat guna menghindari korupsi.

2.2 Kasus Aktual
Dengan pemberitaan pada salah satu media cetak kompas memuat, Parpol tak mandiri, sedot uang Negara. Kasus actual : Pangkas biaya politik Kompas 18 mei 2011. Jakarta, kompas banyaknya partai politik yang tersandera kasus korupsi dianggap sebagai imbas dari praktik politik transaksional selama 13 tahun pascareformasi. Parpol tidak memiliki kemampuan menghidupi diri sendiri sehingga mengejar kekuasaan agar bisa menyedot uang Negara. Ini (korupsi oleh partai politik) imbas dari pola relasi transaksional yang sudah menjadi karakter politik selama 13 tahun terakhir kata pengajar Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa(17/05).
Di sisi lain, kehidupan sehari-hari merupakan suatu dunia yang berasal dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan individu, dan dipelihara sebagai ’yang nyata’ oleh pikiran dan tindakan itu. Dasar-dasar pengetahuan tersebut diperoleh melalui objektivasi dari proses-proses (dan makna-makna) subjektif yang membentuk dunia akal-sehat intersubjektif (Berger dan Luckmann, 1990: 29)
Agar mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang makna yang berada dibalik obyek yang diteliti, Denzin dan Lincoln (1994) menyatakan bahwa penelitian kualitatif harus dilaksanakan pada kondisi alami. Guba dan Lincoln (1985) menyebut pendekatan penelitian yang demikian sebagai pendekatan naturalistik. Makna-makna itu kita bagi bersama yang lain, definisi kita mengenai dunia sosial dan persepsi kita mengenai, dan respon kita terhadap, realitas muncul dalam proses interaksi.
Dengan adanya korupsi yang dilakukan oleh politikus, terutama mereka yang duduk di DPR, jamak terjadi mengingat mereka dituntut agar mampu membiayai parpol yang telah menjadikan keberadaan mereka meraih jabatan wakil rakyat.












Bab III
3.1 Analisis Kasus
Studi fenomenologi dalam pelaksanaannya memiliki beberapa  tantangan yang harus dihadapi peneliti. Creswell (1998: 55) menjelaskan tantangan tersebut yaitu: The researcher requires a solid grounding in the philosophical precepts of phenomenology. The participants in the study need to be carefully chosen to be individuals who have experienced the phenomenon. Bracketing personal experiences by the researcher may be difficult. The researcher needs to decide how and in what way his or her personal experiences will introduced into the study.
Sebagai landasan penelitian yang secara konseptual seperti teori tindakan oleh Max Weber mengatakan: tidak semua tindakan disebut tindakan social. Suatu tindakan hanya dapat disebut tindakan social apabila tindakan tersebut dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain. Jadi tindakan social merupakan perilaku manusia yang mempunyai makna subjektif bagi pelakunya.(Engkus Kurwarno, Metodelogi Penelitian Komunikasi, Fenomenologi, Konsepsi Pedoman dan Contoh Penelitian, Bandung: Widya Padjadjaran, 2009, hlm. 109).
Alred Schutz dalam bukunya yang berjudul The Phenomenology of The Social World yang diterjemahkan dari buku aslinya Der Sinnhafte Aufbau der sozialen Welt: Schutz become intereste quite early in the work of the greatest of German sociologist, Max Weber, especially in the latter’s attempt to establish a consistent methodological foundation for the social sciences.
Menurut: Alred Schutz manusia yang berperilaku tersebut sebagai “aktor” Ketika seseorang melihat atau apa yang dikatakan atau diperbuat aktor, dia akan memahami (understand) makna dari tindakan tersebut. Disimpulkan tindakan social adalah tindakan yang berorientasi pada perilaku orang atau orang lain pada masa lalu, sekarang dan akan datang. Dalam konteks fenomenologis, calo yang melakukan tindakan social (nyalo) bersama actor lainnya sehingga memiliki kesamaan dan kebersamaan dalam ikatan makna intersubjektif.
Schutz mengawali pemikirannya dengan mengatakan bahwa objek penelitian ilmu sosial pada dasarnya berhubungan degan interpretasi terhadap realitas. Jadi, sebagai peneliti ilmu sosial, kita pun harus membuat interpretasi terhadap realitas yang diamati. Orang-orang saling terikat satu sama lain ketika membuat interpretasi ini. Tugas peneliti sosial-lah untuk menjelaskan secara ilmiah proses ini. kontruksi realitas secara social dari Peter Berger dan Tomas Luckman. Pada kasus parpol tak mandiri yang sedot uang Negara dimana untuk memangkas biaya politik yang berkedok seolah-olah untuk kepentingan rakyat, ini adalah menjadi tidaklah semuanya benar.

3.2 Kritik atas Analisis Kasus
Untuk mengungkap keberadaan parpol di Indonesia, yang mayoritas tidak memiliki keuangan yang transparansi, akuntabilitas dan partisipasipatif, maka atas kasus yang berkaitan dengan UU KIP untuk pemberantasan korupsi sangat sulit akan dilakukan, namun keberadaan UU ini, akan efektif apabila perbaikan-perbaikan disegala bidang dan keseriusan untuk melaksanakannya serta kerjasama antara seluruh lapisan masyarakat, mungkin juga akan menjdi perbaikan dalam pemberantasan korupsi yang terjadi.
George Herbert Mead memiliki pemikiran yang mempunyai sumbangan besar terhadap ilmu social dalam perspektif teori yang dikenal dengan interaksionisme simbolik, yang menyatakan bahwa komunikasi manusia berlangsung melalui pertukaran symbol serta pemaknaan symbol – symbol tersebut. Mead menempatkan arti penting komunikasi dalam konsep tentang perilaku manusia, serta mengembangkan konsep interaksi simbolik bertolak pada pemikiran Simmel yang melihat persoalan pokok sosiologi adalah masalah sosial.
Interaksi Simbolik dari Gorge Heber Mead dan Herbert Blumer, Dalam perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead (1863–1931), Charles Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Sosiolog interaksionisme simbolik kontemporer lainnya adalah Herbert Blumer (1962) dan Erving Goffman (1959).
Dramaturgi dari Erving Goffman, Manajemen Komunikasi dari Michlael Kaye. Michael Kaye dengan ungkapan “What we must realize is that the heart of communication is not in the surface but in the meanings or interpretations that we ascribe to the message” (Kaye, 1994:8). Dari sini dapat dijelaskan bahwa sebuah arti dalam bentuk permukaan sebuah pesan tidak akan berarti tanpa disertai dengan adanya penyampaian makna yang sebenarnya ada pada pesan tersebut. Dalam interaksi antar individu terjadi berbagai pertukaran makna, yang sebelumnya telah disepakati bersama.
Perbuatan sengaja tidak menyediakan informasi yang wajib diumumkan secara berkala, setiap saat, dan serta merta yang terbukti dapat mengakibatkan kerugian kepada orang lain, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun kurungan dan atau denda maksimal 5 juta (Pasal 52). Sedangkan, yang termasuk informasi publik bersifat tertutup yaitu informasi yang berkaitan dengan rahasian negara (pasal 6 ayat 3 huruf a), rahasia pribadi (pasal 6 ayat 3 huruf b), dan rahasia bisnis (pasal 6 ayat 3 huruf c).
Parpol di Indonesia terlihat pada saat kampanye pemilu ataupun kampaye politiknya selalu mengatas namakan rakyat, akn tetapi setelah terpilih ataupun menjadi pemenang sering kali kepentingan rakyat dilupakan. Karena rakyatpun mengerti hal seperti ini, dengan pengalaman yang sudah sering dilakukan, sehingga money politik belum tentu memenangkan pemilu ataupun pilkada yang berlangsung.

3.3 Kesimpulan
Keterbukaan informasi adalah salah satu perangkat bagi masyarakat untuk mengontrol setiap langkah dan kebijakan yang diambil oleh pejabat, yang berpengaruh pada kehidupan mereka. Di sinilah titik temu antara keterbukaan informasi dengan demokratisasi. Dimana jaminan kebebasan publik dalam mengakses informasi dengan sendirinya akan mencegah penyelewengan yang terjadi di pemerintahan, seperti kasus-kasus KKN. yang akhirnya, pemberantasan korupsi mustahil dilakukan tanpa terlebih dahulu menegakkan prinsip-prinsip transparansi penyelenggaraan pemerintahan dan hak publik atas informasi yang sedang di berlangsung, dengan memperhatikan akuntabilitas pelaksana dan partisipatif dari masyarakat.
Parpol di Indonesia sampai saat ini belum dapat dikatakan transparansi, akutabilitas dan partisipatif karena akses dari informasi yang ada belumlah mencerminkan hal-hal yang terdapat pada UU KIP No 14 Tahun 2008. Dimana penggunaan uang Negara seharusnya dapat di akses, namun yang sedang berlangsung seperti parpol yang ada saat ini terutama laporan keuangannya belumlah seperti yang tercermin dalam UU tersebut. Sehingga pemberantasan korupsi dalam parpol jika tidak dilakukan pembenahan berkelanjutan sangat sulit untuk diwujudkan.
Dengan demikian UU KIP No 14 Tahun 2008, haruslah bisa sebagai langkah-langkah nyata untuk mewujudkan penyelenggaraan Negara yang bersih dari korupsi sesuai dengan harapan dari tujuan dibuatnya UU tersebut. Maka control sangat diperlukan, sehingga menjadi kenyataan tidak hanya sebagai retorika, namun dalam kasus parpol seperti saat ini sangat sulit dilakukan hal ini.

Referensi dan Daftar pustaka
Agus Salim, 2005, Teori & Paradigma, Penelitian Sosial,  Tiara Wacana,  Yogyakarta
Afdal Makkuraga, RUU KIP Versus RUU Rahasia Negara: Kebebasan Informasi dalam Perspektif Politik Komunikasi, artikel tidak diterbitkan.
Agus Sudibyo, Kebebasan Semu di Jagat Media, khususnya Bab 5, RUU Rahasia Negara Sebagai Ancaman Terhadap kebebasan Informasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2009.
Ben W Heineman dan Fritz Heimann,  The Long War Against Corruption, Foreign Affair, Juni 2006, vol.85, issue 3.
Rob Jenkins, Democracy, Develompments, and India Struggle Against Corruption, jurnal Public Polycy Research, Volume 13, Issue 3, September 2006.
Ann Florini, Behind Closed Doors:Governmental Transparancy Gives Way to Secrecy, Harvard International Review, 2004.
Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Melawan Tirani Informasi, The Asia   Foundation dan USAID, 2003.
Burhan Bungin, 2009 Sosiologi Komunikasi Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat,  Kencana Prenada Goup, Jakarta.
Engkus Kurwarno, 2009 Metode Penelitian Fenomenologi Konsepsi pedoman dan Contoh Penelitiannya, Widya Padjadjaran, Bandung
Hafied Cangara, 2009 Pengantar Teori Komunikasi, -Ed,1-10, Rajawali Pers, Jakarta.
Kutha Ratna, Metodelogi penelitian Kajian Budaya dan Sosial Humaniora pada Umumnya, Pustaka pelajar, Yogyakarta
Little John, S.W. 1995. Theories of Human Communication (nine edition).  Wadsworth publishing Company, Belmont California
Manahan P. Tampubolon, 2008,  Perilaku Keorganisasian Perspektif Organisasi Bisnis, Ghalia Indonesia,Bogor.
McQuail, 1987, Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar,Erlangga, Jakarta
Mulyana, D dan Rahmat, J. 2000. Komunikasi Antar Budaya. PT. Remaja Rosdakarya.  Bandung
Miftah, Thoha. 2008. Perilaku Organisasi; konsep dasar dan aplikasinya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Rachat Kriyantono, 2009, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Kencana Prenada Goup, Jakarta.
Sasa Djuarsa S, 2003 Teori Komunikasi, Universitas Terbuka, Jakarta.
Scott M. Cutlip, Allen H.Center & Glen M.Bromm, 2009, Effective Public Relations, (edisi kesembilan), Kencana Prenada Goup, Jakarta.
Syaiful Rohim, 2009, Teori Komunikasi Perspektif, Ragam, & Aplikasi, Reneka Cipta, Jakarta
Werner J. Severin & James W. Tankard, 2001, Communication Theories: Origins, Methods, & Uses in the Mass Media, ed. 5th, penerj. Sugeng Hariyanto, Addison Wesley Longman Inc.
 Widjaya H.A.W, 2008, Komunikasi & Hubungan Masyarakat,   PT Bumi Angkasa, Jakarta.

Senin, 16 Mei 2011

Konflik Sosial dalam Beragama


KONFLIK SOSIAL DAlAM BERAGAMA
Oleh : IB Saduarsa

                                                                     PENDAHULUAN

A.    Latar belakang

     Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu demikian bunyi pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebabkan setiap warga Negara Indonesia dijamin keabsyahannya untuk memeluk agama yang dianut dan diyakini. Dalam kehidupan umat Hindu, kesadaran dari umatnya untuk meningkatkan cara-cara beragama dengan mendalami ajaran-ajaran agama melalui pendekatan rasional dan filosofis untuk menembus tabir dogmatisme.

           Agama Hindu mengajarkan bahwa semua yang ada ini berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, berada dalam Tuhan Yang Maha Esa dan kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dinyatakan dalam sastra-sastra agama Hindu, baik yang berbahasa Sansekerta, maupun yang berbahasa Jawa Kuna atau Bahasa Bali.

  Agama adalah : Satya, Rta, Diksa, Tapa, Brahma dan yajna (semoga semua ini) ia akan dapat memberikan tempat dan mengatur tempat hidup kita, dulu, sekarang dan yang akan datang di dunia ini. Veda adalah sumber dari segala dharma, kemudian barulah sruti, disamping sila acara dan atmanastuti, seharusnya semuanya ini merupakan sumber dari seseorang untuk dapat berpikir, berkata dan berbuat dalam hidup ini, yangmana akan mengakibatkan karma yang akan diterima nanti sekarang maupun yang akan datang tanpa dapat dihindari. Walaupun sesungguhnya orang-orang didunia ini sama menghendaki kebahagiaan yang tiada taranya, akan tetapi oleh sebab mereka hanya dapat melaksanakan dharma sesuai dengan kemampuannya, maka karmaphala yang diperoleh olehnya tidak bisa lain tentu sesuai dengan dharmanya.
     Jalan dharma, salah satunya adalah tidak melaksanakan kepada orang lain, segala perbuatan, perkataan dan pikiran yang tidak menyenangkan dirimu sendiri, yang menimbulkan kesusahan dan sakit hati; bagai membuat baju, tentu harus diukur ke badan sendiri, prilaku demikian itu dapat disebut dharma, penyimpangan dari itu janganlah dilakukan. Apabila ada orang bijaksana, jujur, selalu berkata-kata benar, mampu mengalahkan hawa nafsu, tulus ikhlas lahir bathin, serta setiap perbuatannya berlandaskan  dharma, itulah orang yang harus diikuti, jika mengikutnya disebut dharma prawrtti.
     Yang namanya dharma itu, pergi kemana-mana keseluruh yang ada, tidak ada yang mengakui, tidak ada juga yang diakuinya, sangat sukar untuk dapat mengetahui asalnya dharma itu. Adalah suatu keharusan, untuk mengerahkan segala daya upaya, untuk mencari makna yang dianggap sebagai dharma, setelah mendapatkannya, camkan baik-baik di hati, dan sebagaimana yang telah dikatakan sebelumnya, segala sesuatu yang tidak berkenan di hati, yang itu janganlah dilakukan kepada orang lain. Manusia yang tidak melaksanakan dharma, bagaikan padi yang hampa atau telur yang busuk, tampak ada namun tiada berguna, karena keangkuhan, dia merendahkan perbuatan dharma, serta tetap melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Dharma, percayalah, orang seperti itu dan juga yang mengikutinya, niscaya akan mendapatkan penderitaan.
     Apapun tantangannya, dharma patut dilakukan, karena dia adalah harta kekayaan yang tidak dapat dirampas, tak dapat dicuri, yang mengikuti sampai mati, bukankah harta kekayaan seperti itu, yang patut kita usahakan untuk memperolehnya ? Rejeki harta benda terkadang jauh, bahkan kehidupan diliput kemiskinan, namun jika tetap teguh dalam menjalankan dharma, orang dapat menganggap dirinya kaya, sebab perbuatan dharma itulah merupakan harta kekayaan yang harus terus diusahakan oleh orang yang memiliki sradha dan bhakti. Tak dapat dicuri, dirampas harta kekayaan berupa dharma itu, dan jika tekun melaksanakannya, tidak akan tidak memperoleh penghidupan, karena segala macam makanan, sayur-sayuran, air, dan segala kebutuhan lainnya, mendekat seakan-akan menawarkan dirinya. Harta kekayaan duniawi, tak layak dikejar mati-matian, itu akan membuang-buang waktu saja, namun yang patut diupayakan adalah, walau sibuk bahkan terengah-engah dalam melaksanakan dharma, usahakan sebagai sambilan mencari harta dalam kegiatan itu, laksana lembu yang menyandang bajak, mengelilingi sawah, disambilkannya juga mecabut rumput yang dekat padanya, maka ia senang. Ajaran dharma sangat mulia juga amat rahasia, tak beda seperti jejaknya ikan dalam air, pelaksanaannya menuntut ketenangan, kesabaran, keteguhan iman dan usaha terus menerus.
      Agama Hindu mengajarkan nilai - nilai kebenaran yang luhur itu dengan tujuan yang sama pula, walaupun cara pengamalan atau prakteknya berbeda - beda. Namun demikian ajaran yang bersifat absolut ( theologis ) yang berkaitan dengan keimanan ( Sraddha ) tak pernah ditinggalkan, sedangkan cara dalam pencarian Yang Absolut itu tidak selalu sama ( relatif ) bergantung dari bakat sifat kelahiran manusia itu sendiri. Oleh karena itu Agama Hindu mengajarkan empat jalan menuju Tuhan ( Brahman, Sanghyang Widhi Wasa ) yaitu :
1.      Bhakti Margha ialah jalan mencapai kebenaran sejati melalui penyerahan diri yang dilandasi cinta-kasih yang murni kepada Tuhan dan memancar kepada sesama ciptaan-Nya.
2.      Karma Margha ialah jalan mencapai kebenaran sejati melalui amal perbuatan tanpa pamrih dan segala akibat/hasilnya terserah kepada Sang Penakdir.
3.      Jnana Margha ialah jalan mencapai kebenaran sejati melalui olah - pikir atau jalan filsafat sampai terwujud suatu kesadaran bahwa Sang Pencipta itu absolut ( ens a se ), sedangkan eksistensi ciptaan-Nya bersifat maya, ilusi, relatif ( ens ab alio ). Namun demikian disadari bahwa inti kehidupan bukanlah relatif, melainkan absolute.
4.      Raja Yoga Margha ialah jalan mencapai kebenaran sejati melalui disiplin spiritual dengan cara bertapa dan selalu menghubungkan sang Diri dengan sang Pencipta, antara Atman ( Jiwa Sejati ) dengan BrahmanYang Esa.
     Keempat jalan tersebut barangkali secara implisit terdapat juga dalam Agama yang lain walaupun istilahnya berbeda. Dengan adanya empat jalan tersebut diharapkan agar keanekaragaman atau kebhinekaan tidak akan mengarah menjadi pertentangan atau konflik, namun dapat menumbuhkan simpati dan kerjasama dalam membangun kehidupan sosial yang harmonis, rukun dan damai ( Jagadhita ), sedangkan secara individual dapat membebaskan jiwanya dari belenggu duniawi yang bersifat maya serta mencapai kebahagiaan sejati ( Moksa ).
B.     Perumusan Masalah

     Berdasarkan latar belakang tersebut diatas dapat dirumuskan masalahnya adalah karena sebuah ajaran yang berkaitan dengan keyakinan sangat dapat merubah prilaku yang akan dipengaruhi oleh loyalitas, integritas, intelektualitas, toleransi dan norma-norma yang dianggap benar maka masalah yang sering timbul yaitu :

1. Apa sebab Pertentangan / konflik sosial maupun internal akibat adanya perbedaan-perbedaan pandangan, pendapat tetap terjadi, dan juga kekerasan,  pemaksaan kehendak selalu saja mewarnai kehidupan didunia ini, sehingga sering sekali berakhir dengan pertumpahan darah bahkan sampai meninbulkan korban jiwa?

2. Kenapa perbedaan agama yang seakan menjadi musuh agama satu dengan yang lainnya bukankah semua mengakui agamanya dari Tuhan, dan kenapa tidak  kebodohan dan kemiskinanlah yang menjadi musuh utama manusia hidup didunia ini?

C.    Kerangka Berfikir
     Untuk mendapatkan gambaran yang sistimatis tentang lingkup pembahasan yang akan dibahas dalam pengkajian ini, maka diperlukan penjelasan mengenai pokok pengertian dan pemahaman yang akan menjadi landasan setiap pembahasan seperti dalam judul tulisan ini. Agama-agama merupakan berbagai jalan yang bertemu pada satu titik yang sama. Apa yang menjadi masalah bila kita mengambil jalan yang berbeda sepanjang kita mencapai tujuan yang sama? Dalam kenyataan jumlah agama adalah sebanyak jumlah manusia yang ada di dunia ini. Demikian Mahatma Gandhi dalam Hind Swaraj menyatakan di tahun 1946 (Prabhu: 1996: 33). Pandangan Mahatma Gandhi sejalan dengan pandangan seorang Sufi kontemporer Frithjof Schuon (2003:11) dalam bukunya Transcendent Unity of Religions, dengan kata pengantar oleh Huston Smith dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Mencari Titik Temu Agama-Agama menggambarkan semua agama menuju Tuhan Yang Maha Esa baik dalam tataran esoteric maupun exoteric, seperti berbagai jalan menuju ke satu puncak gunung.
     Lebih jauh tentang agama sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa dan tafsir terhadap agama tersebut dilakukan oleh manusia dengan berbagai keterbatasannya, dinyatakan oleh Mahatma Gandhi (Prabhu, 1996:35) sebagai berikut:
     “Semua agama adalah anugrah Tuhan Yang Maha Esa tetapi bercampur dengan sifat manusia yang tidak sempurna karena agama itu memakai sarana manusia. Agama sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa di luar jangkauan bahasa manusia. Manusia yang tidak sempurna menyampaikan agama itu menurut kemampuan bahasa mereka, dan kata-kata mereka ditafsirkan lagi oleh manusia yang tidak sempurna juga. Tafsiran siapa yang harus dipegang sebagai tafsiran yang tepat. Setiap orang adalah benar dari sudut pandangannya sendiri, namun bukanlah mustahil juga bahwa setiap orang adalah salah. Maka dari itu dibutuhkan toleransi yang bukan berarti acuh terhadap kepercayaannya sendiri, melainkan dibutuhkan toleransi yang lebih mengandalkan akal sehat dan kasih sayang yang lebih murni. Toleransi akan memberikan kita pandangan rohani yang jauh dari sikap fanatisme seperti jauhnya jarak antar Kutub Utara dengan Kutub Selatan. Pengetahuan yang benar tentang agama meruntuhkan dinding-dinding pemisah antar agama yang satu dengan agama yang lain dan sekaligus memupuk toleransi. Pemupukan toleransi terhadap agama lain akan memberikan kepada kita pemahaman yang lebih mendalam tentang agama kita sendiri”
     Dalam kenyataannya, tidak semua memiliki kemampuan untuk memahami agama lain, yang mengakibatkan sikap tidak toleran terhadap agama lain. Demikian pula halnya dengan fanatisme buta yang hanya didasarkan kepada solidaritas dari suatu komunitas atas sesuatu yang sangat diyakini tanpa pembuktian yang memadai, baik melalui bidang fisika maupun metafisika, apalagi ditunjang oleh dogma-dogma kaku yang sengaja diciptakan untuk kepentingan golongan tertentu sehingga akhirnya akan membatasi  setiap gerak dan penalaran yang cenderung mudah sekali memicu terjadinya gesekan dan benturan kepentingan kecil di satu pihak dengan kepentingan universal di pihak lainnya.              Dalam kejamakan kepentingan dalam satu dunia yang sedang dilanda kebingungan, mudah sekali setiap pribadi yang tidak memiliki cukup pertahanan diri untuk terseret dalam arus provokasi yang justru tidak akan pernah memberikan keuntungan bagi siapapun, hanya kehancuran yang akan menimpanya.
     Seperti telah disebutkan di atas, dalam hal-hal yang berhubungan dengan kemanusiaan, nilai-nilai manusia (human values) atau dalam rangka mewujudkan kemakmuran bersama, banyak hal yang merupakan titik temu dari agama-agama. Titik temu tersebut antara lain: untuk hidup  harmonis dengan sesama umat manusia, untuk menghormati ciptaan-Nya, saling tolong menolong, mewujudkan kerukunan hidup, toleransi dan sebagainya. Dalam usaha meningkatkan kerukunan intra, antar, dan antara umat beragama ini, dikutipkan pernyataan Svami Vivekananda pada penutupan sidang  Parlemen Agama-Agama sedunia, seratus dua belas tahun yang lalu tepatnya tanggal 27 September 1893 di Chicago, karena pernyataan  yang disampaikan oleh pemikir Hindu terkenal akhir abad yang lalu itu senantiasa relevan dengan situasi saat ini. Pidato yang mengemparkan dunia, dan memperoleh penghargaan yang tinggi seperti ditulis oleh surat kabar Amerika sebagai berikut: “An orator by divine right and undoubted greatest in the Parliament of Religion” (Walker,1983:580). Kutipan yang amat berharga itu diulas pula oleh Jai Singh Yadav (1993), dan diungkapkan kembali oleh I Gusti Ngurah Bagus (1993), sebagai berikut :
     “Telah banyak dibicarakan tentang dasar-dasar umum kerukunan agama. Kini saya tidak sekedar mempertaruhkan teori saya. Namun, jika ada orang yang berharap bahwa kerukunan ini akan tercapai melalui kemenangan dari suatu ajaran agama terhadap penghancuran agama lainnya, maka kepadanya saya akan katakan: “Saudara harapan anda itu hanyalah impian yang mustahil”.
     “Jika seseorang secara eksklusif memimpikan kelangsungan agamanya dan kehancuran agama lainnya, saya menaruh kasihan padanya dari lubuk hati yang paling dalam, dan menunjukkan bahwa melalui spanduk setiap agama akan ditulis, walaupun sedikit ditentang, “Saling menolong dan tidak bermusuhan, berbaur tidak akan menghancurkan, harmonis dan damai serta tidak saling berselisih” (Mumukshananda, 1992:24).
     Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pernyataan Mahatma Gandhi pada bagian awal dari tulisan ini kiranya dapat diterima dan bila terjadi distorsi, bahkan pembantaian serta terorisme, bukanlah kesalahan ajaran agama itu melainkan adalah pemahaman yang keliru terhadap agama yang dianutnya. Lebih jauh tentang pengembangan agama (misionaris) (Radhakrishnan, 2002:36) menyatakan bahwa Hinduisme dapat disebut sebagai contoh pertama di dunia dari agama misionaris. Hanya saja sifat misionaris-nya berbeda dengan yang diasosiasikan dengan kepercayaan-kepercayaan yang menarik orang-orang untuk masuk dan menjadi pemeluk. Hinduisme tidak menganggap sebagai panggilan untuk membawa manusia kepada suatu kepercayaan. Sebab yang diperhitungkan adalah perbuatan dan bukan kepercayaan.
     Tentang misionaris yang mengarahkan seseorang untuk konversi agama, Mahatma Gandhi seperti dinyatakan oleh  Robert Ellsberg (2004:168) berikut. Pandangan   Gandhi terhadap konversi dan perubahan agama harus dipahami dalam konteks politisasi yang berkaitan dengan perubahan-perubahan agama di India “Tidak mungkin bagiku untuk berdamai dengan diriku sendiri terhadap gagasan perubahan keyakinan apa pun bentuknya yang terjadi di India dan di mana pun saat ini,” tulisnya. Misi-misi Kristen di India datang bersamaan dengan kekuasaan  eksploitatif dari kerajaan. Sebelum orang-orang Inggris, serangkaian kerajaan Muslim India membawa misi-misi Islamnya. Di tahun 1920-an ada usaha-usaha Hindu, dipelopori oleh Pendeta Arya Samaj untuk mengubah kembali agama, atau dengan kata lain memurnikan (suddhi) yang sebelumnya telah berubah agamanya menjadi Islam, bahkan pada beberapa abad sebelumnya. Maka diskusi-diskusi Gandhi tentang konversi ditujukan untuk menentang semua bentuk perubahanan agama.  “Aku menentang pengubahan agama, sekali pun dikenal sebagai suddhi oleh umat Hindu, Tabligh oleh umat Islam atau Konversi oleh umat Kristen. Perubahan keyakinan adalah proses hati yang hanya diketahui oleh Tuhan”.  Bagi Gandhi, perubahan agama juga dilandasi pada apa yang disebutnya sebagai pandangan yang rapuh tentang superioritas satu agama terhadap agama lain. “Tidaklah masuk di akal, bahwa seseorang akan menjadi baik atau memperoleh keselamatan cukup hanya dengan memeluk suatu agama  Hindu, Kristen, atau Islam. Kemurnian karakter dan keselamatan tergantung pada kemurnian hati”. Dan katanya lagi, “Akan menjadi puncak intoleransi, dan intoleransi adalah sejenis kekerasan, jika Anda percaya bahwa agama Anda superior terhadap agama lain dan bahwa Anda akan dibenarkan ketika Anda menginginkan orang lain berpindah mengikuti keyakinan Anda”.
     Berdasarkan uraian tersebut di atas, agama Hindu sangat menekankan kemurnian atau kesucian hati sebagai wujud transformasi diri, karena sesungguhnya akhir dari pendidikan agama adalah perubahan karakter, dari karakter manusia biasa menuju karakter manusia devata, yakni manusia berkeperibadian mulia (dari manava menuju madhava). Usaha untuk menyucikan diri merupakan langkah menuju kesatuan dengan-Nya, yang berarti juga menumbuhkan kesadaran persaudaraan sejati terhadap semua makhluk ciptaan-Nya, karena dalam pandangan kesatuan ini (advaita) semua makhluk adalah bersaudara (vasudhaivakutumbhakam).

D.    Tujuan Penelitian

     Dalam suatu penelitian ilmiah tentunya memiliki tujuan  yang nantinya dengan tujuan tersebut  dapat memberi arah dan sasaran yang jelas terhadap langkah-langkah yang perlu digunakan dalam penelitian, sehubungan dengan hal tersebut ada dua tujuan yaitu :

a. Tujuan  umum :

1. Penelitian ini bertujuan untuk  memberikan informasi dan pemahaman bahkan menjadi acuan  terhadap Umat, tentang perbedaan jalan menuju Tuhan  tidaklah menjadi suatu pertentangan.   
2. Penelitian ini bertujuan untuk  Umat, dalam rangka mengelememinasi segala permasalahan mengenai perbedaan yang timbul dalam kehidupan sehari-hari, agar segala yang mengarah kepada disharmonisasi dan disintegrasi, dapat diselesaikan tanpa merugikan orang lain.
3. Untuk pengembangan revitalisasi terhadap tafsir ajaran Agama agar tetap eksis dan bermakna di tengah - tengah kehidupan global dewasa ini, selanjutnya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan nyata sehari - hari secara proporsional, paling tidak menyangkut  hal sebagai berikut :
a. Keimanan kepada yang Absolut dengan segala sifat keabsolutan-Nya ( terkait  dengan nilai - nilai spiritual yang harus dan wajib diamalkan ).
b. Pengamalan nilai - nilai yang bersifat " munden ", keduniawian untuk mengatur kehidupan bersama, menyangkut masalah moral dan etik
 4. Sebagai Investasi perpustakaan Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta dan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian-penelitian selanjutnya.
 b. Tujuan  khusus
1. Tujuan ini dimaksudkan untuk memberikan suatu gambaran bagi masyarakat khususnya umat Hindu tentang adanya bentuk-bentuk perbedaan jalan menuju Tuhan, yang ditinjau dari Susastra Hindu.
2.  Dapat digunakan sebagai acuan perubahan sikap dan prilaku kearah yang positif dalam  sehari-hari untuk umat hindu dimanapun berada.
3.  Sebagai sumbangan pemikiran bagi lembaga pendidikan dalam meningkatkan hasil belajar siswanya.
E. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian yang dilaksanakan diharapkan dapat memiliki manfaat bagi mereka yang memerlukannya, manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat secara teoritis maupun secara praktis.
a.                               Manfaat Teoritis
Melalui hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menambah teori-teori yang sudah ada dan juga dapat menambah khasanah perpustakaan Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta.
b.      Manfaat praktis
Melalui hasil penelitian yang diperoleh nantinya diharapkan dapat menjadikan  pedoman dan motivasi dalam sikap prilaku dan mental sehari-hari didalam individu, keluarga dan masyarakat.
E.     Hipothesis dan Anggapan Dasar

         Hipothesis berasal dari bahasa Yunai, yaitu dari kata “hypo” ( dibawah) dan “Thihenai” (meletakkan). Jadi perkataan hypothesis artinya suatu dugaan untuk memberikan keterangan ilmiah terhadap suatu gejala. Sedangkan  menurut kata hypothesis adalah pendapat atau kesimpulan sementara yang kita gunakan untuk menangkap kenyataan kebenaran yang belum terbukti, baru merupakan penjelasan percobaan  tetapi ada alasannya sehingga merupakan kesimpulan yang agak pasti.
     
       Berpedoman dari tinjauan pustaka, kerangka berfikir dan tujuan penelitian diatas maka dapat merumuskan  hypothesis sebagai berikut :

  1. Adanya berbagai keyakinan pada setiap manusia akan mempengaruhi sikap dan prilaku manusia itu sendiri akan tetapi sering pula menyerah terhadap ketidak berdayaan untuk meraih keinginanya itu. Semakin besar keyakinan dan keingin tahuan tentang Tuhan maka semakin besar pula rasa senang mencari jalan untuk dapat berjumpa dengan Tuhan sesuai besar keinginan dan pemahamannya tentang jalan untuk mencapai Tuhan.
  2. Dengan kondisi perekonomian seseorang merasa dapat untuk menempuh atau menemui Tuhan, sehingga faktor inipun menjadi sangat penting akan tetapi kenyataannya  tidak satupun yang menemui  pencapaian jalan berjumpa dengan Tuhan sehingga yang didapat selalu dikaitkan dengan pemberian Tuhan.
  3. Dalam social masyarakat semakin tinggi status social seseorang didalam masyarakat ini pula yang menjadi kejaran manusia untuk hanya mendapatkan predikat agar diakui oleh yanglain bahwa ia telah menemui jalan Tuhan, maka semakin gengsi bahwa dia adalah yang paling benar dan dapat selalu mengatas namakan jalan Tuhan.
  4. Bidang penguasaan sesuatu kondisi atau lingkungan untuk kepentingan dan untuk menjaga kenyamanan sebuah kedudukan seperti inipun dengan argumentasinya adalah merupakan dari anugrah Tuhan walaupun dengan cara yang tidak terpuji untuk mendapatkannya maka manusia memjadikan seolah-olah pemberian Tuhan.

F.     Metode Penelitian

     Dalam rangka penulisan proposal ini penulis menggunakan metode kwalitatif. Metode kwalitatif adalah suatu metode yang digunakan dalam mengolah data dengan jalan menulis dan menggunakan data-data yang berbobot dan masuk akal, sehingga dalam penyimpulannya tidak kabur (Koentjaraningrat,1977:310)
     Penulis secara langsung/menganalisa dalam perbedaan jalan menuju Tuhan dengan :
  1. Metode Pengumpulan Data
  1. Observasi
Obsevasi adalah tehnik yang digunakan dengan cara melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistimatis terdapat gejala atau fenomena yang diselidiki tanpa mengajukan pertanyaan meskipun obyeknya adalah orang (Marzuki, 2001:58)
  1. Kepustakaan
Kepustakaan digunakan untuk melengkapi penulisan penulis studi kepustakaan memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai konsep-konsep ajaran agama (Sayuti Ali, 2002:64)

  1. Wawancara
Wawancara merupakan metode pengalian data yang paling banyak dilakukan baik untuk tujuan praktis maupun ilmiah dengan cara melakukan percakapan langsung dan tatap muka dengan orang yang dijadikan informan (Imam Suprayogo:Tobroni,2001:72)


  1. Metode Pengumpulan Data
Setelah kegiatan mencari data dan mengumpulkan data sesuai, maka dilanjutkan dengan pengolahan data. Data sebagai bahan mentah diolah sesuai tujuan penelitian yang dirumuskan. Adapun metode pengolahan data terdiri dari :
    1. Deskriptif
Metode deskriptif adalah suatu cara pengolahan data yang dilakukan dengan jalan menyusun secara sistimatis sehingga diperoleh suatu kesimpulan (Netra,1976:75)
    1. Metode Komparatif
Metode Komparatif adalah suatu cara pengolahan data yang dilakukan dengan jalan mengadakan perbandingan secara sistimatis serta terus menerus sehingga diperoleh suatu kesimpulan umum (netra,1976:76)

H. Sistimatika Penulisan
     Untuk memudahkan penulis, maka sistimatika yang penulis gunakan sebagai berikut :
Bab I  Pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,anggapan dasar/hypothesis, metode penelitian, sistimatika penulisan.
Bab II   Landasan Teori yang berisikan tentang Pengertian Filsafat, Agama dan Kitabnya, Arti Kebenaran, Nyata dan Maya.
Bab III  Konsep Ketuhanan, Perubahan Sosial, Dampak Perekonomian, Pengaruh Kultur, Modernisasi.
Bab IV Jenis Keyakinan, Berbagai Jalan yang Ditetapkan, Perbedaan-perbedaan Jalan, Sebab dan Akibat, Pembebasan Ikatan.
Bab V Kesimpulan dan Saran  
    






DAFTAR PUSTAKA


1.      Abu Ahnadi, Nur Uhbiyati, 1991, Ilmu Pendidikan, Jakarta,PT Melton Putra
2.      Agastia I.B.G, 2001, Eksistensi Sadhaka Dalam Agama Hindu, Denpasar, PT  Pustaka Manikgeni
3.      Astana, made dan Anomdiputro, 2003, Kautilya (canaka) Arthasastra, Surabaya, Paramita
4.      Abdul Malik Karim Amarulah, 1956, Lembaga Budi, Jakarta, Wijaya
5.      Agung Oka I Gusti, 1993, Slokantara,  Jakarta, Hanuman Sakti
6.      Bambang Q-Anees, Radea Juli A.Hambali, 2003, Filsafat Untuk Umum, Jakarta, Prenada Media
7.      E.Mulyasa, 2006, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung, PT Remaja Rosdakarya
8.      Kamala Subramaniam, 2004,Ramayana, Surabaya, Paramita
9.      Maswinara, I Wayan, 1999, Rg Veda Samhita, Surabaya, Paramita
10.  Maswinara, I Wayan, 1999, Sistem Filsafat Hindu, Surabaya, Paramita
11.  Nasution, 2006, Asas-Asas Kurikulum, Jakarta, PT Bumi Aksara
12.  Nala Ngurah, I Gusti, Kosmonologi Hindu, Surabaya, Paramita
13.  Ngurah, dkk I Gusti Made,1999, Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi, Surabaya,   Paramita  
14.  Om Visnupada A.C.Bhaktivedanta Swami Prabhupada,1986, Bagawad-Gita, (Pendiri-Acarya International Cociety for Krisna Consciouness), Jakarta, P.O. Box 2694.
15.  Pudja, Gede,1991, Weda Parikrama, Jakarta, Hanuman sakti
16. Pudja, Gede, Tjokorda Rai Sudharta, 1977, Weda Smerti  Compendium Hukum Hindu, Jakarta,   Dirjen Bimas Hidhu & Budha Departemen Agama RI
17. Pudja, Gede,1980, Sarasamuscaya, Jakarta, Hanuman Sakti
18. Pudja, Gede, 1984, Pengantar Agama Hindu II SRADDHA, Jakarta, Mayasari
19. Pudja, Gede, Sandhi, Keniten, Made, Ida Pedanda1983, Siwa Sasana, Jakarta,   Departemen Agama RI
20. Surayin Ida Ayu Putu, 1992, Melangkah Kearah Persiapan Upakara-Upacara Yadnya, Denpasar, PT Upada Sastra.
21. Suamba, Ida Bagus Putu dan Yuda Triguna, Ida Bagus Gde,2000, Kontribusi Hindu Terhadap Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, Jakarta, Widya Dharma
22. Titib, I Made, 1997, Pengantar Weda (Untuk Program D III), Jakarta, Hanuman Sakti
23. Titib, I Made, 1996, Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan, Surabaya, Paramita
24. Titib, I  Made, 2003, Purana Sumber Ajaran Hindu Komperhehensip, Jakarta, Pustaka Mitra Jaya
25. ……….….., 2005, Naskah Akademik Rencana Undang-Undang Tentang Pendidikan    Kewarganegaraan, Jakarta, DIRJEN Potensi Pertahanan
26. .……….…..., 2004, UUD 1945 dan Amandemen, Jakarta, Fokusmedia
27……………..., 1987, Kakawin Ramayana I, Denpasa, Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I Bali
28…………….., 2003, Intisari Ajaran Hindu, Surabaya, Paramita
29…….……….., 2004, SIWATATTWA,  Pemerintah Provinsi Bali
30………..,…… 1998,Tuntunan Pelaksanaan Upacara Sudhi Widani, Departemen Agama RI Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha, Jakarta.
31…………….., 2004, Upacara Mewinten,  Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.
32…………….., 1996, Niti Sastra, Jakarta, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha
33......................,  http://pitoyoadhi.wordpress.co/2007/01/02/sekularisasi-dan-gereja-katoliki/, 29/04/2008 
34......................,  http://islamlib.com/id/idex.php?page=article&id=1233, 23/04/2008
35......................, http://id.wikipedia.org/wiki/Sekularisme, 23/04/2008