Sabtu, 26 Februari 2011

TEORI DAN MODEL KOMUNIKASI ORGANISASI


Penjelasan Teori
      Teori adalah abstraksi dari realitas.
      Teori terdiri dari sekumpulan prinsip dan defenisi yang secara konseptual mengorganisasikan aspek-aspek dunia empiris secara sistematis.
      Teori terdiri dari asumsi-asumsi, proposisi-proposisi, dan aksioma-aksioma dasar yang saling berkaitan.
      Teori terdiri dari teorema-teorema yakni generalisasi-generalisasi yang diterima/terbukti secara empiris.
Dari unsur di atas dapat disimpulkan bahwa teori pada dasarnya merupakan explanation/penjelasan atau konseptualisasi dan penjelasan logis dan empirik tentang suatu fenomena.

Teori Komunikasi Organisasi
        Komunikasi Organisasi adalah Pengiriman dan penerimaan pesan dalam organisasi yang kompleks. (Redding dan Sanborn).
        Komunikasi Organisasi adalah arus informasi, pertukaran informasi dan pemindahan arti dalam satu oraganisasi.(Katz dan Kahn)
        Jadi Komunikasi oraganisasi adalah proses pertukaran informasi, baik  komunikasi internal maupun komunikasi eksternal dalam organisasi.
        Greenbaum (1971,1971), Orgazational Communication as including the formal and informal communication flows within the organization.
        Witkin and Stephen, Organizational Communication system as “those interdependencies and interactions among and within sub systems, through the act of communication, which serve the purpose of the communication
        Komunikasi Organisasi adalah komunikasi antar manusia (human communication) yang terjadi dalam konteks organisasi. Atau meminjam definisi dari Goldhaber, komunikasi organisasi diberi batasan sebagai arus pesan dalam suatu jaringan yang sifat hubungannya saling bergantung satu sama lain (The flaw of messages within a network of interdependent relationship)
        Rumusan tentang oraganisasi menyangkut tiga aspek, yaitu :
1.         Organisasi sebagai suatu sistem
2.         Terdapat koordinasi aktivitas
3.         Mencapai tujuan bersama.

Model – Model Komunikasi
The Evolution of Communication Theory
(Arietotelian View (385 – 322 B.C.)
1.    Origins of Communication Theory  :   Early Greece
2.    The  Twentieth Century :
a.  Lasswells’s View Of Communication (Lasswell’s Model : 1940s,1950s and 1960s)
b.  Shannon and Weaver Formula (1949)
          Shannon and Weaver’s ‘mathematical model’ describes communication as a linear,   
          one-way process.
c.  Schramm’s Model
d.   Katz and Lazarsfeld’s Model
3. Westley and Maclean’s Model
4. Dance’s Model
5. Watzlawick, Beavin, and Jackson’s Model
6. Thayer’s Model
7. Communication Theory in the Twenty-First Century
     DeVito’s Model
     Communication Model
     Channel
         Reflextion on the Evolution 0f Communication Theory
     One-Way Transfer of Information

Berbagai-bagai model dikemukakan di atas, tapi menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss dalam buku Human Communication menguraikan ada tiga model yang sering digunakan dalam komunikasi organisasi, yaitu komunikasi linear, komunikasi interaksional, dan komunikasi transaksional.

Manfaat model ini adalah :
1. Melukiskan proses komunikasi
2. Menunjukkan hubungan secara visual
3. Membantu dalam menemukan kerangka teori.

            Dari gambaran manfaat model inilah maka diketahui bahwa proses  komunikasi dalam organisasi dapat dilihat secara visual yang meliputi komunikasi vertikal dan horizontal. Menurut  Ronald Adler dan George Rodman dalam buku”Understanding Human Communication”, menguraikan masing-masing fungsi dari kedua arus komunikasi dalam organisasi tersebut, yaitu : Downward Communication (Komunikasi dari atas ke bawah) dan Upward Communication (Komunikasi dari bawah ke atas), serta Horizontal Communication (komunikasi berlangsung antara karyawan yang sejajar atau bagian yang memiliki kedudukan yang sama).

Sebagaimana pokok bahasan kali ini adalah sebagai bertikut:
Teori dan Model Komunikasi Organisasi
a.         Pendekatan struktur dan fungsi
b.        Pendekatan Human Relation
c.         Pendekatan Perorganisasian
d.        Pendekatan Budaya

Hasil pembahasan :
a.      Pendekatan struktur dan fungsi :
Struktur adalah merupakan susunan dari sesuatu yang beraturan, dengan demikian dalam pendekatan struktur dan fungsi secara Teori dan model komunikasi organisasi ada beberapa pengertian dan definisi struktur organisasi sebagai berikut :
1.         Organisasi Menurut Stoner adalah suatu pola hubungan-hubungan yang melalui mana orang-orang di bawah pengarahan manajer mengejar tujuan bersama.
2.         Menurut James D. Mooney Organisasi adalah bentuk setiap perserikatan    manusia untuk mencapai tujuan bersama.
3.         Menurut Chester I. Bernard Organisasi merupakan suatu sistem aktivitas kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih.
Sementara, struktur dapat diartikan sebagai unsur-unsur, bagian-bagian, unit-unit yang terstruktur atau tersusun secara beraturan. Dengan demikian pengertian Struktur organisasi adalah susunan komponen-komponen (unit-unit kerja) dalam organisasi. Artinya, struktur organisasi menunjukkan adanya pembagian kerja (job descriptions) yang jelas antara bagian/unit-unit yang ada. Kemudian  fungsi-fungsi atau kegiatan-kegiatan yang berbeda-beda tersebut diintegrasikan (dikoordinasikan) untuk mencapai tujuan bersama sebagaimana telah ditentukan sebelumnya. Selain daripada itu struktur organisasi juga menunjukkan adanya spesialisasi-spesialisasi pekerjaan, serta saluran perintah dan penyampaian laporan.
Ada empat elemen dalam struktur organisasi yaitu:
1.        Adanya spesialisasi kegiatan kerja
2.        Adanya standardisasi kegiatan kerja
3.        Adanya koordinasi kegiatan kerja
4.        Besaran seluruh organisasi.

Sedangkan fungsi komunikasi :
Dalam suatu organisasi maka tindak komunikasi yang biasa dilakukan adalah melibatkan empat fungsi (H. Syaiful Rohim, M.Si, Teori Komunikasi, Persfektif, Ragam & Aplikasi, hal-113), yaitu :
1. Fungsi Informatif
              Organisasi dapat dipandang sebagai suatu sistem pemrosesan informasi (informationprocessing System). Maksudnya, seluruh anggota dalam suatu organisasi berharap dapat memperoleh informasi yang lebih banyak, lebih baik, dan tepat waktu.
Informasi yang didapatkan memungkinkan setiap anggota dapat melakukan pekerjaannya secara lebih pasti. Dan, pada prinsipnya informasi sangat dibutuhkan oleh setiap orang yang terlibat dalam oraganisasi, baik kududukannya level bawah atau setingkat manajerial sekalipun. Karena informasi ini sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan-kebijakan setiap unit atau bagian dalam mencapai sasaran ataupun untuk mengatasi suatu konflik yang mungkin timbul dalam melaksanakan pekerjaan. Di samping itu, informasi juga dapat berpengaruh dalam meningkatkan prestasi kerja maupun memotivasi karyawan untuk mencapai keberhasilan individu atau kelompok.
2. Fungsi Regulatif
Fungsi regulatif ini berkaitan dengan peraturan-peraturan yang berlaku dalam suatu organisasi. Pada semua lembaga/organisasi ada dua hal yang berpengaruh terhadap funsgi regulatif ini yakni : Pertama, orang-orang yang berada dalam tataran level manajemen atau yang mempunyai wewenang akan mengendalikan semua informasi yang disampaikan. Di samping itu, mereka juga mempunyai kewenangan untuk memberikan instruksi atau perintah, sehingga dalam struktur organisasi kemungkinan mereka ditempatkan pada lapisan atas (position of outhority) supaya segala perintah-perintah yang disampaikannya dilaksanakan sebagaimana mestinya.
3. Fungsi Persuasif
Dalam mengatur suatu organisasi, kekuasaan dan kewenangan tidak akan selalu membawa hasil sesuai dengan yang diharapkan. Adanya kenyataan ini maka banyak pimpinan yang lebih suka untuk mempersuasif bawahannya daripada memberikan perintah-perintah (Otoriter). Sebab pekerjaan yang dilakukan dengan sukarela atau dengan perasaan senang oleh karyawan akan menghasilkan kepedulian yang lebih besar bila dibandingkan dengan seorang pimpinan yang sering menunjukkan kekuasaannya ataupun power yang dimilikinya.
4. Fungsi Integratif
Setiap organisasi berusaha untuk menyediakan saluran yang memungkinkan karyawan dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik. Ada dua saluran komunikasi yang dapat mewujudkan hal tersebut, yaitu saluran komunikasi formal seperti penerbitan khusus dalam organisasi, misalnya News letters, Buletin, majalah karyawan dll, yang memuat tentang laporan kemajuan organisasi, prestasi karyawan, profil, dan dari,oleh dan untuk karyawan, serta saluran komunikasi yang sifatnya informal seperti perbincangan antar pribadi/konseling, pertandingan olahraga, berdarmawisata dll. Aktivitas komunikasi seperti ini akan menumbuhkan keinganan daripada karyawan/anggota organisasi untuk berpartisipasi lebih besar lagi dalam setiap kegiatan yang ada di organisasi karena telah tercipta ”Self belonging”, rasa ikut memiliki.

b. Pendekatan Human Relation.                  
   
I. Pengertian Human Relation

Hubungan manusiawi adalah terjemahan dari human relation. Ada juga orang yang menerjemahkannya menjadi “hubungan manusia” dan “hubungan antarmanusia”, yang sebenarnya tidak terlalu salah karena yang berhubungan satu sama lain adalah manusia. Hanya saja, di sini sifat hubungan tidak seperti orang berkomunikasi biasa, bukan hanya merupakan penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain, tetapi hubungan antara orang-orang yang berkomunikasi itu mengandung unsur-unsur kejiwaan yang amat mendalam.
Ditinjau dari ilmu komunikasi, hubungan manusiawi itu termasuk ke dalam komunikasi antarpersona (interpersonal communication) sebab berlangsung pada umumnya antara dua orang secara dialogis. Dikatakan bahwa hubungan manusiawi itu komunikasi karena sifatnya action oriented, mengandung kegiatan untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang.
Komunikasi antar pribadi yang manusiawi berarti komunikasi yang telah memasuki tahap psikologis yang komunikator dan komunikannya saling memahami pikiran, perasaan dan melakukan tindakan bersama. Ini juga berarti bahwa apabila kita hendak menciptakan suatu komunikasi yang penuh dengan keakraban yang didahului oleh pertukaran informasi tentang identitas dan masalah pribadi yang bersifat sosial.
Ada dua pengertian hubungan manusiawi, yakni hubungan manusiawi dalam arti luas dan hubungan manusiawi dalam arti sempit.

a.  Hubungan manusiawi dalam arti luas
Hubungan manusiawi dalam arti luas ialah interaksi antara seseorang dengan orang lain dalam segala situasi dan dalam semua bidang kehidupan. Jadi, hubungan manusiawi dilakukan dimana saja: di rumah, di jalan, dalam bis, dalam kereta api, dan sebagainya.
Berhasilnya seseorang dalam melakukan hubungan manusiawi ialah karena ia bersifat manusiawi: ramah, sopan, hormat, menaruh penghargaan, dan lain-lain sikap yang bernilai luhur.
Bahwa manusia harus bersikap demikian sebenarnya bukanlah hal yang luar biasa sebab secara kodratiyah, selain homo sapiens sebagai makhluk berpikir yang membedakannya dnegan hewan, manusia juga merupakan homo socius, makhluk bermasyarakat. Tidak mungkin ia hidup tanpa orang lain. Dan sebagai makhluk sosial, ia harus berusaha menciptakan keserasian dan keselarasan dengan lingkungannya.
Sebagai anggota masyarakat, manusia hidup dalam dua jenis pergaulan yang oleh Ferdinand Tonnies disebut Gemeinschaft dan Gesellschaft. Dalam Gemeinschaft seseorang bergaul dalam suatu kehidupan yang sangat akrab, sedemikian akrabnya sehingga penderitaan atau kebahagiaan yang dialami oleh orang lain dirasakan olehnya seperti penderitaan atau kebahagiaannya sendiri. Kehidupan keluarga atau kehidupan berteman yang sangat akrab termasuk ke dalam Gemeinschaft. Ciri lain dari Gemeinschaft ialah bahwa seorang anggota Gemeinschaft tidak bisa keluar masuk masyarakat itu menurut kemauannya saja. Seorang ayah, umpamanya, walau apapun yang terjadi, tetap ayah dari anak-anaknya. Ia tidak bisa membebaskan diri dari status ayah itu. Sifat pergaulan hidup Gemeinschaft ialah statis-pribadi-tak rasional. Dikatakan statis karena pergaulan hidup dalam masyarakat demikian tidak banyak mengalami perubahan. Interaksi yang terjadi dalam suatu rumah tangga setiap hari antara ayah, ibu, dan anak tidak mengalami dinamika. Sifatnya pribadi (personal). Jika terjadi perselisihan, dapat diselesaikan dengan segera. Tidak rasional maksudnya tidak ada tata cara yang mengatur pergaulannya.
Lain sekali dengan pergaulan hidup dalam Gesellschaft, yakni kehidupan dalam suatu organisasi yang sifatnya dinamis, tidak pribadi dan rasional. Dinamis artinya hubunganya dengan orang banyak bergantian. Tidak pribadi artinya tidak akrab sehingga jika terjadi benturan psikologis, tidak mudah menyelesaikannya. Rasional artinya ada aturan-aturan ketat yang mengikat. Dalam Gesellschaft orang bergaul berdasarkan perhitungan untung rugi. Seseorang baru memasuki pergaulan hidup Gesellschaft apabila diperkirakan ada keuntungan baginya. Ia juga bebas masuk dan keluar dari Gesellschaft sesuai dengan ada tidaknya pamrih padanya.
Akan tetapi pergaulan hidup seperti yang dikemukakan Ferdinand Tonnies itu sebenarnya hanyalah tipe-tipe ideal. Pada kenyataannya tipe-tipe ekstrem 100% tidaklah mutlak ada, yang ada hanyalah tekanan atau titik berat pada salah satu dari jenis pergaulan hidup itu. Artinya: jika titik beratnya rasio, dinamakan Gesellschaft; jika titik beratnya perasaan, dinamakan Gemeinschaft. Dalam Gesellschaft tujuan pergaulan lebih banyak ditekankan pada keuntungan; dalam Gemeinschaft untuk mendapat hubungan kekeluargaan atau kekerabatan. Kalaupun dalam Gemeinschaft ada keuntungan yang dapat diperoleh, keuntungan itu datang dengan sendirinya; dalam Gesellschaft datang karena kewajiban yang dipaksakan dari luar. Dalam Gemeinschaft kewajiban datang bukan dari luar, melainkan dari dalam diri pribadi. Apa pun sifat pergaulan itu, apakah Gemeinschaft atau Gesellschaft, tujuan hubungan manusiawi adalah pemusatan hati masing-masing yang terlibat dalam kegiatan itu.
Eduard C. Lindeman dalam bukunya yang terkenal, The Democratic Way of Life, mengatakan bahwa “Hubungan manusiawi adalah komunikasi antar persona (interpersonal communication) untuk membuat orang lain mengerti dan menaruh simpati”. Orang akan menaruh simpati jika dirinya dihargai. Dalam hubungan ini William James, seorang ahli ilmu jiwa dari Harvard University, Amerika Serikat mengatakan bahwa “tiap manusia dalam hati kecilnya ingin dihormati dan dihargai”.
Dalam pada itu, Keith Davis mengatakan bahwa human dignity (harga diri) merupakan etika dan dasar moral bagi hubungan manusiawi. Hasil penyelidikan mengenai personal wants (keinginan pribadi) telah menunjukkan bahwa tiap manusia ingin diperlakukan sebagai human being (manusia) dengan respect (kehormatan) dan dignity (penghargaan).
Agar seseorang merasa bahwa dirinya dihargai sebagai layaknya manusia dapat ditunjukkan dengan berbagai cara bergantung pada situasi, kondisi, dan tujuan dilakukannya human relations itu.

b.  Hubungan manusiawi dalam arti sempit
Hubungan manusiawi dalam arti sempit adalah juga interaksi antara seseorang dengan orang lain. Akan tetapi interaksi di sini hanyalah dalam situasi kerja dan dalam organisasi kekaryaan (work organization).
“Dipandang dari sudut pemimpin yang bertanggung jawab untuk memimpin suatu kelompok, hubungan manusiawi adalah interaksi orang-orang yang menuju satu situasi kerja yang memotivasikan mereka untuk bekerja sama secara produktif dengan perasaan puas, baik ekonomis, psikologis, maupun sosial.” Demikian kata Keith Davis dalam bukunya, Human Relations at Work. Dikatakan oleh Keith Davis selanjutnya bahwa hubungan manusiawi adalah seni dan ilmu pengetahuan terapan (applied arts and science).
Jelas bahwa ciri khas hubungan manusiawi adalah interaksi atau komunikasi antarpersona yang sifatnya manusiawi. Karena manusia yang berinteraksi itu terdiri atas jasmani dan rohani yang berakal dan berbudi yang selain merupakan makhluk pribadi juga makhluk sosial maka dalam melakukan hubungan manusiawi kita harus memperhitungkan diri manusia dengan segala kompleksitasnya itu.
Seperti telah disinggung di muka, dalam organisasi kekaryaan manusia merupakan strategic component karena mempunyai peranan yang sangat penting. Organisasi kekaryaan dewasa ini cenderung menganut filsafat yang people centered yakni bahwa dalam organisasi kekaryaan manusia bukan pelaksanaan atau alat produksi belaka melainkan merupakan faktor pendorong dalam mencapai tujuan.
Hubungan manusiawi dalam organisasi kekaryaan inilah yang banyak dipelajari, diteliti dan dipraktekkan di negara-negara yang sudah maju sebab faktor manusia ini sangat berpengaruh pada usaha mencapai tujuan organisasi: dapat memperlancar, dapat juga menghambat. Dengan hubungan manusiawi, para pemimpin organisasi dapat memecahkan masalah yang timbul dalam situasi kerja karena faktor manusia, bahkan selanjutnya dapat menggairahkan dan menggerakkannya ke arah yang lebih produktif.
Sejak awal kehidupan, manusia diciptakan untuk hidup bersama. Setiap manusia mempunyai ayah dan ibu yang melahirkan, memelihara dan membesarkannya. Karena setiap manusia mempunyai ayah dan ibu maka dia pasti mempunyai kakek dan nenek, paman dan bibi serta saudara dan saudari. Hubungan kekeluargaan itu dapat diperluas ke lingkungan di luar kerabat keluarga, misal hubungan dengan lingkungan tetangga, sekolah dan organisasi sosial.


Beberapa teori hubungan antarmanusia:
1. Teori Self Disclosure
Pencetus teori ini adalah Joseph Luft. Sering disebut teori “Johari Window” atau Jendela Johari. Para pakar psikologi kepribadian menganggap bahwa model teoritis yang dia ciptakan merupakan dasar untuk menjelaskan dan memahami interaksi antarpribadi secara manusiawi. Garis besar model teoritis Jendela Johari dapat dilihat dalam gambar berikut ini.

Saya tahu
Saya tidak tahu
Orang lain tahu
1. TERBUKA
2. BUTA
Orang lain tidak tahu
3. TERSEMBUNYI
4. TIDAK KENAL

Jendela Johari terdiri dari 4 bingkai. Masing-masing bingkai berfungsi menjelaskan bagaimana tiap individu bisa memahami diri sendiri maka dia bisa mengendalikan sikap dan tingkah lakunya di saat berhubungan dengan orang lain.
Bingkai 1, menunjukkan orang yang terbuka terhadap orang lain. Keterbukaan itu disebabkan dua pihak (saya dan orang lain) sama-sama mengetahui informasi, perilaku, sikap, perasaan, keinginan, motivasi, gagasan, dan lain-lain. Johari menyebutnya “bidang terbuka”, suatu bingkai yang paling ideal dalam hubungan dan komunikasi antar pribadi.
Bingkai 2, adalah bidang buta. “Orang Buta” merupakan orang yang tidak mengetahui banyak hal tentang dirinya sendiri namun orang lain mengetahui banyak hal tentang dia.
Bingkai 3, disebut “bidang tersembunyi” yang menunjukkan keadaan bahwa pelbagai hal diketahui diri sendiri namun tidak diketahui orang lain.
Bingkai 4, disebut “bidang tidak dikenal” yang menunjukkan keadaan bahwa pelbagai hal tidak diketahui diri sendiri dan orang lain.
Model Jendela Johari dibangun berdasarkan 8 asumsi yang berhubungan dengan perilaku manusia. Asumsi-asumsi itu menjadi landasan berpikir para kaum humanistik.
Asumsi pertama, pendekatan terhadap perilaku manusia harus dilakukan secara holistik. Artinya kalau kita hendak menganalisa perilaku manusia maka analisis itu harus menyeluruh sesuai konteks dan jangan terpenggal-penggal.
Asumsi kedua, apa yang dialami seseorang atau sekelompok orang hendaklah dipahami melalui persepsi dan perasaan tertentu meskipun pandangan itu subjektif.
Asumsi ketiga, perilaku manusia lebih sering emosional bukan rasional. Pendekatan humanistik terhadap perilaku sangat menekankan betapa pentingnya hubungan antara faktor emosi dengan perilaku.
Asumsi keempat, setiap individu atau sekelompok orang sering tidak menyadari bahwa tindakan-tindakannya dapat menggambarkan perilaku individu atau kelompok tersebut. Oleh karena itu, para pakar aliran humanistik sering mengemukakan pendapat mereka bahwa setiap individu atau kelompok perlu meningkatkan kesadaran sehingga mereka dapat mempengaruhi dan dipengaruhi orang lain. 
Dalam hubungan manusiawi terjadi proses persepsi. Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli).

  
II.    Faktor-faktor Persepsi Interpersonal dalam Human Relation

Persepsi kita bukan sekedar rekaman peristiwa atau objek. Komputer hanya mengolah input yang dimasukkan pada waktu punching. Bila pada kolom 12 ditulis tujuh, komputer tidak akan mengubahnya menjadi delapan. Tidak begitu persepsi manusia. Pengaruh kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional, dan latar belakang budaya, menentukan interpretasi kita pada sensasi.
Bila objek atau peristiwa di dunia luar kita sebut distal stimuli dan persepsi kita tentang stimuli itu kita sebut percept maka percept tidak selalu sama dengan distal stimuli. Proses subjektif yang secara aktif menafsirkan stimuli disebut Fritz Heider sebagai constructive process. Proses ini meliputi faktor biologis dan sosiopsikologis individu pelaku persepsi.
Pada tahun 1950-an di kalangan psikolog sosial timbul aliran baru (disebut “new look”) yang meneliti pengaruh faktor-faktor sosial seperti pengaruh interpersonal, nilai-nilai kultural dan harapan-harapan yang dipelajari secara sosial, pada persepsi individu, bukan saja terhadap objek-objek mati tetapi juga pada objek-objek sosial.
Lahirlah istilah persepsi sosial yang didefinisikan sebagai “the role of socially generated influences on the basic processes of perception” (McDavid dan Harari, 1968: 173). Akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an fokus penelitian tidak lagi pada faktor-faktor sosial yang mempengaruhi persepsi tetapi pada objek-objek dan peristiwa-peristiwa sosial.
Mereka tidak lagi meneliti bagaimana tanggapan anda pada titik, balok, atau pohon beringin; mereka mempelajari bagaimana tanggapan anda pada istri anda, bos anda di kantor, atau teman anda di fakultas, bagaimana anda mengambil kesimpulan tentang karakteristik orang lain atau bagaimana anda mengambil kesimpulan tentang karakteristik orang lain atau bagaimana anda menjelaskan mengapa tokoh TV itu bunuh diri. Persepsi sosial kini memperoleh konotasi baru sebagai proses mempersepsi objek-objek dan peristiwa-peristiwa sosial.
Untuk tidak mengaburkan istilah dan untuk menggarisbawahi manusia (dan bukan benda) sebagai objek persepsi, di sini kita menggunakan istilah persepsi interpersonal. Persepsi pada objek selain manusia kita sebut saja persepsi objek.
Manakah yang lebih cermat, persepsi objek atau persepsi interpersonal? Mana yang lebih besar kemungkinan salahnya? Mana yang lebih sulit? Kumpulkan sepuluh orang mahasiswa di ruangan kelas, suruh mereka mengamati papan tulis di muka, mintakan persepsi mereka tentang papan tulis itu. Besar dugaan kita persepsi mereka tidak begitu berbeda. Sekarang hadirkan di muka mereka Sarah Azhari, suruh mereka mengamatinya (mana tahan!) dan mintakan mereka memberikan komentar tentang Sarah Azhari, terangkan sifat-sifatnya. Besar dugaan kita, persepsi mereka akan sangat beragam. Mengapa?
Ada empat perbedaan antara persepsi objek dengan persepsi interpersonal. Pertama, pada persepsi objek, stimuli ditangkap oleh alat indera kita melalui benda-benda fisik: gelombang, cahaya, gelombang suara, temperatur dan sebagainya; pada persepsi interpersonal, stimuli mungkin sampai kepada kita melalui lambang-lambang verbal atau grafis yang disampaikan pihak ketiga. Sebelum berjumpa dengan Sarah Azhari, kita pernah melihatnya di layar film atau televisi, mendengar tentang dia dari surat kabar, majalah, atau desas-desus. Adanya pihak ketiga yang menjadi mediasi stimuli, mengurangi kecermatan persepsi kita.
Kedua, bila kita menanggapi objek, kita hanya menanggapi sifat-sifat luar objek itu; kita tidak meneliti sifat-sifat batiniah objek itu. Ketika kita melihat papan tulis, kita tidak pernah mempersoalkan bagaimana perasaannya ketika kita amati. Pada persepsi interpersonal, kita mencoba memahami apa yang tidak tampak pada alat indera kita. Kita tidak hanya melihat perilakunya, kita juga melihat mengapa ia berperilaku seperti itu.
Kita mencoba memahami bukan saja tindakan tetapi juga motif tindakan itu. Dengan demikian stimuli kita menjadi sangat kompleks. Kita tidak akan mampu “menangkap” seluruh sifat orang lain dan berbagai dimensi perilakunya. Kita cenderung memilih stimuli tertentu saja. Ini jelas membuat persepsi interpersonal lebih sulit, ketimbang persepsi objek.
Ketiga, ketika kita mempersepsi objek, objek tidak bereaksi kepada kita; kita pun tidak memberikan reaksi emosional padanya. Perasaan anda dingin saja ketika anda memandang papan tulis; tetapi sedingin itu jugakah ketika anda memandang Sarah Azhari? Apakah Sarah Azhari juga akan diam saja ketika Anda memandangnya tidak berkedip? Dalam persepsi interpersonal faktor-faktor personal anda, dan karakteristik orang yang ditanggapi serta hubungan anda dengan orang tersebut menyebabkan persepsi interpersonal sangat cenderung untuk keliru. Lagipula kita sukar menemukan kriteria yang dapat menentukan persepsi siapa yang keliru: persepsi anda atau persepsi saya.
Keempat objek relatif tetap, manusia berubah-ubah. Papan tulis yang anda lihat minggu yang lalu tidak berbeda dengan papan tulis yang kita lihat hari ini. Mungkin tulisan pada papan tulis itu sudah berubah, mungkin sobekan kayu di sudut sudah hilang tetapi secara keseluruhan papan tulis itu tidak berubah. Manusia selalu berubah. Anda hari ini bukan anda yang kemarin, bukan anda esok hari. Kemarin anda ceria karena baru menerima kredit mahasiswa Indonesia. Hari ini sedih karena sepeda motor anda ditabrak becak. Esok anda gembira lagi karena ujian anda lulus. Anda di fakultas bukan anda di rumah bukan anda di masjid. Perubahan ini kalau tidak membingungkan kita, akan memberikan informasi yang salah tentang orang lain. Persepsi interpersonal menjadi mudah salah.
Anehnya betapapun sulitnya kita mempersepsi orang lain, kita toh berhasil juga memahami orang lain. Buktinya kita masih dapat bergaul dengan mereka, masih dapat berkomunikasi dengan mereka dan masih dapat menduga perilaku mereka. Dari mana kita memperoleh petunjuk tentang orang lain? Apa yang menyebabkan kesimpulan kita bahwa X bersifat Y? Kita sebenarnya adalah Sherlock Holmes setiap hari. Kita menduga karakteristik orang lain dari petunjuk-petunjuk eksternal (external cues) yang dapat diamati.
Petunjuk-petunjuk itu adalah deskripsi verbal dari pihak ketiga, petunjuk proksemik, kinesik, wajah, paralinguistik dan artifaktual. Selain yang pertama, yang lainnya boleh disebut sebagai petunjuk non verbal (non verbal cues). Semuanya kita sebut faktor-faktor situasional.

Pengaruh Faktor-faktor Situasional pada Persepsi Interpersonal Deskripsi Verbal
Eksperimen Solomon E. Asch tentang bagaimana rangkaian kata sifat menentukan persepsi orang. Bila saya kisahkan pada anda bahwa calon istri anda cerdas, rajin, lincah, kritis, kepala bantu dan dengki, anda akan membayangkan dia sebagai orang yang “bahagia”, “humoris”, dan “mudah bergaul”. Tetapi bila rangkaian itu dibalik, dimulai dari dengki, kepala batu, dan seterusnya, kesan anda tentang dia berubah. Menurut Solomon E. Asch, kata yang disebut pertama akan mengarahkan penilaian selanjutnya. Kata “kritis” pada rangkaian pertama mempunyai konotasi positif; pada rangkaian kedua, negatif. Pengaruh kata pertama ini kemudian terkenal sebagai primacy effect.
Pada eksperimen yang lain, Asch membagikan daftar A dan B di bawah ini kepada dua kelompok.
Daftar Stimuli A                                    Daftar Stimuli B
     Cerdas                                                             cerdas
     Terampil                                                          Terampil                                  
     Rajin                                                             Rajin
     Hangat                                                           Dingin
     Teguh                                                             Teguh
     Praktis                                                     Praktis
     Waspada                                                          Waspada                                             
Kedua daftar ini sama, kecuali yang keempat. Tanggapan terhadap A positif; orang yang memiliki sifat-sifat itu dianggap murah hati, bahagia, dan berkelakuan baik. Tanggapan terhadap B negatif; orang yang mempunyai sifat-sifat B dianggap pelit, tidak bahagia dan kurang populer. Kata-kata hangat-dingin telah mewarnai seluruh kesan kita. Kata-kata ini merupakan central organizing trait. Menurut teori ini, ada kata-kata tertentu yang mengarahkan seluruh penilaian kita tentang orang lain.
Walaupun teori Asch ini menarik untuk melukiskan bagaimana cara orang menyampaikan berita tentang orang lain mempengaruhi persepsi kita tentang orang itu, dalam kenyataan kita jarang melakukannya. Jarang kita melukiskan orang dengan menyebut rangkaian kata sifat. Kita biasanya mulai pada central trait, menjelaskan sifat itu secara terperinci, baru melanjutkan pada sifat-sifat yang lain (shaver, 1997: 107).

Petunjuk Proksemik
Proksemik adalah studi tentang penggunaan jarak dalam menyampaikan pesan; istilah ini dilahirkan oleh antropolog interkultural Edward T. Hall. Hall membagi jarak ke dalam empat corak: jarak publik, jarak sosial, jarak personal, dan jarak akrab. Jarak yang dibuat individu dalam hubungannya dengan orang lain menunjukkan tingkat keakraban di antara mereka. Bayangkan jarak yang anda buat ketika berbicara dengan profesor anda, dan bandingkan jarak itu dengan jarak yang anda buat (kalau ada) antara anda dengan orang yang paling akrab dengan anda. Betulkah kita pun mempersepsi orang lain dengan melihat jaraknya dengan kita? Bagaimana penanggap menyimpulkan sesuatu dari jarak interpersonal?
Pertama, seperti Edward T. Hall, kita juga menyimpulkan keakraban seseorang dengan orang lain dari jarak mereka, seperti yang kita amati. Bila kawan kita selalu membuat jarak lebar dengan istrinya, kita menduga mereka bukan pasangan yang bahagia. Bila pada saat yang sama ia kelihatan sering duduk berdekatan dengan wanita lain, kita menyimpulkan hubungannya dengan wanita itu lebih daripada sahabat sekantor. Walaupun kawan kita berusaha meyakinkan kita akan kecintaan pada istrinya, kita telah mempercayai percept yang kita peroleh secara proksemik yakni dengan memperhatikan jarak.
Kedua, erat kaitannya dengan yang pertama, kita menanggapi sifat-sifat orang lain dari caranya orang itu membuat jarak dengan kita. Misalkan anda berkunjung ke kantor bapak Hebat. Ia mempersilakan anda duduk pada kursi yang tersedia, sementara pak Hebat duduk jauh dari anda bahkan dihalangi oleh meja lebar. Anda akan menanggapi bapak Hebat sebagai orang yang tidak begitu terbuka. Anda akan berhati-hati berbicara dengan dia. Tetapi bila ia turun dari kursinya, menarik tangan anda dan mengajak duduk berdekatan pada sofa, anda menafsirkannya sebagai orang yang akrab, ramah, dan terbuka.
Ketiga, caranya orang mengatur ruang mempengaruhi persepsi kita tentang orang itu. Profesor yang selalu membuka pintu kantornya lebar-lebar akan ditanggapi lebih terbuka daripada profesor yang selalu mengunci kantornya. Orang yang memilih duduk di muka akan kita tanggapi sebagai orang yang berstatus tinggi, dan orang yang memilih duduk di kursi paling belakang akan kita anggap sebagai orang yang menghindari partisipasi, tidak berani atau mungkin berjiwa rendah hati.
Jadi, kita menganggap orang lain berdasarkan jarak yang dibuat orang itu dengan orang lain lagi, atau jarak yang dibuat orang itu dengan kita. Kita juga dapat menetapkan persepsi kita dengan melihat caranya orang itu mengatur ruang.

Petunjuk Kinesik (Kinesic Cues)
Suatu hari anda menerima tamu yang ingin berbicara dengan anda. Anda melihat tamu itu masuk dengan membungkuk, berjalan tertatih-tatih kemudian duduk dengan tidak berani menatap anda. Bicaranya terpatah-patah; kedua telapak tangannya saling meremas dan diletakkan di atas kedua paha yang dirapatkan benar. Bagaimana pendapat anda tentang tamu itu? Orang besarkah atau orang kecil? Takut pada anda atau benci? Percaya pada diri atau rendah diri? Anda sudah pasti mempunyai persepsi khusus tentang orang itu. Persepsi itu didasarkan pada gerakan orang itu, pada petunjuk kinesik.
Dalam bahasa Indonesia kita mempunyai beberapa ungkapan yang mencerminkan persepsi kita tentang orang lain dari gerakan tubuhnya. Ungkapan-ungkapan itu dengan persepsinya antara lain:
Membusungkan dada (sombong)
Menundukkan kepala (merendah)
Berdiri tegak (berani)
Bertopang dagu (sedih)
Menadahkan tangan (bermohon)

Beberapa penelitian telah membuktikan persepsi yang cermat tentang sifat-sifat orang dari pengamatan petunjuk kinesik. Suatu eksperimen yang menggunakan gambar-gambar kerangka (“stick figures”) dengan berbagai gerak, diperlihatkan pada subjek eksperimen Persepsi mereka tentang perasaan, sifat dan sikap gambar itu hampir seragam. Ekman menyuruh subjek memasangkan foto gerakan tubuh orang yang diwawancara dengan rekaman wawancaranya (dalam bentuk tulisan).
Subjek ternyata dapat melakukannya dengan kecermatan yang sukar diduga sebagai hanya kebetulan saja (Secord dan Backman, 1964: 62). Begitu pentingnya petunjuk kinesik sehingga bila petunjuk-petunjuk lain (seperti ucapan) bertentangan dengan petunjuk kinesik, orang mempercayai yang terakhir. Mengapa? Karena petunjuk kinesik adalah yang paling sukar untuk dikendalikan secara sadar oleh orang yang menjadi stimuli (selanjutnya disebut persona stimuli, orang yang dipersepsi; lawan dari persona penanggap).

Petunjuk Wajah
Seperti petunjuk kinesik, petunjuk wajah pun menimbulkan persepsi yang dapat diandalkan. Cicero, tokoh retorika Romawi berkata, “Wajah adalah cerminan jiwa.” Shakespeare, penyair Inggris menulis dalam Macbeth, “Your face.....is a book where men may read strange maters.” Kata-kata sastra ini telah diteliti para psikolog sosial. Ekman (1975) merancang serangkaian foto yang mengungkapkan berbagai emosi. Foto-foto itu kemudian diperlihatkan kepada subjek-subjek berbagai bangsa (Amerika Serikat, Brazil, Chili, Argentina, Jepang).
Penelitian Ekman dikritik karena ada kemungkinan keseragaman persepsi wajah ini disebabkan kontak kultural bangsa-bangsa tersebut. Kontak ini berlangsung melalui televisi, film, majalah atau surat kabar. Ekman dan kawan-kawannya melakukan penelitian lagi pada kelompok-kelompok Irian yang terasing. Mereka tidak mengalami kontak budaya. Respon mereka pun hampir sama dengan pada mereka yang mengalami kontak budaya.
Di antara berbagai petunjuk non verbal, petunjuk fasial adalah yang paling penting dalam mengenali perasaan persona stimuli. Ahli komunikasi non verbal, Dale G. Leathers (1976: 21) menulis: “Wajah sudah lama menjadi sumber informasi dalam komunikasi interpersonal. Inilah alat yang sangat penting dalam menyampaikan makna. Dalam beberapa detik ungkapan wajah dapat menggerakkan kita ke puncak keputusasaan. Kita menelaah wajah rekan dan sahabat kita untuk perubahan-perubahan halus dan nuansa makna dan mereka pada gilirannya menelaah kita.”
Walaupun petunjuk facial dapat mengungkapkan emosi, tidak semua orang mempersepsi emosi itu dengan cermat. Ada yang sangat sensitif pada wajah dan ada yang tidak. Sekarang para ahli psikolog sosial sudah menemukan ukuran kecermatan persepsi wajah itu dengan tes yang disebut FMST – facial meaning sensivity test (tes kepekaan makna wajah). Dengan tes ini kepekaan kita menangkap emosi pada wajah orang lain dapat dinilai skornya. Kita tidak menguraikan tes ini di sini; pembaca dapat mempelajarinya pada Leathers (1976).

Petunjuk Paralingusitik
Yang dimaksud dengan paralinguistik ialah cara bagaimana orang mengucapkan lambang-lambang verbal. Jadi jika petunjuk verbal menunjukkan apa yang diucapkan, petunjuk paralinguistik mencerminkan bagaimana mengucapkannya. Ini meliputi tinggi rendahnya suara, tempo bicara, gaya verbal (dialek), dan interaksi (perilaku ketika melakukan komunikasi atau obrolan). Suara keras akan dipersepsi marah atau menunjukkan hal yang sangat penting. Tempo bicara yang lambat, ragu-ragu, dan tersendat-sendat, akan dipahami sebagai ungkapan rendah diri atau kebodohan.
Dialek yang digunakan menentukan persepsi juga. Bayangkan reaksi anda pada kesan Batak, kawan anda. Dari dialeknya, kita menentukan persepsi kita tentang dia. Mungkin segala sifat orang Batak (yang digeneralisasi) akan diterapkan pada kawan anda. Perilakunya dalam berbicara dengan orang lain seperti interupsi, memonopoli pembicaraan, mengangguk-angguk, memberikan petunjuk paralinguistik tentang karakteristik persona stimuli.
Bila perilaku komunikasi (cara berbicara) dapat memberi petunjuk tentang kepribadian persona stimuli, suara mengungkapkan keadaan emosional. Anak kecil pun sudah mengetahui bahwa suara yang lembut berarti kasih sayang; suara meninggi dan keras, kemarahan; suara memanjang dan kecil, penyesalan.


Petunjuk Artifaktual
Petunjuk Artifaktual meliputi segala macam penampilan (appearance) sejak potongan tubuh, kosmetik yang dipakai, baju, tas, pangkat, badge, dan atribut-atribut lainnya.Tentang potongan tubuh, Shakespeare pernah menulis dalam Julius Caesar.
Let me have men about me that are fat;
Sleek-headed men and such as sleep o’nights;
Yon Cassius has a lean and hungry look;
He thinks too much; such men are dangerous.
Betulkah orang kurus tukang berpikir dan berbahaya? Itu hanya persepsi Shakespeare. Seperti Shakespeare, kita pun cenderung membentuk kesan tentang orang lain dari bentuk tubuhnya.
Anda mungkin pernah berjumpa dengan seseorang, lalu anda pikir orang itu cerdas, periang, atau seksi. Atau tiba-tiba anda merasa benci pada orang itu, tanpa menyadari sebab-sebabnya. Ini besar kemungkinan terjadi karena reaksi anda terhadap penampilannya walaupun terjadi lewat bawah sadar anda. Umumnya kita mempunyai stereotip, gambaran kaku yang tidak berubah-ubah serta tidak benar tentang penampilan tertentu. Apalagi kalau stereotip ini diperkokoh dengan pengalaman-pengalaman masa lalu.
Karena Dion, Ellen Berscheid, dan Elaine Walster (1972:285-290) meneliti pengaruh stereotip ini: Apakah penampilan menarik atau tidak menarik menimbulkan asumsi-asumsi tertentu? Apakah orang yang cantik cenderung dianggap berperilaku baik atas dasar kemungkinan sukses dalam hidupnya? Mereka memperlihatkan tiga buah foto kepada para mahasiswa undergraduate. Foto yang pertama menunjukkan orang yang cantik; kedua, rata-rata; dan ketiga, berwajah jelek. Mahasiswa diharuskan memberikan penilaian tentang kepribadian orang dalam foto itu dengan mengisi angket ukuran kepribadian.
Kemudian mereka harus memperkirakan kemungkinan perkawinannya dan keberhasilan dalam kariernya. Subjek-subjek eksperimen terbukti menilai orang cantik lebih bahagia dalam pernikahannya dan lebih mungkin berhasil memperoleh pekerjaan yang baik ketimbang rekan-rekannya yang berwajah jelek. Bila kita mengetahui bahwa seseorang memiliki satu sifat (misalnya, cantik atau jelek), kita beranggapan bahwa ia memiliki sifat-sifat tertentu (misalnya periang atau penyedih); ini disebut halo effect. Bila kita sudah menyenangi seseorang maka kita cenderung melihat sifat-sifat baik pada orang itu dan sebaliknya.
Sampai di sini, kita melihat bagaimana deskripsi verbal orang lain, petunjuk-petunjuk proksemik, kinesik, wajah paralinguistik dan artifaktual mengarahkan persepsi kita tentang persona stimuli. Perlu juga dengan tergesa-gesa kita tambahkan di sini bahwa petunjuk verbal bukan tidak berperan. Yang dimaksud dengan petunjuk verbal ialah isi komunikasi persona stimuli bukan cara. Misalnya orang yang menggunakan pilihan kata-kata yang tepat, mengorganisasikan pesan secara sistematis, mengungkapkan pikiran yang dalam dan komprehensif akan menimbulkan kesan bahwa orang itu cerdas dan terpelajar.
Secara keseluruhan kita menangkap kesan tentang persona stimuli dari petunjuk-petunjuk verbal dan non verbal. Apakah persepsi kita cermat atau tidak? Mengapa seorang persona stimuli menimbulkan kesan yang berlainan bagi orang-orang yang berbeda? Di sini berperan faktor-faktor personal dari penanggap stimuli (stimulus perceiver) dari kita yang melakukan persepsi.

Pengaruh Faktor-faktor Personal pada Persepsi Interpersonal 
Di sini perhatian kita akan dipusatkan pada faktor-faktor personal yang secara langsung mempengaruhi kecermatan persepsi, bukan proses persepsi itu sendiri. Bila ada ciri-ciri khusus penanggap yang cermat, tentu kita tertarik untuk meningkatkan kemampuan persepsi kita. Persepsi interpersonal besar pengaruhnya bukan saja pada komunikasi interpersonal tetapi juga pada hubungan interpersonal. Karena itu, kecermatan persepsi interpersonal akan sangat berguna untuk meningkatkan kualitas komunikasi interpersonal kita.

Pengalaman
Dale G. Leathers telah menggunakan FMST untuk melatih para mahasiswa, pengusaha, dan kelompok eksekutif dalam meningkatkan kemampuan menyandi (encode) dan menyandi balik (decode) petunjuk wajah; dua istilah komunikasi ini berarti menerjemahkan dan mengungkapkan petunjuk wajah. Latihannya ternyata efektif. Yang sudah dilatih dengan FMST menjadi lebih cermat dalam melakukan persepsi. Hal ini menunjukkan pengalaman mempengaruhi kecermatan persepsi. Pengalaman tidak selalu lewat proses belajar formal. Pengalaman kita bertambah juga melalui rangkaian peristiwa yang pernah kita hadapi. Inilah yang menyebabkan seorang ibu segera melihat hal yang tidak beres pad awajah anaknya atau pada petunjuk kinesik lainnya. Ibu lebih berpengalaman mempersepsi anaknya daripada bapak. Ini juga sebabnya mengapa anda lebih sukar berdusta di depan orang yang paling dekat dengan anda.

Motivasi
Proses konstruktif yang mewarnai persepsi interpersonal sangat banyak melibatkan unsur-unsur motivasi. Upaya untuk mendeteksi pengaruh motivasi sosial terhadap persepsi telah menjadi tanda aliran “New Look” pada tahun 1950-an. Allport (1955) telah menghimpun berbagai penelitian “New Look” dan mengkritiknya. Diantara motivasi yang pernah diteliti antara lain motif biologis, ganjaran dan hukuman, karakteristik kepribadian dan perasaan terancam karena persona stimuli.
Yang terakhir ini disebut perceptual defence (pembelaan perseptual). Bila anda dihadapkan kepada stimuli yang mengancam anda, anda akan bereaksi begitu rupa sehingga mungkin tidak akan menyadari bahwa stimuli itu ada. Di sini berlaku dalil komunikasi: anda hanya mendengar apa yang mau anda dengar, dan anda tidak akan mendengar apa yang tidak ingin anda dengar.
Motif personal lainnya yang mempengaruhi persepsi interpersonal adalah kebutuhan untuk mempercayai dunia yang adil (need to belive in a just world, Lerner, 1965, 1970, 1971, 1974, 1975). Menurut Melvin Lerner, kit aperlu mempercayai bahwa dunia ini diatur secara adil, setiap orang memperoleh apa yang layak diperolehnya. Orang diganjar dan dihukum karena perbuatannya. Bila kita melihat orang sukses, kita cenderung menanggapinya sebagai orang yang memiliki karakteristik baik. Kepada orang yang gagal, kita limpahkan segala dosa. Orang yang celaka kita salahkan karena tidak hati-hati; orang miskin karena malas dan tidak berjiwa wiraswasta. Jelas motif dunia adil ini sering mendistorsi persepsi kita.



Kepribadian
Dalam psikoanalisis dikenal proyeksi, sebagai salah satu cara pertahanan ego. Proyeksi adalah mengeksternalisasikan pengalaman subjektif secara tidak sadar. Orang melemparkan perasaan bersalahnya pada orang lain. Maling teriak maling adalah contoh tipikal dari proyeksi. Pejabat mewah yang getol menganjurkan hidup sederhana dan mengecam kemewahan; koruptor kakap yang aktif memberantas korupsi; om senang yang mengkritik dekadensi moral di kalangan anak muda dan berbagai perilaku kontradiktif adalah contoh-contoh lainnya.
Pada persepsi interpersonal, orang mengenakan pada orang lain sifat-sifat yang ada pada dirinya, yang tidak disenanginya. Sudah jelas orang yang banyak melakukan proyeksi akan tidak cermat menanggapi persona stimuli bahkan mengaburkan gambaran sebenarnya. Sebaliknya, orang yang menerima dirinya apa adanya, orang yang tidak dibebani perasaan bersalah, cenderung menafsirkan ornag lain lebih cermat (Norman, 1953; Omwake, 1954; Baker dan Block, 1957). Begitu pula, orang yang tenang, mudah bergaul dan ramah, cenderung memberikan penilaian positif pada orang lain. Ini disebut leniency effect (Bosson dan Maslow, 1957).
Pada tahun 1950-an, sekelompok peneliti di Universitas California di Berkeley melakukan penelitian intensif tentang kepribadian otoriter atau authoritarian personality (Adorno, Frenkel-Brunswile, Levinson, dan Sanford, 1950). Kepribadian otoriter adalah sindrom kepribadian yang ditandai oleh ketegaran berpegang pada nilai-nilai konvensional, hasrat berkuasa yang tinggi, kekakuan dalam hubungan interpersonal, kecenderungan melemparkan tanggung jawab pada sesuatu di luar dirinya, dan memproyeksikan sebab-sebab dari peristiwa yang tidak menyenangkan pada kekuatan di luar dirinya.
Theodor Newcomb (1961) membuktikan dengan penelitiannya, bahwa orang-orang non-otoriter cenderung lebih cermat menilai orang lain, lebih mampu melihat nuansa dalam perilaku orang lain; sebaliknya orang-orang otoriter cenderung memproyeksikan kelemahan dirinya kepada orang lain, dan menilai orang lain dalam kategori-kategori yang sempit (hitam-putih, jelek-baik, ekstrem-tidak ekstrem, Pancasilais-tidak Pancasilais).
Bila petunjuk-petunjuk verbal dan nonverbal membantu kita melakukan persepsi yang cermat, beberapa faktor personal ternyata mempersulitnya. Persepsi interpersonal menjadi lebih sulit lagi karena persona stimuli bukanlah bendamati yang tidak sadar. Manusia secara sadar berusaha menampilkan dirinya kepada orang lain sebaik mungkin. Inilah yang disebut Erving Goffman sebagai self-presentation (penyajian diri).
Sebelum membicarakan hal ini, marilah kita menengok sebentar bagaimana proses persepsi interpersonal itu berlangsung. Proses ini kita sebut sebagai proses pembentukan kesan (impression formation).

III. Faktor-faktor diri dalam Human Relation

Ternyata kita tidak hanya menanggapi orang lain; kita juga mempersepsi diri kita. Diri kita bukan lagi persona penanggap tetapi persona stimuli sekaligus.
Menurut Charles Horton Cooley, kita bisa menjadi subjek dan objek persepsi sekaligus dengan membayangkan diri kita sebagai orang lain dalam benak kita. Cooley menyebut gejala ini looking glass self (diri cermin) seakan-akan kita menaruh cermin di depan kita. Pertama, kita membayangkan bagaimana kita tampak pada orang lain; kita melihat sekilas diri kita seperti dalam cermin. Misalnya kita merasa wajah kita jelek. Kedua, kita membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita. Kita pikir mereka menganggap kita tidak menarik. Ketiga, kita mengalami perasaan bangga atau kecewa; orang mungkin merasa sedih atau malu (Vander Zanden, 1975: 79).
Dengan mengamati diri kita, sampailah kita pada gambaran dan penilaian diri kita. Ini disebut konsep diri. Walaupun konsep diri merupakan tema utama psikologi Humanistik yang muncul belakangan ini, pembicaraan tentang konsep diri dapat dilacak sampai William James. James membedakan antara “The I” diri yang sadar dan aktif dan “The Me” diri yang menjadi objek renungan kita. Pada psikologi sosial yang berorientasi pada sosiologi, konsep diri dikembangkan oleh Charles Horton cooley (1864 – 1929), George herbert Mead (1863 – 1931) dan memuncak pada aliran interaksi simbolis yang tokoh terkemukanya adalah Herbert Blumer.
Di kalangan Psikologi sosial yang berorientasi pada psikologi, konsep diri tenggelam ketika Behaviorisme berkuasa. Pada tahun 1943, gordon E. Allport menghidupkan kembali konsep diri. Pada teori motivasi Abraham Maslow (1967, 1970) dan Carl Rogers (1970) konsep diri muncul sebagai tema utama Psikologi Humanistik.
William D. Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai “those physical, social and psycological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our interactions of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others” (1974: 40). Jadi konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi sosial dan fisis. Bayangkan anda mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini pada diri anda sendiri:
Bagaimana watak saya sebenarnya?
Apa yang membuat saya bahagia atau sedih?
Apa yang sangat mencemaskan saya?
            Bagaimana orang lain memandang saya?
Apakah mereka menghargai atau merendahkan saya?
Apakah mereka membenci atau menyukai saya?
            Bagaimana pandangan saya tentang penampilan saya?
Apakah saya orang yang cantik atau jelek?
Apakah tubuh saya kuat atau lemah?

Jawaban pada tiga pertanyaan yang pertama menunjukkan persepsi psikologis tentang diri anda; jawaban pada tiga pertanyaan kedua, persepsi sosial tentang diri anda; dan jawaban pada tiga pertanyaan terakhir, persepsi fisis tentang diri anda. Konsep diri bukan hanya sekadar gambaran deskriptif tetapi juga penilaian anda tentang diri anda.
Jadi konsep diri meliputi apa yang anda pikirkan dan apa yang anda rasakan tentang diri anda. Karena itu, Anita Taylor et al. mendefinisikan konsep diri sebagai “all you think and feel about you, the entire complex of beliefs and attitudes you hold about yourself.” (1977: 98).
Dengan demikian, ada dua komponen konsep diri: komponen kognitif dan komponen afektif. Boleh jadi komponen kognitif anda berupa “Saya ini orang bodoh”, dan komponen afektif anda berkata “Saya senang diri saya bodoh; ini lebih baik bagi saya.” Boleh jadi komponen kognitifnya seperti tadi tapi komponen afektifnya berbunyi “Saya malu sekali karena saya menjadi orang bodoh.” Dalam psikologi sosial, komponen kognitif disebut citra diri (self image) dan komponen afektif disebut harga diri (self esteem). Keduanya menurut William D. Brooks dan Philip Emmert (9176: 45) berpengaruh besar pada pola komunikasi interpersonal. Namun sebelum melihat bagaimana pengaruh konsep diri terhadap perilaku komunikasi interpersonal kita akan meneliti lebih dahulu faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri.

·        Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri Orang Lain
Gabriel Marcel, filsuf eksistensialis yang mencoba menjawab misteri keberadaan, The Mystery of Being menulis tentang peranan orang lain dalam memahami diri kita “The fact is that we can understand ourselves by starting from the other, or from others, and only starting from them.” Kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain lebih dahulu. Bagaimana anda menilai diri saya akan membentuk konsep diri saya.
Harry Stack Sullivan (1953) menjelaskan bahwa jika kita diterima orang lain, dihormati, dan disenangi karena keadaan diri kita, kita akan cenderung bersikap menghormati dan menerima diri kita. Sebaliknya bila orang lain selalu meremehkan kita, menyalahkan kita dan menolak kita, kita akan cenderung tidak menyenangi diri kita.
S. Frank Miyamoto dan Sanford M. Dornbusch (1956) mencoba mengkorelasikan penilaian orang lain terhadap dirinya sendiri dengan skala lima angka dari yang paling jelek sampai yang paling baik. Yang dinilai ialah kecerdasan, kepercayaan diri, daya tarik fisik, dan kesukaan orang lain pada dirinya.
Dengan skala yang sama mereka juga menilai orang lain. Ternyata orang-orang yang dinilai baik oleh orang lain, cenderung memberikan skor yang tinggi juga dalam menilai dirinya. Artinya, harga dirinya sesuai dengan penilaian orang lain terhadap dirinya. Eksperimen lain yang dilakukan Gergen (1965, 1972) menunjang penemuan ini.
Pada satu kelompok, subyek-subyek eksperimen yang menilai dirinya dengan baik diberi peneguhan dengan anggukan, senyuman, atau pernyataan mendukung pendapat mereka. Pada kelompok lain, penilaian positif tidak ditanggapi sama sekali. Kelompok pertama menunjukkan peningkatan citra diri yang lebih baik karena mendapat sokongan dari orang lain.
Tidak semua orang lain mempunyai pengaruh yang sama terhadap diri kita. Ada yang paling berpengaruh, yaitu orang-orang yang paling dekat dengan diri kita. George Herbert Mead (1934) menyebut mereka significant others (orang lain yang sangat penting). Ketika kita masih kecil, mereka adalah orang tua kita, saudara-saudara kita, dan orang yang tinggal satu rumah dengan kita. Richard Dewey dan W.J. Humber (1966: 105) menamainya affective others (orang lain yang dengan mereka kita mempunyai ikatan emosional). Dari merekalah, secara perlahan-lahan kita membentuk konsep diri kita. Senyuman, pujian, penghargaan, pelukan mereka, menyebabkan kita menilai diri kita secara positif. Ejekan, cemoohan, dan hardikan, membuat kita memandang diri kita secara negatif.
Anak Belajar dari Kehidupannya
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, iabelajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan
Dalam perkembangan, significant others meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan kita. Mereka mengarahkan tindakan kita, membentuk pikiran kita, dan menyentuh kita secara emosional. Orang-orang ini boleh jadi masih hidup atau sudah mati. Anda mungkin memasukkan di situ idola anda (bintang film, pahlawan kemerdekaan, tokoh sejarah atau orang yang anda cintai diam-diam).
Ketika kita tumbuh dewasa, kita mencoba menghimpun penilaian semua orang yang pernah berhubungan dengan kita. Minah memperoleh informasi tentang dirinya dari kedua orang tuanya, kakak-kakaknya, tetangganya, gurunya dan sahabat-sahabatnya. Semuanya memandang Minah sebagai gadis yang nakal. Minah berpikir, “Saya nakal.” Ia menilai dirinya sesuai dengan persepsi orang lain (yang significant dan tidak) tentang dirinya. Pandangan diri anda tentang keseluruhan pandangan orang lain terhadap anda disebut generalized others. Konsep ini juga berasal dari George Herbert Mead. Memandang diri kita seperti orang-orang lain memandangnya, berarti mencoba menempatkan diri kita sebagai orang lain. Bila saya seorang ibu, bagaimanakah ibu memandang saya. Jika saya seorang guru, bagaimana guru memandang saya. Mengambil peran sebagai ibu, sebagai ayah, atau sebagai generalized others disebut role taking. Role taking amat penting artinya dalam pembentukan konsep diri.

·     Kelompok Rujukan (Reference Group)
Dalam pergaulan bermasyarakat, kita pasti menjadi anggota berbagai kelompok: RT, kelas, HMJ, Karang Taruna, Remaja Masjid. Setiap kelompok mempunyai norma-norma tertentu. Ada kelompok yang secara emosional mengikat kita, dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri kita. Ini disebut kelompok rujukan. Dengan melihat kelompok ini, orang mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya. Kalau anda memilih kelompok rujukan anda Ikatan Psikolog Indonesia, anda menjadikan norma-norma dalam ikatan ini sebagai ukuran perilaku anda. Anda juga merasa bagian dari kelompok ini lengkap dengan seluruh sifat-sifat psikolog menurut persepsi anda.

·        Pengaruh Konsep Diri pada Komunikasi Interpersonal Nubuat yang Dipenuhi Sendiri
Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi interpersonal karena setiap orang bertingkah laku sedapat mungkin sesuai dengan konsep dirinya. Bila seorang mahasiswa menganggap dirinya sebagai orang yang rajin, ia akan berusaha menghadiri kuliah secara teratur, membuat catatan yang baik, mempelajari kuliah dengan sungguh-sungguh sehingga memperoleh nilai akademis yang baik. Jika seorang gadis merasa dirinya sebagai wanita yang menarik ia akan berusaha berpakaian serapi mungkin dan menggunakan kosmetik yang tepat. Bila orang merasa rendah diri, ia akan mengalami kesulitan untuk mengkomunikasikan gagasannya kepada orang-orang yang dihormatinya, tidak mampu berbicara di hadapan umum atau ragu-ragu menuliskan pemikirannya dalam media massa.
Kecenderungan untuk bertingkah laku sesuai dengan konsep diri disebut sebagai nubuat yang dipenuhi sendiri. Bila anda berpikir anda orang bodoh, anda akan benar-benar menjadi orang bodoh. Bila anda merasa memiliki kemampuan untuk mengatasi persoalan maka persoalan apapun yang anda hadapi pada akhirnya dapat anda atasi. Anda berusaha hidup sesuai dengan label yang anda lekatkan pada diri anda. Hubungan konsep diri dengan perilaku mungkin dapat disimpulkan dengan ucapan para penganjur berpikir positif: You don’t think what you are, you are what you think.
Sukses komunikasi interpersonal banyak bergantung pada kualitas konsep diri anda; positif atau negatif. Sebagai peminat komunikasi, sebaiknya kita mampu mengidentifikasi tanda-tanda konsep diri yang positif dan negatif. Menurut William D.Brooks dan Philip Emmert (1976: 42 – 43) ada empat tanda orang yang memiliki konsep diri negatif. Pertama, ia peka pada kritik. Orang ini sangat tidak tahan kritik yang diterimanya dan mudah marah atau naik pitam. Bagi orang ini, koreksi seringkali dipersepsi sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya. Dalam komunikasi, orang yang memiliki konsep diri negatif cenderung menghindari dialog yang terbuka dan bersikeras mempertahankan pendapatnya dengan berbagai justifikasi atau logika yang keliru.
Kedua, orang yang memiliki konsep diri negatif, responsif sekali terhadap pujian. Walaupun ia mungkin berpura-pura menghindari pujian, ia tidak dapat menyembunyikan antusiasmenya pada waktu menerima pujian. Buat orang-orang seperti ini, segala macam embel-embel yang menunjang harga dirinya menjadi pusat perhatiannya. Bersamaan dengan kesenangannya terhadap pujian, mereka pun bersikap hiperkritis terhadap orang lain. Ia selalu mengeluh, mencela, atau meremehkan apa pun dan siapa pun. Mereka tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain. Inilah sifat yang ketiga, sikap hiperkritis.
Keempat, orang yang konsep dirinya negatif, cenderung merasa tidak disenangi orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan. Karena itulah ia bereaksi pada orang lain sebagai musuh sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan. Ia tidak akan pernah mempersalahkan dirinya tetapi akan menganggap dirinya sebagai korban dari sistem sosial yang tidak beres.
Kelima, orang yang konsep dirinya negatif bersikap pesimis terhadap kompetisi seperti terungkap dalam keengganannya untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi. Ia menganggap tidak akan berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya.
Sebaliknya orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan lima hal:
1.  Ia yakin akan kemampuannya mengatasi masalah
2.  Ia merasa setara dengan orang lain
3.  Ia menerima pujian tanpa rasa malu
4.  Ia menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat
5.  Ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.
Dalam kenyataan memang tidak ada orang yang betul-betul sepenuhnya berkonsep diri negatif atau positif tetapi untuk efektivitas komunikasi interpersonal, sedapat mungkin kita memperoleh sebanyak mungkin tanda-tanda konsep diri positif. DE. Hamachek menyebutkan sebelas karakteristik orang yang mempunyai konsep diri positif:
1. Ia meyakini betul-betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya walaupun mengahdapi pendapat kelompok yang kuat. Tetapi dia juga merasa dirinya cukup tangguh untuk mengubah prisnip-prinsip itu bila pengalaman dan bukti-bukti baru menunjukkan ia salah.
2.  Ia mampu bertindak berdasarkan penilaian

IV.  Atraksi Interpersonal dalam Human Relation
 Dean C. Barlund, ahli komunikasi interpersonal menulis “Mengetahui garis-garis atraksi dan penghindaran dalam sistem sosial artinya mampu meramalkan dari mana pesan akan muncul, kepada siapa pesan itu akan mengalir dan lebih-lebih lagi bagaimana pesan akan diterima.” (Barlundn, 1968: 71). Dengan bahasa sederhana ini berarti dengan mengetahui siapa tertarik kepada siapa atau siapa menghindari siapa, kita dapat meramalkan arus komunikasi interpersonal yang akan terjadi.
Makin tertarik kita kepada seseorang, makin besar kecenderungan kita berkomunikasi dengan dia. Kesukaan pada orang lain, sikap positif dan daya tarik seseorang, kita sebut sebagai atraksi interpersonal (atraksi berasal dari bahasa Latin attrahere – ad: menuju; trahere; menarik). Karena pentingnya peranan atraksi interpersonal, kita ingin membicarakan faktor-faktor yang menyebabkan mengapa persona stimuli menarik kita.
Sebagaimana sering kita bicarakan dalam bagian-bagian lain, di sini pun faktor personal dan situasional menentukan siapa tertarik pada siapa. Yang menyebabkan saya tertarik kepada anda boleh jadi sifat-sifat yang anda miliki (misal nya, anda cantik), atau suasana emosional saya (misalnya, saya sedang kesepian). Sebenarnya kedua faktor ini dalam kenyataan sering tumpang tindih sehingga pembagian di bawah ini hanyalah untuk memudahkan penjelasan saja.

V. Teknik-Teknik Human Relation
“Hubungan manusiawi dapat dilakukan untuk menghilangkan hambatan-hambatan komunikasi, meniadakan salah pengertian dan mengembangkan segi konstruktif sifat tabiat manusia.” Demikian kata R.F. Maier dalam bukunya, Principle of Human Relation.
Dalam derajat intensitas yang tinggi, hubungan manusiawi dilakukan untuk menyembuhkan orang yang menderita frustasi. Frustasi timbul pada diri seseorang akibat suatu masalah yang tidak dapat dipecahkan olehnya. Dalam kehidupan sehari-hari siapa pun akan menjumpai masalah: ada yang mudah dipecahkan, ada yang sukar. Akan tetapi masalah yang bagaimanapun akan diusahakan supaya hilang.
Orang tidak akan membiarkan dirinya digumuli masalah. Dan masalah orang yang satu tidak sama dengan masalah orang lain. Sakit, tidak lulus ujian, lamaran pekerjaan tidak diterima, mobil rusak, istri menyeleweng, anak morfinis, tidak mampu menyelesaikan tugas, permohonan tidak diterima, dan lain-lain itu semua bisa menyebabkan seseorang frustasi.
Orang yang menderita frustasi dapat dilihat dari tingkah lakunya: ada yang merenung murung, lunglai tak berdaya, putus asa, mengasingkan diri, mencari dalih untuk menutupi kemampuannya, mencari kompensasi, berfantasi, atau bertingkah laku kekanak-kanakan. Yang lebih parah bagi seseorang ialah apabila frustasinya disertai agresi sehingga tingkah lakunya menjadi agresif. Ia mengambinghitamkan orang lain, menyebarkan fitnah, merusak benda, bahkan menyerang orang, baik dengan kata-kata yang menyakitkan maupun dengan tinju.
Apabila frustasi itu diderita oleh karyawan, apalagi jika jumlahnya banyak ini akan mengganggu jalannya organisasi akan menjadi rintangan bagi tujuan yang hendak dicapai oleh organisasi. Tidaklah bijaksana jika seorang pemimpin menangani pegawai yang frustasi dengan tindakan kekerasan. Di sinilah pentingnya peranan hubungan manusiawi. Dia harus membawa penderita dari problem situation kepada problem solving behaviour.
Dalam kegiatan hubungan manusiawi ada cara untuk teknik yang bis adigunakan untuk membantu mereka yang menderita frustasi yakni apa yang disebut counseling (karena tidak ada perkataan bahasa Indonesia yang tepat, dapat di-Indonesia-kan menjadi konseling). Yang bertindak sebagai konselor (counselor) bisa pemimpin organisasi, kepala humas, atau kepala-kepala lainnya (kepala bagian, seksi, dan lain-lain).
Tujuan konseling ialah membantu konseli (counselee), yakni karyawan yang menghadapi masalah atau yang menderita frustasi, untuk memecahkan masalahnya sendiri atau mengusahakan terciptanya suasana yang menimbulkan keberanian untuk memecahkan masalahnya. Ini tidak berarti bahwa konselor memberikan arah yang khusus untuk dituruti oleh konseli. Konselor hanya memberikan nasihat. Konseli sendiri yang harus mengambil kesimpulan dan keputusan berdasarkan jalan yang dipilihnya sendiri. Jadi konselor membantu konseli memperoleh pengertian tentang masalahnya. Selama masalahnya belum dimengerti dengan jelas untuk dihadapinya dengan jujur, tidak akan dapat diambil langkah-langkah pemecahannya. Aspek ini menyangkut perasaan. Konselor akan berhasil apabila ia memahami benar-benar frame of reference konseli: pengalamannya, taraf pengetahuannya, agamanya, pandangan hidupnya, dan sebagainya.
Dalam kegiatan hubungan manusiawi terdapat dua jenis konseling, bergantung pada pendekatan (approach) yang dilakukan. Kedua jenis konseling tersebut ialah directive counseling, yakni konseling yang lansung terarah, dan non directive counseling yakni konseling yang tidak langsung terarah.

a. Konseling Langsung
Directive counseling atau konseling langsung kadang-kadang disebut juga counselor centered approach yakni konseling yang pendekatannya terpusat pada konselor. Dalam teknik konseling seperti ini aktivitas utama terletak pada konselor. Pertama-tama konselor berusaha agar terjadi hubungan yang akrab sehingga konseli menaruh kepercayaan kepadanya. Selanjutnya ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam rangka mengumpulkan informasi. Informasi yang diperolehnya itu berusaha memahami masalah yang memberati konseli.
Untuk mengetahui diagnosis yang tepat, konselor harus memahami fakta yang berhubungan dengan masalah itu. Jika konseli mengemukakan kesulitannya, konselor harus merasa pasti bahwa itulah masalah yang dihadapi oleh konseli, yang menyebabkan ia menderita frustasi. Konselor harus mengerti benar-benar mengenai informasi yang diperolehnya itu sehingga ia dapat melakukan interpretasi. Hanya bila ia mengerti dan dapat melakukan interpretasi, ia akan dapat memberikan nasihat dan sugesti kepada konseli. Syarat sugesti ialah kepercayaan. Konseli akan kena sugesti kalau ia menaruh kepercayaan kepada konselor, kalau konselor mempunyai kelebihan pengalaman dan pengetahuan daripada konseli, dan bila tingkah laku konselor tidak tercela.

b. Konseling Tidak Langsung
Non-directive counseling atau konseling tidak langsung disebut juga counselee centered approach, pendekatan yang terpusat kepada konseli. Jenis ini dapat digunakan oleh konselor yang tidak memiliki pengetahuan mendalam mengenai psikologi.
Dibandingkan dengan counselor centered approach counseling yang tradisional itu, counselee centered approach counseling lebih ampuh dalam membantu seseorang yang menderita frustasi. Dalam konseling jenis ini, aktivitas utama terletak pada pihak konseli, sedangkan konselor hanya berusaha agar konseli merasa mudah memimpin dirinya sendiri. Konseli dibantu untuk merasa dirinya bebas untuk menyatakan isi hatinya, dan sebagainya. Dalam mengemukakan semua itu ia tidak merasa dipaksa.
Meskipun dikatakan non-directive, maksud konselor tetap hendak membantu konseli untuk mendiagnosis gangguan jiwanyadan berusaha menghilangkan motif-motif buruk yang menyebabkan gangguan itu. Konselor berusaha agar konseli mencari jalan keluar sendiri dari kesukaran-kesukarannya. Untuk itu konselor menciptakan suasana psikologis yang memungkinkan adanya saling mengerti, antusiasme, dan sikap ramah tamah, suasana yang memungkinkan konseli menyatakan segala pikiran dan perasaannya. Dalam dialog dari hati-ke hati itu konselor mendorong konseli untuk menyelidiki dirinya lebih dalam.
Dengan mencetuskan isi hatinya itu konseli akan mengoreksi dirinya, mengingat-ingat hal-hal yang pernah dialaminya dan memahami pengalaman-pengalamannya. Dengan demikian, motif-motif yang konstruktif akan lebih jelas baginya dan ia merasakan kebutuhan akan motif-motif tersebut. Berdasarkan motif-motif itu ia akan memilih dengan bebas cara bertingkah laku yang lebih baik, dan meninggalkan cara-cara bertingkah laku yang sebelumnya telah mengganggunya.
Dalam tanya jawab itu, tugas konselor memang tidak mudah. Ia harus menyingkirkan sikap super atau perasaan diri berpangkat lebih tinggi, lebih pintar, lebih berpengalaman dan sebagainya.
Masalah yang sedang diperbincangkannya harus ditinjau dari dasar pihak konseli yang sedang dibantunya. Konselor harus bersikap empatik, yakni turut merasakan yang sedang dirasakan oleh konseli, ingin membebaskan dia dari ganjalan jiwanya. Hanya dengan bersikap demikian pimpinan organisasi atau kepala humas yang berfungsi sebagai konselor itu akan berhasil dalam tugasnya.

VI.  Evaluasi dan Hambatan Human Relation 
Hambatan human relation pada umumnya mempunyai dua sifat: objektif dan subjektif.
Hambatan yang sifatnya objektif adalah gangguan dan halangan terhadap jalannya human relation yang tidak disengaja dibuat oleh pihak lain tapi mungkin disebabkan oleh keadaan yang tidak menguntungkan. Gangguan cuaca terhadap jalannya pidato radio, gangguan lalu lintas terhadap ceramah di sebuah tempat tepi jalan raya merupakan rintangan yang berisfat objektif. Rintangan atau hambatan yang bersifat objektif ini mungkin pula disebabkan oleh kurangnya kemampuan berkomunikasi misalnya “field of experience” yang tidak “in tune” antara komunikator dan komunikan, approach penyajian yang kurang baik, timing yang tidak cocok, penggunaan media yang keliru, dan sebagainya.
Hambatan yang bersifat subjektif ialah yang sengaja dibuat oleh orang lain sehingga merupakan gangguan, penentangan terhadap suatu usaha komunikasi.
Dasar gangguan dan penentangan ini biasanya disebabkan karena adanya pertentangan kepentingan, prejudice, tamak, iri hati, apatisme dan sebagainya.
Faktor kepentingan dan prasangka merupakan faktor yang paling berat karena usaha yang paling sulit bagi seorang komunikator ialah mengadakan komunikasi dengan orang-orang yang jelas tidak menyenangi komunikator atau menyajikan pesan komunikasi yang berlawanan dengan fakta atau isinya yang mengganggu suatu kepentingan.
Apabila seseorang dikonfrontasikan dengan suatu bentuk komunikasi yang tidak disukainya karena mengganggu kedudukan pendidikan, atau kepentingannya maka orang tersebut biasanya mencemoohkan komunikasi tersebut atau mungkin pula mengelakkan dan secara acuh tak acuh mendiskreditkan pesan komunikasi sebagai hal yang sukar dimengerti.
Gejala mencemoohkan dan mengelakkan suatu komunikasi untuk kemudian mendiskreditkan atau menyesatkan pesan komunikasi, dinamakan evasion of communication.
E. Cooper dan M. Johada mengemukakan beberapa jenis evasi:
1.  Menyesatkan pengertian (Understanding derailed)
Ini merupakan kebiasaan orang untuk menyesatkan pengertian dari suatu pesan komunikasi. Jika seorang kepala bagian dari suatu jawatan atau perusahaan menyerukan kepada seorang pegawainya untuk bekerja lebih giat dengan jalan masuk kantor dan pulang pada waktu yang telah ditetapkan maka komunikasinya itu mungkin dianggap sebagai usaha untuk mencari muka atau ambisi dalam mengejar kedudukan. Segala sesuatu diberi interpretasi sesuai dengan selera perasaannya.
2. Mencacatkan pesan komunikasi (Message made invalid)
Kebiasaan lainnya ialah mencacatkan pesan komunikasi. Sebagai conto: apabila A adalah seorang yang tidak disenangi B, dan B mengatakan kepada C, bahwa A ditegur oleh bapak kepala. D yang juga tidak menyenangi A mungkin meneruskan pesan komunikasinya kepada E bahwa A dischors. E yang juga tidak senang akan A mungkin pula bercerita lagi bahwa A diberhentikan dari pekerjaannya.
3. Mengubah kerangka referensi (Changing frame of reference)
Kebiasaan mengubah kerangka referensi menunjukkan seseorang yang menanggapi komunikasi dengan diukur oleh kerangka referensi sendiri. Apabila ia meneruskan pesan komunikasi itu maka ia memberi warna kepada pesan komunikasi itu menurut frame of referencenya sendiri.
Seorang agamawan dan seorang nasionalis akan melihat Pancasila dari sudut frame of referencenya masing-masing.
b.      Demikian beberapa hal yang patut diperhatikan oleh mereka yang sudah terbiasa menjadi komunikator. Dalam proses komunikasi, komponen-komponen komunikan, pesan dan media, terutama media massa mempunyai kerumitan sendiri-sendiri. Dalam bab-bab yang akan datang akan banyak dipaparkan mengenai media massa yang nyatanya, akibat dari revolusi elektronik, menimbulkan banyak permasalahan karena pengaruhnya terhadap segala aspek kehidupan manusia.
Public Relation (PR) adalah fungsi manajemen yang membangun dan mempertahankan hubungan yang baik dan bermanfaat antara organisasi dengan publik yang mempengaruhi kesuksesan atau kegagalan organisasi tersebut
Dalam buku  (Effective Public Relations, Edisi kesembilan, Scott M.Cutlip-Allen H.Center.Glen M.Brooom, hal: 5-6) disebutkan: Public Relation adalah fungsi manajemen yang mengevaluasi sikap publik, mengidentivikasi kebijakan dan prosedur individu dan organisasi yang punya kepentingan publik, serta melancarkan dan melaksanakan program aksi dalam rangka mendapatkan pemahaman dan penerimaan publik.
Publik Relation Society of America (PRSA) mengadopsi ”Official Statement on Public Relation” yang longgar. Para penulis PRSA, berusaha memberikan definisi di bidang ini kepada masyarakat, yakni definisi yang menekankan kontribusi Public relations terhadap masyarakat. Selain memasukkan aspek konseptual pada definisi ini, para panel PRSA tersebut memasukkan juga aktivitas hasil serta persyaratan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh praktisi PR. Komunikasi yang dilakukan oleh praktisi PR agar mendapatkan dukungan dari publik maupun memperoleh citra yang positif tentang segala aktivitas organisasinya, maka kegiatannya adalah sebagai berikut:
1.        Mengkomunikasikan segala program dengan terencana dan berkesinambungan sebagai bagian dari manajemen organisasi.
2.        Menjalin/membina hubungan antara organisasi dan publik stakeholder-nya.
3.        Memonitor kesadaran, opini, sikap dan perilaku di dalam dan di luar organisasi.
4.        Menganalisis dampak dari kebijakan, prosedur, dan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan publik dan kelangsungan hidup organisasi.
5.        Mengidentifikasi kebijakan, prosedur, dan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan publik dan kelangsungan hidup organisasi.
6.        Memberi saran kepada manajemen dalam hal pembentukan kebijakan baru, prosedur baru, dan tindakan baru yang sama-sama bermanfaat bagi organisasi dan publik.
7.        Membangun dan mempertahankan komunikasi dua arah antara organisasi dan publiknya.
8.        Menciptakan perubahan yang terukur dalam kesadaran, opini, sikap dan perilaku di dalam dan di luar organisasi.
9.        Menghasilkan hubungan yang baru dan/atau tetap antara organisasi dan publik.

1.  Pekerjaan dan tugas
Beberapa kalangan mendiskripsikan kerja PR dengan menyusun daftar bagian-baian khusus dari fungsi PR: hubungan media, hubungan investor, hubungan masyarakat, hubungan karyawan, hubungan pemerintah, Special Public relations dan sebagainya. Namun, lebel itu tidak dideskripsikan secara konkrit dengan segala aktivitasnya (Effective Public Relations, Edisi kesembilan, Scott M.Cutlip-Allen H.Center.Glen M.Brooom, hal : 39)

2.  Peran        
Peran waktu ke waktu. Praktisi menyesuaikan pola perilakunya untuk menangani situasi yang senantiasa terjadi di dalam pekerjaan mereka dan mengakomodasi ekspektasi orang lain tentang apa yang seharusnya dilakukan dalam pekerjaan mereka. Di sini ada empa peran utama PR yang dianggap penting dan didiskripsikan dalam sebagian besar praktik kehumasan, (Frank Jefkins, Public Relations, hal 30), yaitu :

1.      Menyusun serta mendistribusikan sajian berita (New Release), foto-foto dan berbagai artikel untuk konsumsi kalangan media.
2.      Mengorganisasikan konfrensi pers, termasuk acara resepsi dan kunjungan kalangan media massa ke organisasi atau perusahaan.
3.      Menjalankan fungsi sebagai penyedia informasi bagi pihak media massa.
4.      Mengatur acara wawancara antara kalangan pers, radio dan televisi dengan pihak manajemen.

Dan masih banyak peran-peran humas yang lain, akan tetapi, kadang-kadang praktisi melakukan semua peran ini dan peran lainnya dalam tingkat yang berbeda-beda, meskipun ada peran dominan dalam pekerjaan mereka sehari-hari dan dalam cara mereka berhadapan dengan orang lain (Effective Public Relations, Edisi kesembilan, Scott M.Cutlip-Allen H.Center.Glen M.Brooom:45)

c.       Pendekatan Perorganisasian
Komunikasi Organisasi
Komunikasi organisasi mencakup kegiatan komunikasi dalam suatu organisasi dan komunikasi antar organisasi. Bedanya dengan komunikasi kelompok adalah bahwa sifat komunikasi organisasi di sini lebih formal dan lebih mengutamakan prinsip-prinsip efisiensi dalam melakukan kegiatan komunikasinya.
Komunikasi  dengan masyarakat secara luas
 Pada tingkatan ini kegiatan komunikasi ditujukan kepada masyarakat luas dan bentuk kegiatan komunikasinya yang dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu komunikasi melalui media massa seperti radio, surat kabar,  TV, dsbnya (Komunikasi tidak langsung) dan komunikasi langsung atau tanpa melalui media massa, misalnya ceramah atau pidato di lapangan terbuka dll.
Komunikasi dalam organisasi dapat dilakukan:
a.      Komunikasi formal
Merupakan jalur komunikasi resmi dengan rantai komando atau hubungan tugas dan tanggung jawab yang sesuai dengan jabatannya dalam perusahaan/organisasi. Seperti komunikasi ke atas ke bawah dapat dijelaskan sebagai berikut:
-            Komunikasi ke atas dan ke bawah yaitu komunikasi manajerial merupakan usaha untuk mengatasi setiap permasalahan yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
-            Komunikasi ke atas ke bawah dapat memberikan informasi tentang kondisi perusahaan, sebagai pertimbangan untuk mengambil keputusan
-            Komunikasi ke atas ke bawah merupakan pengarahan, mengendalikan bawahan, merupakan filter dan atasan jika ada instruksi yang mungkin tidak jelas, yang kemudian dapat diterima secara langsung oleh bawahan.
-            Komunikasi dari bawah ke atas yang merupakan masukan terhadapa kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan guna perbaikan.
-            Komunikasi dari bawah ke atas yang berisi tentang permasalahan-permasalahan yang timbul serta saran-saran demi perbaikan kinerja organisasi.
-            Komunikasi ke samping merupakan komunikasi antara bagian untuk mengatasi kegiatan yang tidak rutin, untuk koordinasi jika dibutuhkan tenaga ahli, serta untuk mengatasi hubungan yang membingungkan antara sesama bagian.

b.        Komunikasi Informal
Merupakan jalur komunikasi tidak resmi di lingkungan maupun di luar organisasi, tetapi masih berkaitan dengan fungsi tidak langsung para pimpinan oraganisasi, seperti penggunaan internet dan grapevine
Grapevine adalah komunikasi individu kepada individu  yang menjalin kerjasama di antara mereka yang tidak termasuk dalam aturan organisasi. Grapevine biasanya terbentuk karena adanya kesamaan kepentingan, bersifat kedaerahan (etnik), kolompok (clan) hobi yang sama atau keyakinan yang sama. Jadi grapevin bisa membentuk opini positif dan negatif. (Perilaku Keorganisasian, Organization Behavior, Persfektif Organisasi Bisnis, Edisi Kedua, Manahan P.Tampubolon, 2008:104-106).

Teori Komunikasi Organisasi

Dengan landasan konsep-konsep komunikasi dan organisasi sebagaimana yang telah diuraikan, maka kita dapat memberi batasan tentang komunikasi organisasi secara sederhana, yaitu komunikasi antarmanusia (human communication) yang terjadi dalam kontek organisasi.  Atau dengan meminjam definisi dari Goldhaber, komunikasi organisasi diberi batasan sebagai arus pesan dalam suatu jaringan yang sifat hubungannya saling ketergantung satu sama lain (the flow of messages within a network of interdependent relationships).
Komunikasi Organisasi. Mengarah pada pola dan bentuk komunikasi yang terjadi dalam konteks dan jaringan organisasi. Komunikasi organisasi melibatkan bentuk-bentuk komunikasi formal dan informal. Pembahasan teori ini menyangkut struktur dan fungsi organisasi, hubungan antar manusia, komunikasi dan proses pengorganisasiannya serta budaya organisasi.
Komunikasi Organisasi mencakup kegiatan komunikasi dalam suatu organisasi dan komunikasi antar organisasi. Bedanya dengan komunikasi kelompok adalah bahwa sifat organisas di sini lebih formal dan lebih mengutamakan prinsip-prinsip efisiensi dalam melakukan kegiatan komunikasinya
Konsekuensi dalam suatu komunikasi organisasi baik yang berorientasi komersial maupun sosial, tindak komunikasi dalam organisasi atau lembaga tersebut akan melibatkan empat fungsi, yaitu: Fungsi informatif, fungsi regulatif, fungsi persuasif, dan fungsi integratif. Kesuamanya fungsi ini telah dijelaskan sebagaimana awal makalah i
Adapun persoalan-persoalan mengenai gaya komunikasi (style Communication) dan pengaruh kekuasaan (Power of influence) dalam organisasi dalam tataran manajemen sewaktu mereka mencoba mempengaruhi bawahannya atau teman sejawatnya akan ditentukan oleh sifat, karakter, dan budaya serta kemampuan berkomunikasi dari seorang manajerial dalam berorgansasi. Seorang manajer akan diajak untuk memikirkan bagaimana mendefinisikan tujuan yang hendak dicapai, dengan sarana dan prasarana bagaimana, serta sumber daya manusia yang tersedia dll, sehubungan dengan tugas dan tanggungjawabnya dalam menjalankan roda organisasi. Demikian juga, bagaimana kita memilih orang yang tepat untuk diajak  bekerjasama dan bagaimana kita memilih saluran yang efektif dalam menyampaikan informasi untuk melaksanakan tugas tersebut, sehingga tercapai tujuan, visi dan misi organisasi dengan efisien dan efektif.

d. Pendekatan Budaya
        Komunikasi Antara budaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya.
        Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
        Budaya adalah hasil konstruksi manusia, sifatnya tidak menetap, namun terbuka mengalami perubahan dan sebuah budaya dapat dipelajari.
        Perbedaan budaya terjadi disebabkan pengalaman budaya yang berbeda yang kemudian melatarbelakangi individu, kelompok, organisasi, negara bahkan masyarakat mengekpresikan realitas mereka.
        Perbedaan budaya mensyaratkan anggota sesama budaya dan beda budaya untuk mempelajari budaya dalam perbedaannya sehingga memahami nilai-nilai budaya setempat atau budaya lainnya
        Untuk memunculkan saling pengertian makna dalam interaksi komunikasi beda budaya, maka diciptakan apa yang dinamakan sistem sandi bersama.
        Beberapa prinsip komunikasi antarbudaya
1.         Sistem Sandi Bersama terdiri dari dua aspek :
a.  Verbal
b.  Nonverbal
2.   Sarbaugh (1979) menyatakan bahwa tanpa sistem sandi bersama,   maka
      komunikasi akan menjadi tidak mungkin.
        Memunculkan perbedaan dalam berbagai tingkat.
        Semakin rendah persamaan, maka semakin jarang/sulit komunikasi terjadi,
       demikian juga sebaliknya.
        Dalam memahami suatu budaya dan anggota suatu budaya, maka dua  
       karakteristiknya :
1.    Budaya tingkat rendah, menekankan komunikasi langsung dan eksplisi : pesan-pesan verbal sangat penting dan informasi yang akan dikomunikaiskan disandi dalam bentuk pesan verbal.
2.    Budaya tingkat tinggi, komunikasi cenderung tidak langsung dan tidak eksplisit, sedikit berbicara karena menganggap lawan bicara sudah memahami topik atau keadaan.
        Konsep yang penting dalam KAB adalah :
1.         Etnocentris
2.         Steriotyping
Dalam perkembangannya teori komunikasi antar budaya telah menghasilkan sejumlah defenisi, diantaranya menyebutkan : Komunikasi antar budaya adalah seni untuk memahami dan dipahami oleh khalayak yang memiliki kebudayaan lain. (Sitaram, 1970); Komunikasi bersifat budaya apabila terjadi diantara orang-orang yang berbeda kebudayaan. (Rich, 1974);
Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi dalam suatu kondisi yang menunjukan adanya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai-nilai, adat, kebiasaan. (Stewart, 1974); Komunikasi antarbudaya menunjuk pada suatu fenomena komunikasi di mana para pesertanya memiliki latar belakang budaya yang berbeda terlibat dalam suatu kontak antara satu dengan lainnya, baik secara langsung atau tidak langsung. (Young Yung Kim, 1984)
Dari defenisi tersebut nampak jelas penekanannya pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi dan interaksi yang terjadi di dalamnya.  Karena itu dua konsep terpenting di sini adalah kontak dan komunikasi adalah merupakan ciri studi komunikasi antar budaya maka perlu memperhatikan dimensi-dimensi seperti :1)  Tingkat masyarakat kelompok budaya dari partisipan; 2)  Konteks sosial tempat terjadinya komunikasi antar budaya; 3)  Saluran yang dilalui oleh pesan-pesan komunikasi antar budaya (baik yang verbal maupun non-verbal).
Dimensi pertama menunjukan bahwa istilah kebudayaan telah digunakan untuk merujuk pada macam-macam tingkat lingkupan dan kompleksitas dari organisasi sosial.  Umumnya istilah kebudayaan mencakup beberapa pengertian sebagai berikut:
a)     Kawasan di dunia, misalnya; budaya Timur, budaya Barat.
b)     Subkawasan-kawasan di dunia, budaya Amerika Utara, Asia Tenggara.
c)     Nasional/negara, misalnya budaya Indonesia, budaya Perancis, budaya Jepang.
d)     Kelompok-kelompok etnik-ras dalam negeri seperti, Cina, Jawa, Negro
e)     Macam-macam subkelompok sosiologis berdasarkan kategori jenis kelamin, kelas    
        sosial (budaya hippiis, budaya kaum gelandangan, budaya penjara)
Dimensi kedua menyangkut Konteks Sosial, meliputi bisnis, organisasi, pendidikan, akulturasi imigran politik, konsultasi terapi, dsb.  Komunikasi dalam semua konteks sosial tersebut pada dasarnya memilih persamaan dalam hal unsur-unsur dasar dan proses komunikasi  (misalnya menyangkut penyampaian, penerimaan dan pemrosesan).  Tetapi adanya pengaruh kebudayaan yang tercakup dalam latarbelakang pengalaman individu membentuk pola-pola persepsi pemikiran, penggunaan pesan-pesan verbal dan non-verbal serta hubungan-hubungan antaranya. 
Maka variasi kontekstual misalnya; komunikasi antara orang Indonesia dengan Jepang dalam suatu transaksi dagang akan berbeda dengan interaksi  dalam peran sebagai dua orang mahasiswa.  Dengan demikian, konteks sosial memberikan tempat khusus pada para partisipan, hubungan-hubungan antarperan, ekspektasi-ekspektasi, norma-norma dan aturan tingkah laku yang khusus.
Dimensi ketiga berkaitan dengan saluran komunikasi.  Dimensi ini menunjukan tentang saluran apa yang dipergunakan dalam komunikasi antar budaya.  Secara garis besar saluran dapat dibagi atas: Antarpribadi dan Media massa
Bersama-sama dengan dua dimensi sebelumnya, saluran komunikasi juga mempengaruhi proses dan hasil keseluruhan dari komunikasi antar budaya.  Misalnya orang Indonesia menonton melalui TV keadaan kehidupan di Afrika, akan memiliki pengalaman yang berbeda dengan keadaan yang sesungguhnya berdasarkan naluri, apabila ia sendiri berada di sana dan melihat dengan kepala sendiri.  Umumnya pengalaman antarpribadi dianggap dapat memberikan dampak yanng lebih mendalam.
Ketiga dimensi di atas dapat digunakan secara terpisah ataupun bersamaan, dalam mengklasifikasi fenomena komunikasi antar budaya.  Misalnya kita dapat mengambarkan komunikasi antara presiden Indonesia dengan dubes baru dari Nigeria sebagai komunikasi internasional, antarpribadi dalam konteks politik.  Maka apapun tingkat keanggotaan kelompok konteks sosial dan saluran komunikasi, komunikasi dianggap antarbudaya apabila para komunikator yang menjalin kontak dan interaksi mempunyai latarbelakang pengalaman budaya berbeda.
Adapun hubungan timbalbaliknya adalah unsur-unsur pokok yang mendasari proses komunikasi antarbudaya adalah konsep-konsep tentang ‘kebudayaan’ dan ‘komunikasi’.  Hal ini ditekankan oleh Sarbaugh (1979) yang menyatakan bahwa pengertian tentang komunikasi antarbudaya memerlukan suatu pemahaman tentang konsep-konsep komunikasi dan kebudayaan serta adanya saling ketergantungan antar keduanya.  Saling ketergantungan ini dapat terbukti apabila disadari bahwa:1) Pola-pola komunikasi yang khas dapat berkembang atau berubah dalam suatu kelompok kebudayaan tertentu; 2) Kesamaan tingkah laku antara satu generasi dengan generasi berikutnya hanya dimungkinkan berkat digunakannya sarana-sarana komunikasi.
Sementara Smith (1966) menerangkan hubungan yang tidak terpisahkan antara komunikasi dan budaya sebagai berikut:1) Kebudayaan merupakan suatu kode atau kumpulan peraturan yang dipelajari dan dimiliki bersama. 2) Untuk mempelajari dan memiliki bersama diperlukan komunikasi, sedangkan komunikasi memerlukan kode-kode dan lambang-lambang yang harus dipelajari dan dimiliki bersama.
Untuk memahami hubungan komunikasi dengan kebudayaan bisa ditinjau dari sudut pandang perkembangan masyarakat, perkembangan kebudayaan, dan peranan komunikasi dalam proses perkembangan tersebut.  Perkembangan mencerminkan hubungan terus menerus dan berlangsung dan di mana simbol dan lambang berlangsung dalam proses resiprokal (timbal-balik) antara orang-orang yang terlibat didalamnya.
Unsur-unsur Kebudayaan Karena kebudayaan memberikan identitas pada sekelompok manusia, maka muncul suatu persoalan yakni bagaimana cara kita mengidentifikasi aspek-aspek atau unsur-unsur kebudayaan yang membedakan satu kelompok masyarakat budaya dari kelompok masyarakat budaya lainnya.  Samovar  (1981) membagi berbagai aspek kebudayaan ke dalam tiga pembagian besar unsur-unsur sosial budaya yang secara langsung sangat mempengaruhi penciptaan makna untuk persepsi, yang selanjutnya menentukan tingkah laku komunikasi. Unsur-unsur sosial budaya tersebut adalah : 1) Sistem keyakinan, nilai dan sikap. 2) Pandangan hidup tentang dunia, dan 3) Organisasi sosial.
Pengaruh dari unsur-unsur ini terhadap komunikasi sangat beragam dan mencakup semua segi kegiatan sosial manusia. Dalam proses komunikasi antar budaya, misalnya, unsur-unsur yang sangat menentukan ini bekerja dan berfungsi secara terpadu bersama-sama seperti komponen dari suatu sistem stereo, karena masing-masing saling membutuhkan dan berkaitan.  Tetapi dalam penelaahan, unsur-unsur tersebut dipisah-pisahkan agar dapat diidentifikasi dan ditinjau secara satu persatu. 
Pengaruh ketiga unsur kebudayaan tersebut terletak pada makna untuk mempersepsikan fenomena budaya, terutama pada aspek individual dan subjektifnya.  Kita semua mungkin akan melihat suatu objek atau peristiwa sosial yang sama dan memberikan makna objektif yang sama, tetapi makna individualnya tidak mustahil akan berbeda karena ada unsur subjektivitasnya yang muncul. Misalnya orang Amerika dengan Arab sepakat menyatakan seseorang wanita berdasarkan wujud fisiknya.  Tetapi kemungkinan besar keduanya akan berbeda pendapat tentang bagaimana wanita itu dalam makna sosialnya.  Orang Amerika memandang nilai kesetaraan antara pria dengan wanita, sementara orang Arab memendang wanita cenderung menekankan wanita sebagai ibu rumah tangga.
Peranan Persepsi dalam komunikasi Antar Budaya, Persepsi individu mengenai dunia sekelilingnya, orang, benda, dan peristiwa mempengaruhi berlangsungnya komunikasi antar budaya.  Pemahaman dan penghargaan akan perbedaan persepsi diperlukan jika ingin meningkatkan kemampuan menjalin hubungan dengan orang yang berbeda budaya.  Kita harus belajar memahami referensi perseptual mereka, sehingga kita akan mampu memberikan reaksi yang sesuai dengan ekspektasi dalam budaya mereka.  Karenanya pengertian secara umum tentang persepsi diperlukan sebagai landasan memahami hubungan antara kebudayaan dan persepsi.
Persepsi merupakan proses internal yang dilalui individu dalam menseleksi, dan mengatur stimuli yang datang dari luar.  Secara sederhana persepsi dapat dikatakan sebagai proses individu dalam melakukan kontak/hubungan dengan dunia sekelilingnya.  Dengan cara mendengar, melihat, meraba, mencium dan merasa kita dapat mengenal lingkungan dan sadar apa yang terjadi di luar diri kita.  Apa yang terjadi sebenarnya ialah bahwa kita menciptakan bayang-bayang internal tentang objek fisik dan sosial serta peristiwa-peristiwa yang dihadapi dalam lingkungan. 
Dalam hal ini masing-masing individu berusaha untuk memahami lingkungan melalui pengembangan struktur, stabilitas, dan makna bagi persepsinya.  Pengembangan ini mencakup kegiatan-kegiatan internal yang mengubah sistem stimuli menjadi impuls-impuls (rangsangan) yang bergerak melalui sistem syaraf ke otak, serta mengubahnya lagi ke dalam pengalaman-pengalaman yang bermakna.  Kegiatan internal perseptual ini sangat penting dan perlu dipelajari dalam konteks komunikasi budaya  karena setiap orang lahir umunya sudah diperlengkapi dengan alat-alat fisik yang penting bagi persepsi, seperti Panca Indra.  Dalam hal ini awalnya orang harus belajar terlebih dahulu untuk memanfaatkannya dalam mencapai kemampuan optimal berdasarkan akal dan budinya
·        Secara umum proses persepsi melibatkan tiga aspek :
1. Struktur yaitu jika kita menutup mata, memalingkan muka dan dan kemudian membuka mata, kita akan melihat lingkungan yang terstruktur dan terorganisasikan.  Apa yang kita hadapi mempunyai bentuk, ukuran, tekstur, warna, intensitas, dll.  Bayangan kita mengenai lingkungan merupakan hasil dari kegiatan kita secara aktif memproses informasi, yang mencakup seleksi dan kategorisasi input/masukan.  Kita mengembangkan kemampuan membentuk struktur ini dengan mempelajari kategorisasi-kategorisasi untuk memilah-milah stimulasi eksternal.
                        Kategorisasi untuk mengkalsifikasikan lingkungan ini dapat berbeda-beda antara orang yang satu dengan lainnya.  Kategori tergantung pada sejarah pengalaman dan pengetahuan kita. Misalnya kata ‘rumah” konsep fisiknya akan berbeda antara orang asia dengan orang Eskimo.
      Objek-objek sosial dan fisik juga akan mempunyai struktur yang berbeda-beda tergantung pada kebutuhan saat itu.  Fungsi misalnya bisa digunakan sebagai kategori.  Dalam membeli pena kita mempunyai beberapa kategori seperti warna, ukuran dan sebagainya.
2.   Stabilitas dunia realitas yanng berstruktur tadi mempunyai kelanggengan, dalam arti tidak selalu berubah-ubah.  Melalui pengalaman kita mengetahui bahwa tingi/besar seseorang tetap, walaupun dari bayangan terfokus pada mata kita berubah seiring dengan perbedaan jarak.  Walaupun alat-alat panca indera kita sangat sensitif, kita mampu untuk secara intern menghaluskan perbedaan-perbedaan atau perubahan-perubahan dari input sehingga dunia luar tidak berubah-ubah.
3.   Makna persepsi bermakna dimungkinkan karena persepsi-persepsi terstruktur dan stabil tidak terasingkan/terlepas satu sama lain, melainkan berhubungan setelah selang beberapa waktu.  Jika tidak, maka setiap masukan yang sifatnya perseptualkan ditangkap sebagai sesuatu yang baru.  Dan, akibatnya kita akan selalu berada dalam keadaan heran/terkejut/aneh dan seakan-akan ada yang nampak familiar bagi kita.
Pada hakekatnya, makna berkembang dari pelajaran dan pengalaman kita di masa lalu dan dalam kegiatan yang ada tujuannya.  Kita belajar mengembangkan aturan-aturan bagi usaha dan tujuan yang ingin dicapai.  Dengan atruan-aturan ini kita bertindak sebagai pemroses aktif dari stimulasi serta mengkategorisasikan peristiwa-peristiwa tersebut ke masa lalu dan masa sekarang.  Kita menjadi pemecah masalah yang aktif dalam usaha mencari makna dari lingkunagan kita.  Artinya, kita belajar untuk memberi makna pada persepsi-persepsi kita yang dianggap masuk akal jika dihubungkan dengan  pengalaman masa lalu dan  disesuaikan dengan tindakan dan tujuan masa sekarang, sekaligus dalam rangka antisipasi kita tentang masa depan.
Suatu hal yang pokok dalam makna ini adalah sistem kode bahasa.  Dengan kemampuan bahasa, kita dapat menangkap stimulasi eksternal dan menghasilkan makna dengan memberi warna dan merumuskan kategorinya.  Dengan memberi kode secara linguistik pada pengalaman-pengalaman, akhirnya kita dapat mengingat, memanipulasi, dan membagi bersama dengan orang lain, serta menghubungkan mereka pada pengalaman-pengalaman lain melalui penggunaan kata-kata yang mencerminkan pengalaman-pengalaman itu.  Oleh karenanya, makna tidak dapat dilepaskan dari kemampuan bahasa dan tergantung pada penggunaan serta meformulasikannya atas kata-kata yang tepat dan benar, sehingga dapat memberi gambaran secara tepat dan jelas tentang segala sesuatu yang ingin dikemukakan.
Persepsi tentang lingkungan fisik dan sosial merupakan kegiatan internal dalam menangkap stimuli dan kemudian memrosesnya melalui sistem syaraf dan otak sampai akhirnya tercipta struktur, stabilitas, dan makna darinya.  Untuk memahami bekerjanya proses tersebut, kita harus menyadari akan adanya dua dimensi pokok yang fundamental dari persepsi :1)  Dimensi fisik  (mengatur/mengorganisasi) 2) Dimensi psikologis (menafsirkan). Kedua dimensi ini secara bersama-sama bertanggungjawab atas hasil-hasil persepsi, sehingga pengertian tentang sesuatu akan memberi gambaran tentang bagaimana persepsi terjadi. Pertama, dimensi persepsi secara fisik adalah yang merupakan tahapan penting dari persepsi, tetapi untuk tujuan kita mempelajari komunikasi antar budaya, hanya merupakan tahap permulaan dan tidak berapa perlu untuk didalami.  Dimensi ini sebenarnya, menggambarkan perolehan kita akan informasi tentang dunia luar.  Tahap permulaan ini mencakup karateristik-karakteristik stimuli yang berupa energi, hakikat dan fungsi mekanisme penerimaan manusia (mata, telinga, hidung, mulut, dan kulit) serta transmisi data melalui syaraf menuju otak, untuk kemudian diubah ke dalam bentuk yang bermakna.
Tentang bekerjanya anggota tubuh manusia pada tahap ini dapat dikatakan sama antara satu orang dengan orang lainnya, baik yang berasal dari kebudayaan yang sama ataupun berbeda.  Karena setiap orang pada dasarnya memiliki mekanisme anatomis dan biologis yang sama, yang menghubungkan mereka dengan lingkungannya.
 Kedua dimensi persepsi secara psikologis dibandingkan dengan penanganan stimuli secara fisik, keadaan individu (seperti kepribadian, kecerdasan, pendidikan, emosi, keyakinan, nilai, sikap, motivasi dan lain-lain) mempunyai dampak yang jauh lebih menentukan terhadap persepsi mengenai lingkungan dan perilaku.  Dalam tahap ini, setiap individu menciptakan struktur, stabilitas, dan makna dalam persepsinya, serta memberikan sifat yang pribadi dan penafsiran mengenai dunia luar.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita menerima begitu banyak masukan pesan.  Misalnya ketika membaca buku, selain kata-kata yang ada dalam buku tersebut, kita juga akan menerima pesan lainnya, seperti suhu udara dalam ruangan tempat kita berada, kondisi kursi yang diduduki, suara air di kamar mandi, suara anak yang menangis, dan berbagai stimulus lainnya yang ada di sekitar kita.  Semua stimulus ini secara bermasaan akan ikut mempengaruhi proses kegiatan kita dalam membaca buku.  Namun demikian, dalam praktiknya tidak mungkin kita mengolah semua masukan pesan yang kita terima.   Dengan kata lain, kita melakukan penyeleksian terhadap semua stimulus yang kita terima.  Proses penseleksian ini terjadi secara cepat (dalam beberapa detik saja),dan mungkin secara spontan atau mungkin dalam keadaan tidak sadar, barangkali.
Keputusan untuk menyeleksi semua masukan pesan yang akan diberi makna secara langsung berhubungan dengan kebudayaan kita. Karena selama hidup, kita telah belajar, baik selaku individu ataupun selaku anggota dari suatu kelompok kebudayaan tertentu.  Ini berarti bahwa kebudayaan memang mempunyai pengaruh pada proses dan hasil persepsi.
Proses seleksi dalam persepsi mengenai suatu objek dan lingkungan sekelilingnya, menurut Samovar (1981) secara umum melibatkan tiga yang saling berkaitan yakni:
1.     Selective exposure (seleksi terhadap pengenaan pesan/ stimulus)
2.     Selective attention (seleksi dalam hal perhatian)
3.     Selective retention (seleksi yang menyangkut retensi/ ingatan)

Referensi:

1.  McQuail, 1987, Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, Jakarta: Erlangga

2.  Sasa Djuarsa S., Teori Komunikasi, Universitas Terbuka, Jakarta. 2003

3. Little John, S.W. 1995. Theories of Human Communication (nine edition).  Wadsworth publishing Company, Belmont California
4. Mulyana, D dan Rahmat, J. 2000. Komunikasi Antar Budaya. PT. Remaja Rosdakarya.  Bandung
5. Werner J. Severin & James W. Tankard, 2001, Communication Theories: Origins, Methods, & Uses in the Mass Media, ed. 5th, penerj. Sugeng Hariyanto, Addison Wesley Longman Inc.
6. H. Syaiful Rohim, M.Si, Teori Komunikasi, Persfektif, Ragam, & Aplikasi, Rineka Cipta, 2009, Jakarta.

1 komentar:

  1. Mantab pak Ibas. Catatan kuliahnya ada di sini. sangat bermanfaat.

    BalasHapus