Selasa, 24 Januari 2012

Teori Sosial Budaya

Arsip untuk Teori Sosial budaya
TEORI BUDAYA
Indonesia, sebagai sebuah bangsa, terbentuk dari aneka kultur dan struktur sosial yang berbeda-beda. Berbeda dengan Jepang ataupun Korea, Indonesia memiliki kultur yang tidak homogen. Bahkan, untuk wilayah Papua saja terdapat kurang lebih 132 suku bangsa dan bahasa yang berlainan. Itu belum lagi sistem sosial dan budaya yang terdapat di pulau-pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan lainnya. Lalu, bagaimana dapat seseorang memutuskan bahwa ia tengah mengamati atau mempelajari budaya dan sistem sosial Indonesia?

entu saja, Indonesia tadinya merupakan sebuah konsep abstrak. Indonesia merupakan sebuah ide yang dibentuk oleh para founding fathers guna mempersatukan wilayah-wilayah nusantara ke dalam ikatan nation yang lebih besar secara politik. Secara politik, tatkala seseorang mempelajari budaya Sekaten di Keraton Yogyakarta, dapat saja dikatakan bahwa ia tengah mempelajari budaya Indonesia. Atau, dikala seorang peneliti mempelajari budaya pemeliharaan tanaman hutan pada Suku Kubu di Jambi, ia juga dikatakan tengah mempelajari budaya Indonesia. Yogyakarta dan Jambi merupakan dua wilayah yang terikat ke dalam sebuah nation yang bernama Indonesia.

Masalah yang kerap muncul dalam negara dengan multikultur adalah masalah primordial. Suku, agama, golongan, ataupun ras yang berbeda-beda kerap bersitegang satu dengan lainnya guna mempertahankan eksistensi mereka. Manifestasi dari hal tersebut adalah maraknya konflik antar masyarakat Indonesia seperti di Poso, Papua, Sampit, Maluku, atau kerusuhan antara golongan pribumi versus etnis Cina. Integrasi nasional merupakan pekerjaan rumah yang amat berat tetapi harus diselesaikan oleh seluruh elemen yang mengaku sebagai bagian dari nation Indonesia.


Konsep Sistem Sosial dan Budaya

Dalam mendekati permasalah sistem sosial dan budaya Indonesia, akan digunakan sejumlah teori guna mendekatinya. Teori adalah perangkat analisis yang terdiri atas sejumlah penyataan tentang mengapa dan bagaimana suatu fakta berhubungan antara satu dengan lainnya.

Dalam konteks mata kuliah, terdapat 2 konsep yang terlebih dahulu perlu dibedakan. Pertama konsep sistem sosial dan kedua konsep sistem budaya. Sistem sosial dan sistem budaya ini terlebih dahulu harus dipisahkan sebagai 2 fenomena yang berbeda.


Sistem Sosial

Sistem adalah kesatuan dari struktur yang punya fungsi berbeda, satu sama lain saling bergantung, dan bekerja ke arah tujuan yang sama. Dalam sosiologi, sekurang-kurangnya dikenal 3 paradigma berbeda yang biasa digunakan dalam mendekati permasalahan sistem sosial ini, yaitu :
1.Fungsionalisme Struktrural
2.Konflik Sosial
3.Interaksionisme Simbolik


Fungsionalisme Struktural

Paradigma Fungsionalisme Struktural berangkat dari kajian Herbert Spencer (1820-1903), sosiolog Inggris, yang menganalogikan sistem sosial seperti sistem tubuh mahkluk hidup. Sistem tersebut terus mengalami evolusi ke arah penyempurnaan bentuk. Organ-organ tubuh saling bekerja secara bersama agar keseluruhan sistem berfungsi secara teratur, aneka unsur di dalam masyarakat (ekonomi, negara, kesehatan, pendidikan, keagamaan) satu sama lain saling bekerja sama agar masyarakat dapat berfungsi dan teratur secara keseluruhan.

Pandangan Spencer ini kemudian mempengaruhi Emile Durkheim (1858-1917), seorang sosiolog Perancis. Analogi tubuh atas masyarakat dari Spencer ini kemudian dinyatakannya sebagai paradigma Fungsionalisme Struktural. Paradigma ini memandang masyarakat sebagai sistem yang kompleks, dalam mana bagian-bagian di dalamnya saling berkait dan bekerja secara bersama guna memelihara stabilitas. Secara rinci, pandangan dari paradigma Fungsionalisme Struktural sebagai berikut :

1.bagian-bagian (struktur) suatu sistem sosial saling bergantung
2.sistem sosial punya kondisi normal yaitu equilibrium (keseimbangan), dan
3.tatkala terganggu, bagian-bagian sistem segera mereorganisir dan menyesuaikan diri guna mengembalikan sistem sosial ke kondisi semula.1

Bagi Durkheim, masyarakat itu mempengaruhi tindakan individu, tetapi sebaliknya, masyarakat itu ada setelah adanya individu. Baginya masyarakat harus dipahami sebagai sebuah fakta sosial. Fakta sosial ini terdiri atas hukum, moral, nilai, keyakinan agama, kebiasaan, pakaian, ritual, serta aturan-aturan sosial dan budaya yang mengatur kehidupan sosial.

Paradigma Fungsionalisme Struktural ini sangat berpengaruh dalam kajian mengenai sistem sosial. Ia populer di Amerika Serikat melalui pemikiran dari Talcott Parsons (1902-1979) selama periode 1940 hingga 1950-an. Parsons inilah yang membentuk grand theory bagi Fungsionalisme Struktural ini. Grand Theory adalah tingkatan teorisasi abstrak dan menyeluruh, yang pertama kali coba menjelaskan struktur sosial melalui serangkaian penelitian.

Robert K. Merton (1910-2003), murid dari Parsons, mulai beranjak ke arah middle-range theory. Middle-range theory adalah teori-teori yang lebih terbatas dan dapat diuji melalui penelitian. Merton mulai menjelaskan perilaku menyimpang (deviant), opini publik, ataupun bagaimana kekuasaan itu ditransmisikan dari satu generasi ke generasi lain.

Merton juga menunjukkan kompleknya pola-pola sosial, dalam mana stuktur-struktur masyarakat yang bervariasi memiliki fungsi-fungsi yang juga berbeda. Ada fungsi yang disebut Merton sebagai manifest functions, yaitu fungsi yang nyata dan disengaja. Ada pula latent function, yaitu fungsi yang tidak diorganisir dan tidak disengaja. Seluruh fungsi ini dapat dikategorikan netral ataupun menguntungkan. Kendati begitu, beberapa fungsi dapat saja tidak diinginkan kehadirannya. Fungsi yang tidak diinginkan ini disebut social dysfunction.

Manifest Function, Latent Function, dan Social Dyfunction sosial dapat dijelaskan lewat ilustrasi sebuah mobil. Mobil merupakan alat transportasi dan status bagi pemiliknya. Keduanya adalah manifest function. Mobil juga memungkinkan otonomi, yang membuat pemiliknya dapat datang dan pergi ke suatu tempat secara bebas. Ini merupakan Latent Function. Namun, mobil juga berdampak polusi bagi lingkungan. Ini merupakan social dysfunction dari mobil sebagai alat transportasi.

Bagi paradigma Fungsionalisme Struktural, tatkala salah satu struktur sistem sosial berubah, maka struktur lainnya harus segera menyesuaikan diri. Perubahan ini dapat memiliki manifest, latent, ataupun disfungsi sosial. Sebagai gambaran atas ketiga fungsi ini dapat diambil contoh pengembangan mal Pondok Gede.

Mal Pondok Gede memusatkan kegiatan perdagangan di satu tempat. Itu merupakan manifest function. Variasi barang dagangan, penarikan investasi, penyediaan lapangan kerja, merupakan serangkaian Latent Function yang mengikuti pendirian Mal Pondok Gede. Namun, kemacetan, berkurangnya resapan air, dan dibongkarnya rumah asal muasal nama Pondok Gede merupakan disfungsi sosial yang menyertainya.

Fungsionalisme Struktural dikritik akibat penekanan yang terlampau berlebihan pada aspek keteraturan sosial. Keteraturan sosial ini dianggap tidak mampu menjelaskan perubahan sosial. Padahal, seperti telah dinyatakan Spencer, sistem sosial juga mengalami evolusi (perubahan berangsur) di dalam dirinya.

Fungsionalisme Struktural juga dikritik tidak mampu menjelaskan fenomena konflik dan ketegangan akibat sejumlah faktor seperti ras, kelas, dan gender. Konflik dan ketegangan akibat faktor-faktor ini berdampak pada posisi-posisi sosial dan kehidupan. Selain itu, Fungsionalisme Struktural juga dikritik mengandung tautologi (argumen yang berputar-putar). Fungsionalisme Struktural juga tidak memuaskan dalam menjawab pertanyaan bagaimana sebuah struktur sosial baru muncul. Fungsionalisme Struktural menjadi tidak populer tahun 1960-an, tatkalan dunia banyak mengalami perubahan yang cepat.

Akibat kritik-kritik ini, munculah sebuah paradigma lain yaitu Neofungsionalisme. Neofungsionalisme merupakan bentuk baru dari Fungsionalisme Struktural dan muncul tahun 1980-an melalui serangkaian penelitian Jeffrey C. Alexander (1998), Neil Smelser (1982), dan Niklas Luhmann (1982). Karya ketiganya merupakan revisi atas pandangan Talcott Parsons mengenai Fungsionalisme Struktural.


Teori Konflik Sosial

Konflik Sosial merupakan paradigma “besar” lain di dalam kajian sosiologi. Fokusnya pada kompetisi (persaingan) antakelompok di dalam suatu sistem sosial. Jika Fungsionalisme Struktural menekankan pada perimbangan dan stabilitas sistem sosial, maka teoretisi konflik memandang masyarakat sebagai mengandung hubungan sosial yang tidak sama dan berubah.

Menurut teoretisi konflik, kelompok-kelompok di dalam masyarakat saling bersaing guna memperoleh sumber daya yang langka seperti kesejahteraan dan kekuasaan. Setiap kelompok selalu mencari apa yang baik bagi dirinya. Namun, pada kenyataannya hanya satu atau sedikit kelompok yang menguasai sumber daya termaksud. Sebab itu, paradigma konflik selalu bertanya, “Siapa yang diuntungkan dari situasi ini ?” Bagi teoretisi konflik, konflik adalah konstan (tetap).


Karl Marx

Karya Karl Marx (1818-1883) kerap dirujuk sebagai akar perspektif konflik dalam sosiologi. Marx mengamati ketimpangan yand ada di masyarakat kapitalis. Baginya, masyarakat berada dalam pertarungan antar kelas: Yang Punya (diwakili pemilik pabrik) dan Yang Tak Punya (buruh). Hasilnya adalah, konflik dan perubahan sosial akibat kelas yang satu berupaya mempertahankan milik, sementara lainnya berupaya merebut.

Pandangan ini cukup sederhana dan kemudian dikembangkan penerusnya. Inti yang tetap dipertahankan adalah ketegangan konstan antar kelompok. Marx terlampau menekankan pada determinisme ekonomi. Sementara teoretisi sesudahnya mulai merambah ranah baru yaitu kelompok, organisasi, ras, golongan, suku bangsa, dan sejenisnya.


Ralf Dahrendorf

Ralf Dahrendorf melanjutkan tradisi konflik Marxian dengan sejumlah modifikasi. Dahrendorf juga dikenal menerapkan Marxism Positivistik. Ia menerapkan konsep-konsep Marx seperti proletarian ataupun borjuis agar dapat diterapkan di setiap pola organisasi sosial. Penerapan pola tersebut dikaitkan dengan masalah otoritas sistem. Pola ini dikenal dengan nama Imperative Coordinated Association (ICA). ICA merupakan lembaga tempat pengaturan kelompok-kelompok yang ada di suatu masyarakat. Ia semacam lembaga ‘peredam’ konflik.

Dahrendorf kemudian menjawab pertanyaan sehubungan benturan dan kekerasan yang terjadi di masyarakat. Baginya, semakin para anggotanya terorganisir dan sadar bahwa mereka tengah menuju konflik, semakin rendah benturan dan kekerasan dalam konflik yang kemudian terjadi antara mereka dengan para atasannya. Sebaliknya, semakin kepentingan para anggota tidak terorganisir ataupun semakin tidak koheren ikatan di dalam organisasi tatkala mengarah pada konflik, maka semakin keras konflik yang akan terjadi. Ini ditambah lagi dengan kondisi-kondisi berikut:
1.kemampuan mobilitas vertikal para anggota rendah,
2.otoritas yang ada berhubungan erat dengan distribusi sumber daya yang ada, dan
3.ketidakpuasan di antara anggota masyarakat meningkat secara drastis.


Eric Olin Wright

Eric Olin Wright adalah teoretisi Amerika Serikat yang mempertahankan evaluasi Marx atas sistem stratifikasi sosial. Wright mengembangkan sejenis Marxisme analitik. Kajiannya atas masyarakat post industrial. Jadi ia berbeda dengan Marx oleh sebab Marx mengkaji masyarakat industrial. Beberapa pernyataan Wright yang punya perbedaan dengan Marx adalah :
1.jumlah kelas menengah akan meningkat (sementara bagi Marx, kelas menengah akan menghilang akibat konsentrasi kelas hanya pada borjuis dan proletar saja)
2.tersebarnya kepemilikan alat produksi dengan sistem saham,
3.meningkatnya jumlah orang yang dipekerjakan oleh pemerintah (perusahaan nonprofit)
Kendati demikian, Wright tetap mempertahankan gagasan eksploitasi Marx, bahwa atasan/pimpinan akan beroleh kekayaan dari nilai lebih buruh.

Sistem kelas yang sudah ada membatasi formasi (bentuk) dan perjuangan kelas. Sementara itu, perjuangan kelas akan mengubah struktur dan formasi kelas. Pertanyaan besar Wright adalah, bagaimana menciptakan teori guna menjelaskan mekanisme terbentuknya formasi dan perjuangan kelas. Itu semua dalam batasan yang ditentukan oleh struktur kelas yang sudah ada.


Randall Collins

Randall Collins menganggap realitas sosial berawal dari level mikrososial, lewat interaksi antarindividu yang tatkala terhubungkan satu sama lain, membentuk stratifikasi sosial budaya kelas layaknya suatu organisasi. Pada gilirannya, stratifikasi dan budaya kelas ini melahirkan makrostruktur yang berkisar pada negara maupun sistem geopolitik yang dinamis.

Bagi Collins, setiap level realitas selalu terdapat ketimpangan distribusi material, simbol ataupun sumber daya politik. Potensi konflik akibat ketimpangan ini selalu terdapat antara individu yang terlibat dalam interaksi langsung (face to face), baik dalam organisasi, antarkelas, antarbudaya, dan antarmasyarakat.

Collins mengawali analisisnya atas masyarakat pada level mikro (individu). Baginya, individu selalu mencari sesuatu guna memperkuat modal kultural dan energi emosional mereka dengan memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki guna memperoleh keuntungan.

Pada level meso (menengah), yaitu di tingkat organisasi sosial, Collins melihat organisasi sebagai sistem kontrol. Sistem kontrol tersebut boleh menggunakan sumber daya koersif, simbolik, ataupun material dalam rangka memperoleh penerimaan dari mereka yang melawan upaya mencari keuntungan ini.

Pada tingkat makro, Collins meneliti konflik di dalam masyarakat. Khususnya dalam kemampuan negara mengatur aktivitas internalnya, dengan adanya kemampuan ini, dan pada gilirannya, pada tingka produksi dalam konteks ekonomi dan tingkat kontrol negara yang menggunakan sumberdaya koersif, simbolik, dan material.


Sistem Budaya

Umum diketahui, Indonesia terdiri atas aneka suku bangsa. Masing-masing punya budaya khas yang saling berbeda satu dengan lainnya. Apa yang dikatakan sebagai budaya Indonesia, sesungguhnya merupakan suatu yang abstrak. Sebab, hingga kini belum ada satu budaya final yang secara komprehensif merupakan kesatuan (atau percampuran) dari seluruh budaya lokal yang tumbuh di Indonesia.

Sebab itu, penting untuk terlebih dulu diketengahkan suatu penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan budaya. Demikian pula tipe dan unsur-unsur yang ada di dalam konsep budaya. Setelah dilakukan hal tersebut, dapat kiranya dilakukan penelusuran mengenai fenomena budaya yang tumbuh di Indonesia. Penelusuran konsep budaya yang digunakan adalah dalam disiplin sosiologi.


Pengertian Budaya

Menurut Kathy S. Stolley, budaya merupakan sebuah konsep yang luas.2 Bagi kalangan sosiolog, budaya terbangun dari seluruh gagasan (ide), keyakinan, perilaku, dan produk-produk yang dihasilkan secara bersama, dan menentukan cara hidup suatu kelompok. Budaya meliputi semua yang dikreasi dan dimiliki manusia tatkala mereka saling berinteraksi.

Budaya membentuk cara bagaimana orang melihat dunia. Ia berpengaruh atas bagaimana kita berpikir, bertindak, yang dijunjung tinggi, berbicara, organisasi-organisasi yang dibentuk, ritual yang diselenggarakan, hukum yang dibuat, apa dan bagaimana yang kita sembah, apa yang kita makan, apa yang kita pakai, dan apa yang kita sebut sebagai buruk atau baik.

Budaya di dunia sangat bervariasi. Budaya, bagi penganutnya, adalah “normal” ataupun “lebih baik” ketimbang budaya yang dianut pihak lain. Terkadang seseorang yang memasuki budaya berbeda akan mengalami “culture shock” atau kejutan budaya. Culture shock adalah kebingungan yang muncul tatkala seseorang memasuki situasi atau cara hidup yang tidak dikenal. Seorang suku Sunda mungkin saja terkejut melihat tata cara berpakaian, tatkala ia diberi kesempatan berkunjung ke kediaman seorang Suku Dani di pedalaman Papua yang masih menggunakan koteka. Keterasingan yang ia alami tatkala mengalami itu dapat disebut sebagai cultural shock.


Jenis-jenis Budaya

Budaya memiliki sejumlah perwujudan. Satu sama lain saling berbeda. Perbedaan itu akibat tiap budaya sekaligus memiliki komponen material dan komponen nonmaterial. Masuk ke dalam kategori komponen material adalah seluruh produk nyata yang terbentuk lewat interaksi manusia. Ini termasuk pakaian, buku, seni, bangunan, software komputer, penemuan, makanan, kendaraan bermotor, alat kerja, dan sejenisnya. Sementara itu, masuk ke dalam kategori komponen nonmaterial adalah semua kreasi manusia yang tidak kasat mata seperti bahasa, nilai-nilai, keyakinan, perilaku, ataupun lembaga sosial.

Budaya yang sifatnya material seperti teknologi mungkin saja punya dampak pengubahan atas manusia secara lebih cepat. Ini yang kerap disebut cultural lag. Cultural lag adalah ‘jurang’ yang muncul tatkala sejumlah aspek budaya mengalami perubahan tanpa disertai aspek lainnya. Contohnya, tatkala manusia menemukan cara membiakkan sel yang terkenal dengan nama cloning. Cloning tersebut berhasil diterapkan atas hewan. Persoalan muncul tatkala ia hendak diterapkan atas manusia. Muncul perdebatan moral dan etis apakan manusia boleh dibiakkan secara cloning?

Sosiolog juga menekankan kita jangan sampai bingung dengan penggunaan kata budaya sehari-hari. Dalam penggunaan sehari-hari, seseorang dapat saja dikatakan “berbudaya” atau “terbudayakan” atau “tak berbudaya”. Setiap orang pada hakikatnya memiliki budaya.

Namun, terkadang pemakaian kata “budaya” kerap mengacu pada apa yang dinamakan “high culture” (budaya tinggi). High culture sendiri biasanya terdiri atas hal-hal yang dihubungan dengan kaum elit sosial. Menonton opera, melihat galeri lukisan, menonton konser musik klasik, mengunjungi butik mahal, dan sejenisnya merupakan contoh dari budaya tinggi. Kegiatan-kegiatan ini tentu tidak dapat dilakukan oleh semua orang karena beberapa alasan. Bisa saja karena mahal, tidak suka, ataupun lokasi tempat tinggalnya jauh dari hal-hal tersebut.

Lawan high culture adalah popular culture. Popular culture (budaya populer) terdiri atas kegiatan yang tersebar luas dan dilakukan banyak orang. Ia memiliki daya tarik bagi aneka manusia dari beragam kelas sosial. Contohnya rumah makan Padang. Rumah makan ini menghidangkan masakan khas Sumatera Barat. Namun, banyak orang dari suku Sunda, Jawa, Batak, Papua menggemari masakan ini. “Makanan Padang” sebab itu merupakan sebuah popular culture sebab ia sudah menjadi “milik” orang lintas suku. Termasuk pula orang dari tingkat ekonomi tinggi, menengah, ataupun bawah.


Masyarakat

Masyarakat terdiri atas orang yang saling berinteraksi dan berbagi budaya bersama. Masyarakat mutlak harus ada bagi tiap individu oleh sebab ia merupakan “pusaran” tempat nilai-nilai, barang-barang, ataupun peralatan untuk hidup diperoleh. Juga, individu mutlak harus ada bagi tiap masyarakat oleh sebab lewat aktivitas dan kreasi individu-lah seluruh nilai material suatu peradaban diperoleh.

Beberapa definisi tentang masyarakat berkisar pada interaksi yang muncul di wilayah tertentu. Sebab itu dikenal konsep masyarakat kota ataupun masyarakat desa. Masyarakat pesisir ataupun masyarakat pegunungan. Namun kini, dengan semakin canggihnya teknologi komunikasi dan transportasi, terjadi proses pertukaran budaya secara cepat dan massal. Sebab itu, pengkategorian masyarakat berdasar lingkup geografis, meski tetap dilakukan, semakin terlihat kurang signifikansinya.


Aspek-aspek Budaya

Kajian seputar budaya biasanya lebih fokus pada beberapa aspek budaya nonmateri seperti nilai-nilai, norma-norma, simbol, dan bahasa suatu budaya. Sebab itu, tinjauan atas tiap aspek ini akan lebih membuat kita lebih paham soal apa itu budaya. Bagaimana budaya itu terbentuk dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain, dan seberapa penting budaya di setiap hal yang kita lakukan.


Nilai (Values)

Nilai, secara budaya didefinisikan sebaga gagasan seputar apa yang hal yang penting. Nilai menggambarkan bagaimana budaya itu seharusnya. Di Jepang misalnya, bushido, disiplin, taat pimpinan, malu tatkala gagal ataupun kerja keras, merupakan nilai budaya Jepang. Tentu saja, tidak semua orang Jepang memiliki seluruh nilai tersebut. Namun, mereka biasanya menolak beberapa tetapi menerima nilai yang lainnya.

Juga, dapat saja terjadi suatu ketidakcocokkan. Ini terjadi antara “budaya ideal” yaitu nilai dan norma yang diklaim oleh suatu masyarakat dengan “budaya real” yaitu nilai dan norma yang benar-benar mereka praktekkan. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, persamaan (equality) diyakini sebagai nilai budaya nonmateri-nya. Sebab itu, secara ideal seluruh pekerja di negara itu baik warga negara kulit hitam maupun putih harus memperoleh perlakuan yang sama di tempat manapun di negara itu mereka berada. Kenyataannya, baru tahun 1964 Amerika Serikat menghapuskan perbedaan perlakuan berdasarkan warna kulit. Penghapusan ini baru dilakukan setelah mereka merdeka tahun 1776. Bayangkan, selama kurang lebih 188 tahun Amerika Serikat mengalami ketidakcocokkan antara Ideal Culture dengan Real Culture.


Norma-norma

Norma diturunkan dari nilai. Norma terdiri atas aturan dan apa yang diharapkan untuk dilakukan satu individu tatkala menghadapi situasi tertentu. Norma dibutuhkan untuk menjamin keteraturan sosial. Norma sekaligus menginstruksikan ataupun melarang suatu perilaku.

Norma memberitahu kita apa yang harus dilakukan (menunggu giliran, hadir tepat waktu, menghormati yang tua, menyayangi yang muda, dan sejenisnya). Norma juga memberi tahu kita apa yang kita seharusnya tidak lakukan (berteriak di dalam ruangan, berpakaian tidak sopan, menindik hidung dan bibir, berhenti tatkala lampu lalu-lintas berwarna hijau, dan sejenisnya).

Norma ditekankan melalui proses internalisasi melalui agen-agen sosial seperti keluarga, sekolah, ataupun pemerintah. Setelah diinternalisasi, norma kemudian menjadi bagian dari diri si individu dan sebagai sebuah budaya.

Namun, norma juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Di tahun 1980 atau 1990-an dapat kita temui guru laki-laki kerap merokok tatkala mengajar di depan kelas. Kini, norma tersebut berubah tatkala tindakan tersebut dinilai tidak etis. Bahkan, larangan merokok di lingkungan sekolah diterapkan lewat peraturan pemerintah.


Mores

Mores adalah norma yang ditegakkan secara keras. Biasanya mores mewakili standar baku seputar apa yang benar dan salah. Larangan-larangan membunuh, merampok, memperkosa, merupakan contoh-contoh mores yang diterapkan di aneka negara. Mores dianggap signifikan secara moral dan kerap diformalisasi menjadi hukum. Karena signifikansi ini, hukuman bagi pelanggaran mores kerap diterapkan. Ini juga melibatkan pemberian sanksi berupa penangkapan dan pemenjaraan. Bahkan di beberapa negara, diterapkan hukuman mati bagi pelanggaran mores.


Simbol

Simbol adalah sesuatu yang melambangkan, mewakili atau menyatakan hal yang lain dalam suatu budaya. Simbol dapat mewakili gagasan, emosi, nilai, keyakinan, sikap, atau peristiwa. Simbol dapat berupa apa saja. Gerakan tubuh, kata-kata, obyek atau bahkan peristiwa.

Penggunaan simbol membantu memperkuat rasa kesatuan dan komitmen antarindividu. Salib, YinYang, BulanBintang, merupakan simbol yang punya arti mendalam bagi para penggunanya. Bendera nasional punya arti dalam tatkala suatu pasukan atau tim olahraga bertarung di arena hidup-mati atau menang-kalah.

Makna suatu simbol lahir dari cara mereka ditafsirkan di dalam suatu budaya. Merah Putih mungkin bermakna tanah air bagi pasukan RI di Timor Timur, tetapi dapat bermakna “penjajah” bagi Fretilin. Bendera BintangKejora bermakna kemerdekaan bagi gerilyawan OPM, tetapi makna berubag menjadi “gerakan separatis” bagi TNI. Demikian, simbol memiliki makna berbeda bergantung budaya yang dianut individu yang menafsirkannya.

Simbol juga mungkin dapat berubah makni lewat perjalanan waktu. Misalnya, gaun pengantin warna putih mempelai wanita, dulu bermakna “keperawanan” bagi masyarakat Amerika Serikat. Kini gaun putih tersebut dianggap ketinggalan zaman dan tidak lagi punya makna. Banyak mempelai tidak lagi “perawan” atau “perjaka” tatkala menikah, di sana. Di Cina dan Jepang, mempelai wanita memakai pakaian putih oleh sebab warna tersebut lambangkan kedukaan/kematian akibat harus tinggalkan keluarga dan ikut suami. Kini, meski tidak seluruhnya, simbol-simbol tersebut mulai kehilangan makna.

Namun, ada kalanya simbol justru bukan kehilangan makna, tetapi justru beroleh makna baru. Selama Perang Dunia II, segitiga warna pink terbalik digunakan Nazi guna menandai tahanan homoseksual di kamp-kamp konsentrasi. Namun, tahun 1980-an, aktivis pembela hak kaum gay mengadopsi segitiga pink itu sebagai lambang kebanggaan dan solidaritas. Jika dahulu segitiga pink adalah lambang penindasan, maka kini segitiga pink merupakan lambang perjuangan melawan penindasan itu.


Bahasa

Bahasa adalah sistem simbol yang memungkinkan proses komunikasi antar anggota penganut suatu budaya. Simbol ini dapat berupa lisan maupun tulisan. Bahasa merupakan aspek sentral seputar cara kita memahami dunia. Dapat dibayangkan seorang Indonesia tak bisa berbahasa Rusia meminta penjelasan kepada orang Rusia yang tidak bisa bahasa Indonesia ?

Bahasa juga merefleksikan persepsi (pengertian) suatu budaya. Teori ini dikembangkan dua orang ahli antropologi bahasa bernama Edward Sapir (1884-1936) dan Benjamin Lee Whorf (1897-1941) lewat hipotesisnya yang bernama Linguistic-Relativity (relativitas bahasa). Misalnya, oleh sebab salju merupakan pusat hidup mereka, orang Eskimo memiliki sejumlah kata yang berkaitan dengan salju, turunnya salju, mencairnya salju, dan sejenisnya. Suku-suku padang pasir tidak punya kata “salju” dalam bahasa mereka. Atau, saking banyaknya variasi dan produsi beras, orang Hannuno di Filipina punya 100 istilah kata yang melukiskan “beras.”

Bahasa juga menyatakan apa yang kita pikir mengenai dunia dan bagaimana kita bertindak. Sebuah riset menunjukkan bahwa tatkala orang di negara berbahasa Inggris atau mempelajari bahasa Inggris mendengar kata “chairman”, asosiasinya adalah “laki-laki”. Padahal, bisa saja orang yang menjadi “chairman” itu seorang perempuan.


Keragaman

Kerap ditemui suatu keragaman yang muncul di dalam suatu budaya. Di Amerika Serikat, para peneliti budaya menemui banyak perbedaan budaya tatkala mempelajari komunitas selebriti Hollywood, komunitas masyarakat Cina di ChinaTown, komunitas kulit hitam di New Orleans, kota Florida yang banyak dihuni pensiunan, Chicago yang banyak dihuni imigran keturunan Eropa Timur, dan sebagainya. Kendati begitu, sosiolog berupaya menemukan aspek-aspek budaya yang sama-sama dimiliki komunitas-komunitas di Amerika Serikat itu.

Kajian budaya berbeda dari suatu bangsa masuk ke dalam kajian subkultur. Subkultur adalah budaya yang relatif lebih kecil di dalam budaya dominan. Budaya tersebut punya cara hidup yang berbeda di sejumlah hal penting dari budaya dominan.

Subkultur terbentuk akibat sejumlah faktor. Bisa dalam hal hobi, ketertarikan, perilaku, kepentingan, pekerjaan, ataupun asal etnis dan ras. Subkultur ini juga masih terdiri atas ragam kultur lain yang lebih kecil.

Tidak semua subkultur dalam budaya dominan menganut nilai-nilai budaya dominan. Budaya yang menentang pola budaya dominan disebut counter-culture (budaya tandingan). Ada kesempatan subkultur, jika konsisten dan punya banyak pendukung, mampu menjadi budaya dominan.

Persoalan budaya yang kini mengemuka adalah, bagaimana penyesuaian terhadap pola-pola budaya dominan dapat dilakukan. Dan, jika suatu subkultur melakukan penyesuaian terhadap budaya dominan, maka peristiwa itu disebut sebagai asimilasi. Asimilasi adalah proses dimana suatu kelompok budaya kehilangan identitasnya dan terserap ke dalam budaya dominan. Contoh dari ini adalah penggunaan nama Indonesia yang dilakungan WNI keturunan Tionghoa. Namun, asimilasi tersebut berlangsung sebagian oleh sebab yang berubah hanya simbol individu, bukan aspek nonmaterial budaya lainnya.

Kini banyak kelompok yang mengklaim punya pola budaya bersama. Akan tetapi, juga terdapat peningkatan atas pengakuan dan kepentingan seputar Multikulturalisme. Multikulturalisme adalah pengakuan dan respek atas perbedaan budaya. Multikulturalisme memungkinkan budaya dominan diterapkan sementara tetap memberi penghargaan kepada budaya lain yang juga dianut beberapa subkelompok.

Tatkala mempelajari variasi budaya dan kebudayaan, sosiolog harus mewaspadai etnosentrisme. Etnosentrisme adalah penilaian atas budaya lain lewat standar budaya seseorang. Oleh sebab kita semua hidup dalam sebuah budaya, kita cenderung melihat bahwa budaya kita “normal” atau “alamiah” dan budaya lain itu “abnormal” atau “tidak alamiah”. Kita juga cenderung menilai budaya kita sendiri lebih baik ketimbang budaya lain.

Ketimbang menganut etnosentrisme, seorang sosiolog harus mengembangkan relativisme kultural. Ini bermakna mereka harus hati-hati dalam menilai budaya lain lewat standar budayanya sendiri. Dengan kata lain, sosiolog coba memahami budaya-budaya lain dan mengapa mereka memiliki dan meyakini itu ketimbang menilai budaya-budaya tersebut tidak alamiah atau salah.


Sosiobiologi

Sosiolog juga fokus pada pentingnya pengaruh sosial dalam membentuk pola-pola budaya. Penekanan mereka adalah atas bagaimana budaya terbentuk lewat interaksi sosial. Dari perspektif ini, budaya adalah sebuah kreasi sosial dan produk dari pembelajaran sosial. Ia bukan produk biologis.

Akan tetapi, ada sebuah bidang kajian yaitu sosiobiologi yang menghubungkan antara kajian budaya dan biologi. Istilah sosiobiologi pertama kali digunakan tahun 1970-an oleh seorang entomolog bernama Edward O. Wilson. Mengikut pada teori evolusi Charles Darwin, riset atas teori evolusioner, dan latar belakangnya sendiri dalam ilmu perilaku serangga, Wilson mengajukan cara pandang baru bahwa terdapat sejumlah basis biologi bagi sejumlah perilaku manusia.

Menurut Wilson, manusia punya insting yang mempengaruhi perilaku. Insting tersebut bisa diamati di aneka kebudayaan. Lewat cara pandang ini, Wilson ingin menandaskan bahwa secara genetik perilaku sosial diturunkan. Penurunan ini tidak terelakkan. Misal dari perilaku ini adalah pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, larangan insest, bangunan pola dominasi antarkelompok, dan dominasi laki-laki.


Globalisasi dan Internet

Struktur masyarakat berubah tiap saat. Terutama lewat penemuan di bidang teknologi. Teknologi ini berkisar dari yang mendasar (misal: beternak, bertani) hingga apa yang kita sebut sebagai teknologi canggih (misal: transaksi keuangan online, berbagi pengetahuan lewat intenet). Penyebaran bahasa bersama (Inggris) juga pegang peran sentral bagi difusi antarbudaya dan globalisasi.

Beberapa sosiolog berdalih bahwa perubahan ini berakibat pada homogenisasi lintas masyarakat. Globalisasi dan perkembangan teknologi baru ini membawa pada pembentukan budaya global. Akan tetapi, globalisasi dan teknologi komunikasi tanpa bisa ditahan, telah mengubah budaya dan masyarakat ke dalam bentuk-bentuk baru.

Budaya juga kerap diadopsi mengikut pada masyarakat lokal di mana mereka berada. Restoran McDonald tersebar di seluruh penjuru dunia. Di Amerika, McDonald sekadar restoran fast-food: Orang beli makanan murah, makan, dan pergi, atau pesan dan pergi. Mereka tidak perlu habiskan banyak waktu buat menyantap makanan McDonald. Sungguh, restoran McDonald awalnya dibangun berdasarkan ide ini.

Di Asia Timur, penggemar McDonald (utamanya ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak), sangat menikmati dan habiskan banyak waktu di restoran McDonald. Tidak seperti di Amerika, restoran-restoran McDonald di Asia Timur harus mengadaptasi kebiasaan itu. Sebab itu, dapat diperhatikan bahwa restoran-restoran McDonald di Asia memiliki toilet, wastafel plus cermin, bahkan arena bermain anak-anak. Status McDonald yang di Amerika sekadar “pesan-makan cepat-pergi” berubah menjadi “duduk-bicara-pesan-nikmati-bermain-pergi”. Bertambah aktivitas orang di McDonald Asia.

Budaya-budaya yang ada juga diadaptasi oleh dunia virtual Internet. Norma, contohnya, juga dibangun khusus untuk budaya online. Menurut etika online, mengetik dengan seluruh huruf besar sama dengan berteriak. Pengguna internet yang mengetik dengan seluruh huruf besar kemungkinan akan beroleh sanksi dari user lainnya. Sanksi tersebut dapat berupa teguran untuk berlaku sopan, “flaming” (serangan tertulis yang ditujukan pada pelanggar), ataupun mengabaikan user bersangkutan.

Akan tetapi, jalur hubungan online dapat saja membolehkan perilaku yang mungkin tidak bisa diterima secara offline. Contoh, sebuah domain multiuser bernama MUD user-user yang tergabung di dalamnya saling berinteraksi membuat program tentang bagaimana karakter yang ada di program itu melakukan perkelahian, pengutukan, pemerkosaan, atau pembunuhan atas user-user online lainnya.

-------------------------------------------

Referensi :

Kathy S. Stolley, The Basics of Sociology, (Connecticut: Greenwood Press, 2005).

George Ritzer, ed., Encyclopedia of Sociology, Vol.1&2, (New York : SAGE Publications, 2005),

Minggu, 22 Januari 2012

KOMUNIKASI POLITIK


Momunikasi Politik
I.B. Saduarsa

Soal:
1.      Mengapa Komunikasi pemasaran politik diperlukan, jelaskan berdasarkan teori komunikasi berdasarkan perspektif politik
2.      Jelaskan perbedaan substansial antara  pemasaran politik dengan pemasaran komersial
3.      Jelaskan sasaran dan tujuan komunikasi politik
4.      Persamaan pemasaran politik media masa dan idiologi
Jawab:
1.      Komunikasi pemasaran politik penting karena:
            Adanya kompetisi dan kotrofersi tentang hal-hal yang berkaitan dengan kekuasaan, kewibawaan dan idiologi yang ingin di menangkan. Dimana Menurut Carl I. Hovland komunikasi berarti upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap. Politik menurut filsafat Aristoteles adalah sebagai imaster of science, yang diungkapkan H.Victor Wiseman di dalam bukunya Politics: Master of Science. Setidaknya ada lima pandangan mengenai politik yang diungkapkan oleh Ramlan Surbakti di dalam bukunya Memahami ilmu Politik, yaitu:
a.       politik adalah usaha-usaha yang ditempuh oleh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama.
b.      politik ialah segala hal yang berkaitan dengan penyelengaraan negara dan pemerintahan.
c.       politik sebagai segala keiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat.
d.      politik ialah kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum.
e.       politik dijelaskan sebagai hal yang berkaitan dengan pandangan klasik mengenai politk, kelembagaan, kekuasaan , serta fungsionalisme yang merupakan gabungan dari empat hal di atas.
Maka dengan demikian pemasaran politik dalam berkompetisi dan menghadapi kontofersi dari pihak lain menjadi sangat penting, untuk memberikan pengaruh terhadap khalayak dalam hal-hal tersebut sesuai dengan pencitraan dari masing-masing pihak yang telah memenangkan kompetisi tersebut.

2. Perbedaan substansial antara  pemasaran politik dengan pemasaran komersial
Pemasaran Politik dapat dijelaskan sebagai berikut:
Perbedaan yang mendasar adalah produk-produk dari politik dan komersial  walaupun bentuk pengorganisasian dan pengelolaan (manajemen) dalam komunikasi politik yang dikembangkan dewasa ini adalah pemasaran politik. Dalam hal waktu belum terlalu lama memang telah berkembang juga konsep baru untuk membentuk citra dan opini public dengan menerapkan model pemasaran barang dan jasa.  Dimana pemasaran politik yang berupa gagasan-gagasan walaupun dipasarkannya secara prinsip-prinsip komersial akan tetapi nilainya masih tergantung khalayak yang berupa citra dan opini  yang berkembang.
Jika kampanye politik hanya dilakukan dalam periode tertentu, sedangkan pemasaran komersial tentu dapat dilakukan setiap adanya produksi yang mau dipasarkan. Dengan demikian jelas pemasaran komersia pengorganisasian dan pengelolaan (manajemen) komersial sudah tentu jelas substansinya yaitu tentang barang dan jasa yang berkaitan dengan mutu baik kwalitas dan kwantitas yang terukur, bisa dinilai dengan sejumlah uang dan diperjual belikan yang bukan berupa idiologi. Pada hakekatnya isu politik sangat berbeda dengan produk komersial. Isu politik berkaitan dengan nilai dan idiologi, dan bukan sebuah produk yang diperjual belikan. Oleh sebab itu penerapan pemasaran dalam politik harus mengacu dan mengadaptasi nilai-nilai yang ada dalam dunia politik, terutama yang berkaitan dengan idiologi politik.
Menurut Radcliff (2001) dalam system social ditujukan untuk memperbaiki kondisi kualitas masyarakat suatu komunitas (Negara) melalui “kontak social”

3.      Sasaran dan tujuan komunikasi politik dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.      Cita Politik yang terdiri dari:
1.      Hakikat Citra Politik
Yaitu : berkaitan dengan pembentukan pendapat umum karena pada dasarnya pendapat umum politik terbangun melalui citra politik. Sedangkan citra politik terwujud sebagai konsekuensi kognitif dari komunikasi politik.Robet (1977) menyatakan komunikasi tidak secara langsung meninbulkan pendapat atau perilaku tertentu.
2.      Citra politik dan Realitas Media
Yaitu : bahwa media masa dapat membentuk citra politik individu yang menjadi khalayak media massa kearah yang dikehendaki. Media massa juga mengarah khalayak (individu-individu) dalam mempertahankan citra yang sudah dimiliki.

b.      Pendapat Umum
1.      Dipahami, pada hakikatnya pendapat umum di Negara demokrasi liberar dapat disebut sebagai kekuatan politik. Merupakan kekuatan keempat setelah tiga kekuatan dan kekuasaan lainnya dalam trias politika dari montesque, yaitu legislative, eksekutif dan yudikatif.walaupun sepenuhnya Indonesia tidak menganut system ini, akan tetapi kekuatan politik pun menjadi hal penting karena Indonesia berada dalam kelompok Negara demokrasi.
2.      Karakteristik pendapat umum
Adalah merupakan salah satu sasaran komunikasi politik, yang memiliki karakteristik tertentu.seperti: diskripsi, kepentingan umum dan dimiliki banyak orang. Yang merupakan kekuatan kehidupan social dan politik seperti dapat memperkuat undang-undang/peraturan, pendukung moral dalam masyarakat dan pendapat umum dapat menjadi pendukung eksistensi lembaga-lembaga politik.
3.      Proses terbentuknya pendapat umum
Adalah bentk efek dari proses komunikasi politik berdasarkan persepktif atau paradigm mekanistis, terutama komunikasi politik yang disalurkan melalui media massa (pers, radio dan televise). Dimana public akhirnya menyimpulkan suatu pendapat sehingga dengan demikian, public (politik) sangat penting dipahami dari proses komunikasi massa. Yang secara sosiologis adalah orang banyak yang terlibat dalam suatu pertukaran pikiran secara tidak langsung (diskusi public) untuk mencari pemecahan suatu persoalan ini tentu yang diwawancarai pers, radio dan televise.

c.       Partisipasi Politik
Sasaran dan tujuan ini merupakan tercapainya partisipasi politik dan kemenangan para politikus dan partai politiknya dalam memberikan suara dalam pemilihan umum, merupakan konsekuensi atau efek komunikasi yang sangat penting, terdiri dari
1.      Partisipasi politik yang dikenal adanya rumusan manusia politik, dari Harold D. Lasswell (1960:75) yaitu Politik:pld)r =P.Artinya, pribadi (p), ditransformasikan (l) dan dipindahkan (d) ke gelanggang public, kemudian dirasionalkan (r) menurut kepentingan public dan atau nilai komunitas yang diterima secara luas (Nimmo,2000:89).
2.      Pemilihan Umum
Adalah merupakan ukuran partisipasi dalam hasil pemilihan berupa suara yang menunjukan dukungan terhadap aktivitas politik, yang akan berkaitan langsung dengankomunikasi politik yaitu kampanye dan pemungutan suara. Dimana ada empat tipe pemberian suara menurut Dan Nimmo (2000:162-172) yaitu: tipe rasional, tipe reaktif, tipe responsive dan tipe aktif.
3.      Perspektif dan pemberi suara
Factor-faktor yang membuat individu memberikan suaranya antara lain seperti keyakinan politik atau idiologi, persepsi politik dan motivasi politik, sikap politik dan dorongan politik.
d.      Pemilu dan kebijakan public
Dalam mempengaruhi kebijakan public (public policy) dalam segala segi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, seperti kebijakan politik luar negeri, politik dalam negeri, pertahanan, hokum, ekonomi, pendidikan, pangan,dan politik keuangan.
Peran komunikasi dalam pemilihan umum yaitu : teori kehendak rakyat, teori control rakyat, dan teori dukungan rakyat. Dan Nimmo (2000-202-205).
Dimana teori kehendak rakyat mempunyai focus kognitif, dalam hal pemberian suara dengan orientasi kepada tujuan yang kentara dan tertentu serta memiliki minat aktif terhadap kampanye pemilu, yang akan memperoleh isu-isu penting
Teori control rakyat, memiliki focus afektif ketimbang kognitif, lebih evaluative ketimbang instrumental, yang berorientasi kepada partai dengan pertimbangan kepartaian dan idiologi.
Teori dukungan rakyat mempunyai focus ekspresif dan bukan instrumental atau evaluative dan bukan kognitif atau efektif. Dalam teori ini pemberi suara menyusun citra tentang kandidat atau partai, dan memproyeksikan kekahawatiran dan frustasinya.

4.      Persamaan pemasaran politik media masa dan idiologi dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pada pemasaran politik media massa adanya kepribadian masing-masing media massa itu, juga menjadi system nilai yang menjadi kerangka acuan bagi wartawan dalam meliput peristiwa keagamaan, mengolah dan menyaring menjadi berita. Sehingga dari sinilah media mendapatkan status pretise yang menyebabkan surat kabar, film, radio atau televise akan tercermin dalam isi sesuai kebijakan berkaitan dengan visi misi dari media itu sendiri.
Adapun pemilihan khalayak tentang media massa ini bahwa medium adalah pesan (the medium is the message) dengan demikian ini merupakan citra media bagi khalayak. Jadi adapun pemilihan media massa sesuai dengan citra dirinya, visi dan misinya dalam menjelaskan aktivitas sebagai warga masyarakat.
Wartawan sebagai komunikator yang terorganisasi, menetapkan idiologi dan politik media massa, berdasarkan visi dan misi pemiliknya, sebagai kerangka acuan dalam penyaringan peristiwa menjadi berita. Peranannya sebagai gatekeeper (Howitt, 1985:19). Adanya kekuatan social dampaknya terutama pada pembentukan dan penyaluran pesan atau informasi, menjadi media massa selalu menjadi sasaran control baik dari masyarakat maupun dari Negara (pemerintah).
Posisi media massa yang dapat melayani berbagai kepentingan, tentu harus dapat “diwaspadai” oleh politisi atau kandidat, karena media massa dapat menjadi “kawan perkasa” atau menjadi “lawan tangguh” bagi hasil pemasaran politik. Secara umum, idiologi dirumuskan oleh Alfian (1980:109) sebagai suatu pandangn hidup atau system nilai menyeluruh dan mendalam yang dipunyai dan dipegang oleh suatu masyarakat tentang bagaimana cara segi kehidupan duniawi.
Idiologi politik sering pula disamakan dengan idiologi politik, sehingga pemasaran politik media masa dan idiologi merupakan cara pandang suatu media dalam memasarkan kepentingan-kepentingan baik berupa bisnisnya sebagai media massa dalam kelangsungan hidup media itu sendiri, dan juga terkait dengan kepentingan pemiliknya dalam eksistensinya terhadap khalayak.

Kamis, 03 November 2011


Jawaban mata kuliah Menajemen Persuasi dan Negosiasi
IB.Saduarsa
Soal no 1
Negosiasi adalah proses kreatif, masing-masing pihak mencari kesepakatan terbaik untuk memenuhi kebutuhannya. Uraikan maksud negosiasi tersebut menggunakan ilustrasi dua orang yang sedang menginginkan jeruk yang hanya ada satu buah. Jelaskan bagaimana dua orang itu berusaha memperoleh kebutuhannya? Apa saja kemungkinannya kalau tidak ditemukan respon yang tepat?
Jawaban:
Yang dimaksud dengan negosiasi sebagai proses kreatif, masing-masing pihak mencari kesepakatan terbaik untuk memenuhi kebutuhannya adalah merupakan suatu kondisi dimana adanya posisi tawar yang akan dilakukan berkaitan dengan masalah-masalah keinginan sebagai suatu tujuan antara pihak satu dengan pihak lain, dalam hal persoalan diatas yaitu dua orang yang sedang menginkan jeruk dimana jeruknya hanya ada satu. Ini tentunya akan terjadi proses negosiasi.
Beberapa definisi menurut ahli dapat dijelaskan sebagai berikut:  Menurut ensklopedi bebas Wikipedia  “Kata "negosiasi" adalah dari ungkapan Latin, "negotiatus", partisip masa lalu negotiare yang berarti "untuk menjalankan usaha". "Negotium" berarti harfiah "tidak luang".”Negosiasi adalah dialog yang dimaksudkan untuk menyelesaikan sengketa , untuk menghasilkan kesepakatan atas program tindakan, untuk menawar individu atau keuntungan kolektif , atau hasil kerajinan untuk memenuhi berbagai kepentingan. Ini adalah metode utama penyelesaian sengketa alternative” .
Menurut Rusly ZA Nasution :“negosiasi adalah suatu proses perundingan antara para pihak yang berselisih atau berbeda pendapat tentang sesuatu permasalahan.”
            Menurut Gary Godpaster: “Negosiasi adalah proses interaksi dan komunikasi yang dinamis dan beraneka ragam, mengandung seni dan penuh rahasia, untuk mencapai suatu tujuan yang dianggap menguntungkan para pihak “
Menurut Fisher dan Urg : “Negosiasi adalah komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki kepentingan yang berbeda“
Menurut Oxford Dictionary : “Negosiasi adalah pembicaran dengan orang lain dengan maksud untuk mencapai kompromi atau kesepakatan untuk mengatur atau mengemukakan.”  
Menurut Friedrich–Naumann–Stiftung (www.kedai-kebebasan.org) : “Negosiasi  Suatu proses dimana sedikitnya dua orang (atau  lebih) berusaha mencapai sesuatu. Agar hal itu tercapai, kedua pihak harus menyepakati suatu cara pemecahan.  Namun, itu baru permulaan. Kedua pihak harus tetap bekerjasama dalam pelaksanaan dari “kontrak” yang telah disepakati.”
Dengan demikian negosiasi diperlukan ketika kepentingan seseorang atau suatu kelompok tergantung pada perbuatan orang atau kelompok lain yang juga memiliki kepentingan-kepentingan tersebut harus dicapai dengan jalan mengadakan kerjasama. Negosiasi adalah salah satu pendekatan yang paling umum digunakan untuk membuat keputusan dan mengelola sengketa, untuk negosiasi yang menghasilkan manfaat positif bagi semua pihak, negosiator harus menentukan apa masalahnya dan apa yang masing-masing pihak inginkan. Dalam mendefinisikan tujuan negosiasi, adalah penting untuk membedakan antara masalah, posisi, kepentingan-kepentingan dan pilihan penyelesaian.
Adaya permasalahan pada kondisi dimana dua orang menginginkan satu buah jeruk, maka terjadilah sebuah proses negosiasi, tentunya ada tawar menawar sebagai dialog awal mengungkap masing-masing keinginannya. Untuk memecahkan permasalah ini, kedua orang ini harus mampu menjabarkan kebutuhan masing-masing pihak sehingga mampu dipahami oleh masing-masing lawan negosiasi. Ketika kebutuhan masing-masing pihak adalah sama, maka solusi yang terbaik adalah membelah satu buah jeruk tersebut menjadi dua dimana masing-masing pihak mendapatkan bagian yang sama, dengan demikian dapat diuraikan dan dijelaskan hal-hal sebagai berikut:
Adanya tawar-menawar posisional adalah strategi negosiasi di mana serangkaian posisi, alternatif solusi yang memenuhi kepentingan-kepentingan tertentu atau kebutuhan, dipilih oleh seorang negosiator, memerintahkan berurutan menurut hasil disukai dan disajikan kepada pihak lain dalam upaya untuk mencapai kesepakatan. Posisi pertama atau pembukaan menyatakan bahwa keuntungan maksimum diharapkan atau diharapkan dalam negosiasi. Setiap posisi berikutnya tuntutan kurang dari lawan dan menghasilkan manfaat yang lebih sedikit untuk orang advokasi itu.
Kesepakatan tercapai ketika posisi negosiator berkumpul dan mereka mencapai berbagai penyelesaian yang dapat diterima, seperti rasa adil dan puas tidak ada yang dirugikan. Ada banyak cara yang berbeda untuk negosiasi segmen untuk mendapatkan pemahaman yang lebih besar dari bagian penting. Salah satu pandangan negosiasi melibatkan tiga elemen dasar: proses, perilaku dan substansi. Proses ini mengacu pada bagaimana para pihak berunding: konteks negosiasi, pihak dalam negosiasi, taktik yang digunakan oleh para pihak, dan urutan dan tahapan di mana semua ini bermain keluar.
Masalah adalah masalah atau pertanyaan pihak-pihak tidak setuju tentang. Masalah biasanya dapat dinyatakan sebagai masalah pada persoalan ini adalah bagaimana caranya jeruk yang hanya ada satu sedangkan yang menginginkan dua orang?, sementara dalam hal ini memungkinkan untuk terjadinya sengketa akibat dari sama-sama mempertahankan keinginan untuk mendapatkan jeruk itu.  Masalah mungkin substantif (berhubungan dengan keinginan), prosedural (mengenai cara sengketa ditangani), atau psikologis (yang berkaitan dengan efek dari tindakan yang diusulkan).
Posisi adalah laporan oleh pihak tentang bagaimana suatu masalah dapat atau harus ditangani atau diselesaikan, atau proposal untuk solusi tertentu. Sebuah berbantah memilih posisi karena itu memenuhi kepentingan tertentu atau memenuhi seperangkat kebutuhan. Kepentingan kebutuhan spesifik, kondisi atau keuntungan bahwa partai harus memiliki bertemu di suatu kesepakatan untuk itu harus dianggap memuaskan. Minat bisa merujuk ke konten, pertimbangan prosedural tertentu atau untuk kebutuhan psikologis. Penyelesaian Pilihan - kemungkinan solusi yang membahas kepentingan satu atau lebih partai. Kehadiran pilihan menyiratkan bahwa ada lebih dari satu cara untuk memuaskan kepentingan.
Kata integratif berarti bergabung beberapa bagian menjadi keseluruhan. Secara konseptual, ini berarti beberapa kerjasama, atau bergabung dengan kekuatan untuk mencapai sesuatu bersama-sama. Biasanya melibatkan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi dan membentuk suatu hubungan. Kedua pihak ingin pergi merasa mereka telah mencapai sesuatu yang memiliki nilai dengan mendapatkan apa yang masing-masing ingin. Idealnya, itu adalah proses dua. Proses negosiasi integratif umumnya melibatkan beberapa bentuk atau kombinasi dari membuat nilai konsesi nilai, dalam hubungannya dengan pemecahan masalah secara kreatif.
Umumnya, bentuk negosiasi adalah mencari jalan, mereka membentuk hubungan jangka panjang untuk menciptakan keuntungan bersama. Hal ini sering digambarkan sebagai skenario menang-menang. Jadi dalam hal ini tentu tidak ada pihak yang merasa dirugikan akibat adanya negosiasi ini.

Soal no 2.
Buat rencana negosiasi yang baik sehingga negosiator dapat memenangkan negosiasi. Kemukakan secara teorietis, membuat rencana negosiasi yang baik dan efektif itu apa? Gunakan kasus nyata dalam dunia politik untuk membuat ilustrasi soal nomoer 2 ini?
Ada beberapa tahapan dalam negosiasi yaitu:
            Tahap pertama :  Mengevaluasi dan Pilih Strategi Panduan Pemecahan Masalah, yatiu :  menilai berbagai pendekatan atau prosedur - negosiasi, fasilitasi, mediasi, arbitrase, pengadilan, dll - tersedia untuk pemecahan masalah, dan pilih pendekatan.
             Tahap kedua : Membuat Kontak dengan Pihak Lain atau Pihak, yaitu:  Membuat kontak awal secara pribadi, melalui telepon, atau melalui pos. Jelaskan keinginan Anda untuk bernegosiasi dan mengkoordinasikan pendekatan. Membangun hubungan dan memperluas hubungan Membangun kredibilitas pribadi atau organisasi.  Promosikan komitmen untuk prosedur. Mendidik dan mendapatkan masukan dari pihak-pihak tentang proses yang akan digunakan.
            Tahap ketiga: Mengumpulkan dan Menganalisis Informasi Latar Belakang yaitu: Mengumpulkan dan menganalisis data yang relevan tentang orang-orang, dinamika dan substansi yang terlibat dalam masalah. Memverifikasi akurasi data. Minimalkan dampak dari data yang tidak akurat atau tidak tersedia. Mengidentifikasi substantif semua pihak, kepentingan prosedural dan psikologis.
           Tahap keempat: Desain Rencana Detil untuk Negosiasi yaitu: Mengidentifikasi strategi dan taktik yang akan memungkinkan para pihak untuk bergerak ke arah kesepakatan.  Mengidentifikasi taktik untuk merespon situasi khas isu-isu spesifik yang akan dinegosiasikan.
           Tahap kelima: Membangun Kepercayaan dan Kerjasama. Siapkan psikologis untuk berpartisipasi dalam negosiasi tentang isu-isu substantif. Mengembangkan strategi untuk menangani emosi yang kuat. Periksa persepsi dan meminimalkan efek stereotip.  Membangun pengakuan legitimasi partai-partai dan isu-isu. Membangun kepercayaan.  Memperjelas komunikasi.
         Tahap keenam : Awal Sesi Negosiasi yaitu: Memperkenalkan semua pihak. Bursa pernyataan yang menunjukkan kemauan untuk mendengarkan, berbagi ide, menunjukkan keterbukaan untuk berpikir dan menunjukkan keinginan untuk tawar-menawar dengan itikad baik. Menetapkan pedoman untuk perilaku. Negara bersama harapan untuk negosiasi. Jelaskan sejarah masalah dan menjelaskan mengapa ada kebutuhan untuk perubahan atau perjanjian. Mengidentifikasi kepentingan dan / atau posisi.
Tahap tujuh: Menentukan Isu dan Set Agenda, yaitu: Bersama-sama mengidentifikasi area topik yang luas yang menjadi perhatian orang.  Mengidentifikasi isu-isu spesifik yang akan dibahas.  Bingkai isu-isu dengan cara yang tidak menghakimi netral.  Mendapatkan kesepakatan mengenai isu-isu yang akan dibahas. Menentukan urutan untuk membahas masalah. Mulailah dengan suatu masalah di mana terdapat investasi yang tinggi pada bagian dari semua peserta, di mana tidak ada perselisihan serius dan di mana ada kemungkinan kuat perjanjian. Bergiliran menjelaskan bagaimana Anda melihat situasi. Peserta harus didorong untuk menceritakan kisah mereka cukup detail bahwa semua orang memahami sudut pandang yang disajikan.Gunakan mendengarkan secara aktif, pertanyaan-pertanyaan terbuka dan fokus pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan.
           Tahap kedelapan: Mengungkap Kepentingan Tersembunyi, yaitu: Probe setiap masalah baik satu per satu atau bersama-sama untuk mengidentifikasi minat, kebutuhan dan keprihatinan para peserta utama dalam sengketa.  Mendefinisikan dan menjelaskan kepentingan sehingga semua peserta memahami kebutuhan orang lain serta mereka sendiri.
           Tahap kesembilan: Hasilkan Pilihan untuk Penyelesaian, Mengembangkan kesadaran tentang kebutuhan untuk pilihan dari yang untuk memilih atau membuat penyelesaian akhir.  Tinjauan kebutuhan pihak yang berhubungan dengan masalah. Menghasilkan kriteria atau standar-standar objektif yang dapat membimbing diskusi penyelesaian.  Carilah kesepakatan secara prinsip. Pertimbangkan memecah masalah menjadi lebih kecil, masalah lebih mudah dikelola dan menghasilkan solusi untuk sub-masalah. Menghasilkan pilihan baik secara individual atau melalui diskusi bersama.  Gunakan satu atau lebih prosedur berikut: Memperluas kue sehingga manfaat yang meningkat untuk semua pihak. Kepuasan alternatif sehingga masing-masing pihak memiliki / nya kepentingan puas tetapi pada waktu yang berbeda. Perdagangan item yang dinilai berbeda oleh pihak. Carilah integratif atau menang / menang pilihan. Brainstorm. Gunakan trial dan generasi kesalahan beberapa solusi. Coba generasi diam di mana setiap individu mengembangkan pribadi daftar pilihan dan kemudian menyajikan / nya ide untuk negosiator lain. Gunakan kaukus untuk mengembangkan pilihan.  Melakukan posisi / generasi pilihan posisi kontra. Pisahkan generasi solusi yang mungkin dari evaluasi.
           Tahap ke sepuluh: Menilai Pilihan untuk Penyelesaian, yaitu: Review kepentingan para pihak. Menilai bagaimana kepentingan dapat dipenuhi oleh pilihan yang tersedia.  Menilai biaya dan manfaat dari memilih opsi.
           Tahap ke sebelas: Perundingan Akhir, yaitu: Memecahkan masalah akhir terjadi ketika: Salah satu alternatif dipilih. Konsesi incremental dibuat dan pihak bergerak lebih dekat bersama-sama.  Alternatif digabungkan atau disesuaikan menjadi solusi yang unggul.  Paket pemukiman dikembangkan.  Pihak membangun sarana prosedural untuk mencapai kesepakatan substantif.
            Tahap keduabelas: Mencapai Penyelesaian Formal, Perjanjian dapat nota tertulis dari pemahaman atau kontrak hukum. Rinci bagaimana penyelesaian yang akan dilaksanakan - siapa, apa, dimana, kapan, bagaimana - dan menulis ke dalam perjanjian.  Mengidentifikasi "bagaimana jika" dan masalah melakukan pemecahan untuk mengatasi blok. Membentuk evaluasi dan prosedur pemantauan. Meresmikan penyelesaian dan menciptakan mekanisme penegakan dan komitmen: Kontrak Hukum  Performance bond. Yudisial meninjau. Administratif / eksekutif persetujuan.
       Dalam hal negosiasi yang baik dapat pula menerapkan  Strategi proses negosiasi merupakan kunci kedua untuk mmenjamin suksesnya perebutan nilai. Strategi ini dibagi menjadi 8 langkah, yaitu :
1.    Tentukan tujuan utama negosiasi.
Menentukan tujuan utama akan membawa kita kepada arahan negosiasi. Tujuan menjelaskan kepada kita mengenai apa yang hendak kita perjuangkan, bahan-bahan apa yang relevan untuk kita bawa ke meja negosiasi dan bahan-nahan apa yang tidak relevan, lalu apa yang kita inginkan baik jangka pendek maupun jangka panjang.
2.    Pelajari segala hal tentang pihak lawan
Dalam taktik perang klasik bangsa Cina oleh Jendral Perang Sun Tzu, untuk memenangkan pertempuran harus dipastikan penguasaan 3 hal, yaitu ukur sampai dimana batas kemampuan diri sendiri, pelajari sampai dimana batas kekuatan lawan dan pahamilah kondisi lapangan medan perang. Taktik tersebut bisa menjadi masukan yang baik.
3.    Tentukan garis dasar.
Langkah selanjutnya adalah menentukan garis besar. Apakah garis dasar itu? Dia adalah tawaran terakhir yang kita lepaskan, yang berupa titik toleransi terakhir dimana anda akan melepas negosiasi. Apabila hasil negosiasi jatuh dibawah garis dasar ini, berarti kita telah gagal / kalah dalam bernegosiasi, yang artinya keadaan setelah bernegosiasi justru lebih buruk dibandingkan dengan sebelum bernegosiasi.
4.    Tentukan titik keberangkatan.
Setelah garis dasar, kemudian tentukan titik keberangkatan. Titik keberangkatan yang dimaksud adalah tuntutan awal yang akan kita keluarkan pertama kali di awal negosiasi. Titik keberangkatan ini merupakan maximal point. Tentukan titik keberangkatan
5.    Libatkan variabel sebanyak mungkin
Apa yang dimaksud dengan variable dalam bernegosiasi? Yaitu tawaran yang kita persiapkan untuk memenangkan tuntutan kita.
n semaksimal mungkin.
6.    Persiapkan hal-hal teknis tim / personel
Sebelum maju ke meja perundingan, hal-hal teknis perlu dipersiapkan. Hal-hal tersebut seperti :
a.    Tanyakan sampai di mana batas kewenangan negosiator.
b.    Siakan tim yang tepat.
c.     Lakukan briefing untuk menyamakan persepsi.
d.    Dsb.
Mengenai personel negosiator, sebaiknya memenuhi kriteria standar di bawah ini :
a.    Tenang dan tidak emosional.
b.    Terampil mengemukakan pikiran / pandangan.
c.     Pendengar yang baik
d.    Tidak mudah frustasi dan stress.
7.    Jangan melakukan tawar menawar ataupun permohonan, tetapi lakukanlah pertukaran.
Anda tidak ingin melakukan sesuatu tanpa imbalan bukan? Tapi begitu banyak orang yang mengabaikan prinsip ini. Mereka hanya mengajukan permohonan dan membiarkan diri mereka dikalahkan. Jangan pernah melakukan permohonan atau tawar menawar, tetapi lakukanlah pertukaran.
8.    Setujui semuanya atau tidak sama sekali.
Seringkali negosiasi tidak merundingkan satu kasus saja, namun bisa lebih dari satu kasus dan mungkin saja saling berhubungan. Apabila anda telah menyelesaikan satu kasus, jangan terburu-buru menyetujuinya.Katakanlah bahwa anda akan mencatat terlebih dahulu, kemudian tanyakanlah apakah ada hal lain yang ingin disampaikan/dinegosiasikan
               Tokoh politik yang menerapkan strategi diatas adalah Amin Rais yaitu pada saat gusdur dianggap netral untuk menghindari deadlock dalam pemilu saat partai politik PDI Perjuangan Megawati memenangkan pemilu yang oleh karena dianggap tidak akan diterima seorang presiden wanita saat itu, lalu adanya poros tengah yang dipimpin oleh Amin Rais memilih Gusdur Ilustrasi faktual adalah ketika Gusdur menjadi Presiden. Pada saat itu terjadi masalah dalam menentukan pemerintahan transisi era reformasi. Begitu pula sebagai seorang presiden, Gusdur juga menggunakan negosiasinya dimana dia harus mampu menegosiasikan berbagai masalah termasuk menentukan Wakil Presiden dan Kabinetnya. Gusdur mampu menjinakkan kegaduhan politik yang terjadi karena Gusdur mampu menegosiasikan pilihan Wakil Presiden dengan Megawati dan kabinetnya dengan berbagai pihak. Proses negosiasi yang dilakukan oleh Gusdur dengan pihak lain adalah sebuah contoh negosiasi yang menjadi jawaban semua pihak sehingga terjadi win win solution.
Soal no 3
Ahli negosiasi yang bernama Roger Dawson membagi teknik negosiasi ke dalam 4 kelompok, yaitu:
a.       Taktik babak awal (6 taktik)
b.      Taktik babak tengah (7taktik)
c.       Taktik babak akhir ( 5 taktik)
d.      Taktik tidak etis (7 taktik)
Berikan msing masing kelompok satu ilustrasi factual dari dunia politik, kemudian gunakan satu taktik dari masing-masing kelompok untuk menganalisis masalah tersebut. Asumsikan bahwa anda adalah politisi yang sedang bernegosiasi dengan politik lain.
Jawaban:
a.    Taktik Babak Awal
Taktik yang akan saya pakai sesuai teori Roger Dawson adalah menghindari negosiasi yang konfrontatif.Contoh kasus: dalam dunia politik biasa terjadi perselisihan dalam menggolkan sebuah kebijakan dalam organisasi. Masing-masing pihak akan bertahan dalam rangka membela kepentingannya terhadap kebijakan yang akan digolkan tersebut. Saya sebagai seorang politikus akan menggunakan taktik babak awal yaitu ‘menghindari negosiasi yang konfrontatif’. Hal ini saya lakukan untuk menemukan sebuah solusi tanpa harus menciptakan ‘musuh’ tetapi kepentingan saya dan lawan saya bisa tercapai. Saya akan berusaha untuk memahami tujuan/kepentingan lawan saya kemudian melakukan negosiasi untuk menemukan jalan tengah yang bisa menjadi win win solution kedua belah pihak, yaitu:
1). Mintalah lebih dari yang anda harapkan. 2). Jangan pernah katakana ya terhadap tawaran pertama. 3). Melakukan flinch terhadap profosal. 4). Reluctant seller dan reluctant buyer 5). Gunakan vise technique

b. Taktik Babak Tengah
Menghindari deadlock adalah salah satu taktik yang akan saya pakai dalam taktik babak tengah ini. Dalam masalah yang saya hadapi dalam yang saya contohkan diatas, saya sebagai seorang politikus akan menggunakan taktik babak tengah yaitu ‘menghindari deadlock’. Ini saya lakukan apabila terjadi kemandekan dalam negosiasi yang saya lakukan dengan pihak lawan saya. Saya akan menghadirkan pihak ketiga yang saya dan pihak lawan sebagai orang yang netral dan kompeten dalam menangani deadlock ini. Saya dan pihak lawan harus mampu berpikir obyektif terhadap permasalahan yang kami hadapi. Sebagai mediator, pihak ketiga harus mampu memberikan solusi tengah yang mampu menciptakan win win solution untuk kami. Untuk : 1). Menghadapi seseorang yang tidak memiliki wewenang memutuskan. 2). Penurunan nilai jasa. 3). Jangan pernah member tawaran splitting the difference. 4). Menangani impasse. 5). Menangani stalemate. 6). Menangani deadlock. 7). Mintalah selalu trade-off

b.      Taktik Babak Akhir
Meruncingkan konsesi taktik dimana kita berusaha mempertahankan konsesi kita.
Pada kasus diatas ketika saya berhadapan langsung untuk melakukan negosiasi dengan pihak lawan saya, saya tidak akan dengan mudah menurunkan konsesi sehingga lawan saya dengan mudah bisa menebak kelemahan saya. Ini sesuai dengan taktik babak akhir yaitu bagaimana meruncingkan konsesi. Saya akan berusaha menciptakan suasana dimana pihak lawan saya merasa nyaman dengan saya dan berusaha memposisikan diri saya sehingga dia percaya kepada saya bahwa saya adalah seorang yang mampu menjadi seorang pemecah masalah dalam mengatasi masalah diatas, yaitu : 1). Good guy/bad guy. 2). Nibbling. 3). Bagaimana meruncingkan konsesi. 4). Gambit menarik kembali penawaran.5). Positioning for easy acceptance.

d.Taktik tidak etis
The Decoy adalah Taktik ini bisa saya lakukan untuk memecahkan masalah yang saya contohkan diatas. Sebagai seorang negosiator, saya harus mampu menciptakan isu baru yang mampu mengalihkan isu awal yang menjadi bahasan utma apabila pihak lawan tidak bisa memahami kebutuhan saya. Yaitu:1). The decoy. 2). Red herring.  3). Cherry picking. 4). Deliberate mistake. 5). The default. 6). Escalation. 7). Planted information.
Ilustrasi factual pada taktik awal dalam hal ini adalah : 1) Mintalah lebih dari yang anda harapkan. Jika kita melakukan negosiasi harus melebihi titik dasar 2). Jangan pernah katakana ya terhadap tawaran pertama, artinya janganlah mengambil keputusan pada saat tawaran pertama karena sesuatunya kemungkinan dapat berubah . 3). Melakukan flinch terhadap profosal ini untuk menjatuhkan mental lawan yang seolah-olah terkejut dengan tawarannya. 4). Reluctant seller dan reluctant buyer yaitu menentukan tawaran naik sedikit untuk sipembeli dimana lawan yang kita nego berharap menurunkan harganya 5). Gunakan vise technique yaitu melakukan teknik-teknik yang berlaku umum.
Taktik Babak Tengah dimana unsurnya terdiri dari: 1). Menghadapi seseorang yang tidak memiliki wewenang memutuskan, ini perlu dihindari karena tidak aka nada keputusan yang pasti. 2). Penurunan nilai jasa yaitu minta penurunan nilai untuk dapat mengerti harga yang akan ditetapkan atau diputuskan. 3). Jangan pernah member tawaran splitting the difference. 4). Menangani impasse. 5). Menangani stalemate. 6). Hindari terjadinya Menangani deadlock. 7). Dengan Mintalah selalu trade-off. Dengan memulai meminta yang lebih tinggi dari dari harapan kita akan memberi ruang untuk di negosiasikan dan menghindari dead lock. Namun yang terpenting dari strategi ini adalah menciptakan suasana pihak lawan merasa bahwa ia menang walaupun sebenarnya harga ditawarkan oleh lawan masih diatas harapan kita. Jangan pernah katakan ya pada tawaran pertama atau tawaran balasan dari pihak lawan Kata ”ya” ini secara otomatis memunculkan dua pendapat di pihak lawan bahwa seharusnya bisa lebih baik lagi atau ada sesuatu yang tidak beres.
Cara yang dilakukan adalah dengan menampakkan reasi tergoncang dan terkejut dengan proposal lawan. Dengan demikian pihak lawan akan merasa bahwa apa yang mereka tawarkan lebih tinggi dari harapan kita sehingga mereka akan menurunkan posisi tawarnya. apabila ternyata dari negosiasi pihak lawan merasa nyaman tidak merasa kalah terhadap kita, buat konsensi kecil pada saat-saat terakhir dan selalu berikan ucapan selamat kepada pihak lawan setelah anda selesai bernegosiasi, meskipun menurut anda pihak lawan buruk
Dalam melakukan negosiasi, sabar dan menjadi pendengar yang baik akan menjadi bekal yang berharga untuk menjadi seorang negotiator yang menginginkan hasil negosiasi menang-menang. Hanya menjadi seorang pendengar yang baik dapat mengetahui kebutuhan–kebutuhan pihak lawan yang sesungguhnya dalam sebuah negosiasi.
Teknik babak akhir yaitu :1). Good guy/bad guy disini seolah-olah membuat tawaran serendah mungkin. 2). Lalu diteruskan nibbling. 3). membuat bagaimana meruncingkan konsesi. 4). Lakukan gambit menarik kembali penawaran.5). dan mengatur positioning for easy acceptance.
Taktik tidak etis The Decoy adalah merupakan teknik yang dilakukan dengan :1). The decoy. 2). Red herring.  3). Cherry picking. 4). Deliberate mistake. 5). The default. 6). Escalation. 7). Planted information. Dengan demikian, sejak negosiasi melibatkan lintas negara maka pengetahuan budaya dan bahasa pihak lawan menjadi nilai lebih seorang negosiator.
Selain itu dengan bekal penguasaan teknik dan pengetahuan serta pengalaman bernegosiasi akan membuat seorang negosiator menjadi andal dalam benegosiasi. Kita sadari, untuk mencapai cita-cita tersebut buka pekerjaan yang mudah karena banyak hal yang harus dipelajari dan juga membutuhkan jam terbang yang tinggi. Namun dengan kemauan yang keras disertai dengan motivasi yang tinggi untuk meningkatkan kapabilitas terhadap bidang-bidang yang menjadi tugasnya dan juga pengetahuan terkait dengan kemampuan bernegosiasi yang baik diharapkan akan membawa manfaat yang besar bagi keberhasilan suatu perundingan.
Di sisi lain, koordinasi yang lemah antar instansi terkait yang selama ini dituding sebagai hambatan Indonesia dalam bernegosiasi harus sedikit demi sekit dikikis habis. Sudah saatnya dibentuk tim perunding tetap yang dipilih dari pakar masing-masing instansi yang secara periodik rutin bertemu untuk mereview posisi terbaik bagi Indonesia. Masukan-masukan dari ”stakeholder” (kalangan baik akademisi, pengusaha, petani, KADIN, LSM, asosiasi-asosiasi dan lain-lain) yang diperkirakan akan terkena dampak dari hasil negosiasi, sangat berharga dalam penyusunan posisi Indonesia.
Dengan demikian ke depan, akan dihasilkan tim perunding yang solid untuk menghadapi tantangan meja perundingan baik di tataran bilateral, regional dan multilateral. Yuk kita senantiasa satukan langkah dan pikiran kita untuk berjuang demi hari esok yang lebih baik.

Referensi :
Brooks, W. Speech communication. 2an ed. Dubuque, Brown, 1975.
Cohen, H. You can negotiate anything. Secaucus, Lyle Stuart, 1980.
Fisher, R. and W. Ury. Getting to yes. London, Hutchinson,1983.
Monroe, A, and D. Ehninger. Principles and types of speech. 6th ed. Glenview; Scott, Foresman, 1967.
Nierenberg, G. The Art of negotiating. New York, Simon and Schuster, 1976.
Pinnells, J. Writing: Process and structure. New York Harper, 1988.
United Nations Conference on Trade and Development. Handbook on the acquisition of technology by developing countries. New York, UNCTAD, 1978.
Warschaw, T. Winning by negotiation. New York, McGraw, 1980.
Zunin, L. contact: The first four minutes. London, Franklin, 1972.
Pouliot, Janine S. Eight Steps To Success In Negotiating. ; importance of business negotiating. Nation’s Business. 1999.
Prijosaksono, Aribowo Roy Sembel. Negosiasi. The Indonesia Learning Institute, Indonesia. 1999
Brodow’s, Ed. Ten Tips for Successful Negotiating:. Negotiate With Confidence, PBS, Negotiation Boot Camp. 1996
Bragg, Terry. The Manager as Negotiator: Ten Secrets for Success.2000









Creighton, James L., Jerome Delli Priscoli dan C. Mark Dunning, Keterlibatan Publik dan Resolusi Sengketa - Volume 1: Sebuah Pengalaman Pembaca Sepuluh Tahun di Institut Sumber Daya Air, US Army Engineers Institut Sumber Daya Air, IWR Laporan Penelitian 82 - R-1, edisi asli 1982, dicetak ulang 1998.
Edelman, Lester, Frank Carr, dan James L. Creighton), Mini-Trial, US Army Engineers Institut Sumber Daya Air, Fort Belvoir, Virginia, Resolusi Sengketa Alternatif Seri, Pamflet # 1, 1989.
Lancaster, Charles L., ADR Roundtable, US Army Engineers Institut Sumber Daya Air, IWR Kertas Kerja 90-ADR-WP-1, 1990.
Potapchuk, William R., James H. Laue, dan John S. Murray, Mendapatkan untuk Tabel: Sebuah Panduan untuk Manajer Senior, US Army Engineers Institut Sumber Daya Air, IWR Pamflet 90-ADR-WP-3, 1990.
Carr, Frank; James L. Creighton, dan Charles Lancaster, Non-Binding Arbitrase, US Army Engineers Institut Sumber Daya Air, Fort Belvoir, Virginia, Resolusi Sengketa Alternatif Seri, Pamflet # 2, 1990.
Edelman, Lester, Frank Carr, dan James L. Creighton), Bermitra, US Army Engineers Institut Sumber Daya Air, Fort Belvoir, Virginia, Resolusi Sengketa Alternatif Seri, IWR Pamflet 91-ADR-P-4, 1991.
Podziba, Susan L., Menentukan Apakah atau Tidak Proyek Kecil Mitra, US Army Institute For Engineers Sumber Daya Air, IWR Pamflet 95-ADR-P-6, 1995.
Creighton, James L. dan Jerome Delli Priscoli, Tinjauan Resolusi Sengketa Alternatif: Sebuah Buku Pegangan untuk Manajer Corps, US Army Engineers Institut Sumber Daya Air, IWR Pamflet 96 - ADR-P-5, 1996.
Langton, Stuart, An Organizational Assessment of the US Army Corps of Engineers in regard to Public Involvement Practices and Challenges , US Army Engineers Institute for Water Resources, IWR Working Paper 96-ADR-WP-9, 1996.
Creighton, James L., Jerome Delli Priscoli, C. Mark Dunning, and Donna B. Ayres , Public Involvement and Dispute Resolution – Volume 2: A Reader on the Second Decade of Experience at the Institute for Water Resources, US Army Engineers Institute for Water Resources, IWR Report 98-R-5, 1998.
Creighton, James L., Partnering Guide for Civil Missions , US Army Engineers Institute for Water Resources, IWR Pamphlet 98-ADR-P-7, 1998.
Other Related IWR Documents
Yoe, Charles E. and Kenneth D. Orth, Planning Manual , US Army Engineers Institute for Water Resources, IWR Report 96-R-21, 1996.
Orth, Kenneth D. and Charles E. Yoe, Planning Primer , US Army Engineers Institute for Water Resources, IWR Report 97-R-15, 1997.
IWR Case Study Series:
Susskind, Lawrence, Susan L. Podziba, and Eileen Babbitt, Tenn Tom Constructors, Inc. USACE IWR, IWR Case Study 89-ADR-CS-1, 1989.
Susskind, Lawrence, Susan L. Podziba, and Eileen Babbitt, Granite Construction Company, USACE IWR, IWR Case Study 89-ADR-CS-2, 1989.
Susskind, Lawrence, Susan L. Podziba, and Eileen Babbitt, Olsen Mechanical and Heavy Rigging, Inc., USACE IWR, IWR Case Study 89-ADR-CS-3, 1989.
Susskind, Lawrence, Susan L. Podziba, and Eileen Babbitt, Bechtel National, Inc., USACE IWR, IWR Case Study 89-ADR-CS-4, 1989.
Susskind, Lawrence, Susan L. Podziba, and Eileen Babbitt, Goodyear Tire and Rubber Co., USACE IWR, IWR Case Study 89-ADR-CS-5, 1989.
Moore, Christopher W., Corps of Engineers Uses Mediation to Settle Hydropower Disputes, USACE IWR, IWR Case Study 89-ADR-CS-6, 1991.
Susskind, Lawrence, Eileen Babbitt, and David Hoffer, Brutoco Engineering and Construction, Inc., USACE IWR, IWR Case Study 89-ADR-CS-7, 1989.
Susskind, Lawrence, Eileen Babbitt, and David Hoffer, Bassett Creek Water Management Commission, USACE IWR, IWR Case Study 89-ADR-CS-8, 1989.
Susskind, Lawrence, Eileen Babbitt, and David Hoffer, General Roofing Company, USACE IWR, IWR Case Study 89-ADR-CS-9, 1992.
Podziba, Susan L., Small Projects Partnering: The Drayton Hall Streambank Protection Project, , USACE IWR, IWR Case Study 89-ADR-CS-10, 1994.
Lancaster, Charles L., The J6 Partnering Case Study: J6 Large Rocket Test Facility, USACE IWR, IWR Case Study 89-ADR-CS-11, 1994.
Other Useful Materials
Administrative Conference of the United States, Negotiated Rulemaking Sourcebook , Administrative Conference of the United States, 1990.
Creighton, James L., SYNERGY Citizen Participation/Public Involvement Skills Course , SYNERGY Consultation Services, Palo Alto, CA, first edition 1972. [This course served as the Corps “basic” public participation course for a number of years.]
Creighton, James L., Public Participation in the Planning Process: Executive Seminar Workbook, US Army Engineers Institute for Water Resources, 1976.  
Creighton, James L., Advanced Course: Public Involvement in Water Resources Planning, US Army Engineers Institute for Water Resources, Fort Belvoir, Virginia. 1977.   Revised 1982.  
Creighton, James L., Public Involvement in Corps Regulatory Programs: Participant's Workbook , US Army Engineers Institute for Water Resources, Fort Belvoir, Virginia, 1980.  
Creighton, James L., Public Involvement Manual , US Department of the Interior, (US Government Printing Office:   024-003-00139-2), 1980.
Creighton, James L., The Public Involvement Manual , Abt Books/University Press, Cambridge, Mass., 1981.  
Creighton, James L., Social Impact Assessment: Participant's Workbook , US Army Engineers Institute for Water Resources, Fort Belvoir, Virginia, 1982.
Creighton, James L., ICUZ Community Involvement Manual , US Army Training and Doctrine Command, Fort Monroe, Virginia, 1984.  
Creighton, James L., Public Involvement Guide , Bonneville Power Administration, US   Department of Energy, Portland, Oregon, 1985.  
Creighton, James L., Managing Conflict in Public Involvement Settings: Participant's Workbook, Creighton & Creighton, Los Gatos, CA, 1985. Training course prepared for the Bonneville Power Administration.
Creighton, James L., John AS McGlennon, and Peter Schneider, Building Consensus through Participation and Negotiation, Edison Electric Institute, Washington DC, 1986.
Creighton, James L., Involving Citizens in Community Decision Making , National Civic League: Program for Community Problem Solving, 1 st Edition 1992, 2 nd edition 2001.
Creighton, James L. and Lorenz Aggens ), Environmental Managers' Handbook on Public Involvement, US Army Engineers Institute for Water Resources, Fort Belvoir, Virginia, unpublished, 1994.
Creighton, James L., Building a Public Involvement Strategy for the North Pacific Division of the US Army Corps of Engineers , a report to the North Pacific Division, US Army Corps of Engineers, Portland, OR, 106 pgs. 1994.
Creighton, James L. (written with an EPA stakeholder advisory group) Project XL Stakeholder Involvement: A Guide for Project Sponsors and Stakeholders, US Environmental Protection Agency, 1999, EPA 100-F-99-001, March 1999 [http://www.epa.gov/ProjectXL].
Creighton, James L., How to Design a Public Participation Program , Office of Intergovernmental and Public Accountability, US Department of Energy (EM-22), June 1999 [http://www.em.doe.gov/ftplink/em22/doeguide.pdf].
Creighton, James L., Managing Public Participation , US Department of Energy, 1999. Training course conducted throughout the DOE complex nationally.
Creighton, James L., Communicating With the Public , US Department of Energy, 1999. Training course conducted throughout the DOE complex nationally.
Grey, Barbara, Collaborating: Finding Common Ground for Multiparty Problems , Jossey-Bass Publishers, 1991.
Herrman, Margaret S., Resolving Conflict: Strategies for Local Government , International City/County Management Association, 1994.
Moore, Christopher W., Natural Resource Conflict Management , ROMCOE, Center for Moore, Christopher W., and Jerome Delli Priscoli, The Executive Seminar on Alternative Dispute Resolution (ADR) Procedures , US Army Engineers Institute for Water Resources, 1989.
Moore, Christopher W., The Mediation Process: Practical Strategies for Resolving Conflict , Jossey-Bass Publishers, 1986.
Sanoff, Henry, Community Participation Methods in Design and Planning , John Wiley & Sons, 2000.
Susskind, Lawrence, Sarah McKearnan, and Jennifer Thomas-Larmer, The Consensus Building Handbook: A Comprehensive Guide to Reaching Agreement, Sage Publications, 1999.
Susskind, Lawrence and Ole Amundsen. Mashiro Matsuura, Marshall Kaplan, and David Lampe, Using Assisted Negotiation to Settle Land Use Disputes: A Guidebook for Public Officials , Island Press, 2000.